JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menolak rencana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek, atau plain packaging produk tembakau.
Kebijakan tersebut tercantum dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Ketua Umum Aprindo, Roy N Mandey, juga mengkritik penerapan zonasi larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari institusi pendidikan, serta kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek.
Menurut Roy, sosialisasi terkait regulasi ini kurang memadai dan pelaksanaannya sulit diimpementasikan. Ia juga menyoroti potensi munculnya praktik pungli di lapangan akibat aturan ini.
“Pasal karet dalam PP ini hanya akan memberatkan pelaku usaha dan berpotensi dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu,” ungkap Roy dalam keterangan tertulis, Kamis.
Roy menekankan bahwa kebijakan tersebut akan berdampak negatif bagi pedagang kecil dan pekerja. Menurutnya, peraturan yang hanya berfokus pada aspek kesehatan tanpa mempertimbangkan dampak ekonomi dapat merugikan usaha kecil, dengan penurunan omzet yang signifikan. “Kami mengharapkan adanya keseimbangan antara kepentingan kesehatan dan ekonomi dalam regulasi ini,” harap Roy.
Ia juga mengkhawatirkan bahwa penurunan omzet pedagang kecil dan peritel bisa berdampak lebih luas pada perekonomian negara. Hal ini bisa menyebabkan tujuan pemerintah untuk menekan prevalensi perokok menjadi tidak tepat sasaran, dan justru menekan para pedagang serta peritel yang telah mematuhi aturan.
“Pemerintah perlu mempertimbangkan seluruh aspek, dari hulu ke hilir, termasuk potensi PHK dan meningkatnya kemiskinan yang sangat mengkhawatirkan.Kesehatan dan ekonomi seharusnya tidak saling bertentangan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Roy menyebut kombinasi kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dan zonasi penjualan produk tembakau berisiko meningkatkan konsumsi rokok ilegal.
Akses yang sulit bagi konsumen dewasa untuk membeli produk tembakau legal, serta minimnya informasi mengenai produk legal, dikhawatirkan akan mendorong peralihan ke rokok ilegal.
Aprindo telah menyampaikan kekhawatiran ini melalui surat resmi kepada kementerian terkait, mengusulkan agar regulasi ini dikaji ulang.
Namun, menurut Roy, banyak pasal dalam regulasi tersebut yang dinilai memiliki banyak celah dan pembahasannya tidak melibatkan asosiasi. Selain itu, beberapa kementerian yang mendukung regulasi tersebut dinilai tidak memiliki hubungan langsung dengan nasib pedagang ritel.
“Kami berharap pemerintah dapat menciptakan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kesehatan, serta memastikan regulasi ini memiliki pelaksanaan teknis yang jelas. Penting sekali untuk meninjau pengawasan yang efektif dan mempertimbangkan dampak regulasi terhadap pedagang ritel yang selama ini telah taat pada aturan,” tutup Roy. lp6/mb06