Oleh : Ardi Winangun (Direktur Indonesia Political Review (IPR))
Meski Putusan MK sudah diakomodasi dalam Revisi UU Pilkada namun harapan masyarakat untuk memiliki kepala daerah, baik itu gubernur, wali kota, maupun bupati yang sesuai dengan pilihan hati nurani, ‘seiman’ atau ‘seideologis’, tak semuanya bisa terpenuhi. Akibat yang demikian, masyarakat mempunyai pilihan tak akan datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Bila ada yang datang, mereka akan mencoblos semua surat suara sehingga hak pilih yang dimiliki rusak dan berakibat tak bisa dihitung.
‘Ancaman’ dari pemilih ini tentu membuat partai politik gundah. Satu suara saja bisa menentukan kalah dan menang dalam pemilu apalagi yang tidak mau datang bahkan merusak suara jumlahnya ribuan orang. Untuk menghadapi ancaman yang demikian, partai politik tetap melakukan pendekatan kepada pemilih tradisionalnya atau loyalis partai. Partai tetap mensosialisasikan program, visi, dan misi calon yang diusung kepada mereka.
Selain tetap melakukan pendekatan lewat kampanye, partai politik juga memberikan nasihat ‘ideologis’ dan/atau ‘keagamaan’. Dalam nasihat keagamaan, pemilih tradisional biasa diberi nasihat ketika dalam kondisi yang serba sulit atau dalam situasi yang buruk, diharap masyarakat memperhitungkan dampak yang paling sedikit dari keburukan itu. Misalnya, bila ada dua calon pemimpin yang tidak memiliki kriteria pemimpin yang baik, pilihlah salah satu di antara mereka yang tingkat keburukannya paling sedikit sehingga dampak rusaknya tidak terlalu besar.
Nasihat yang demikian bisa saja mencairkan kebekuan hati atau kemarahan pemilih tradisional dan masyarakat dalam pilkada ketika calon kepala daerah yang diusung tidak sesuai dengan pilihan mereka. Menjadi pertanyaan, mengapa partai politik itu menyajikan sosok yang ‘buruk’ dalam pilkada, sementara masyarakat didorongnya tetap untuk memilihnya. Mengapa partai politik tidak bisa menghadirkan sosok yang baik meski tidak terbaik –padahal sosok itu banyak di tengah masyarakat?
Terikat Koalisi
Penyebab partai politik menyajikan calon kepada daerah yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat atau buruk dikarenakan mereka sudah terikat pada koalisi yang dibangun. Koalisi ini sudah disusun sebelum adanya Putusan MK yang memberikan kelonggaran ambang batas mengajukan calon kepala daerah.
Koalisi yang dibangun dengan ikatan janji mendapat bagian kekuasaan dalam pemerintahan yang akan datang, ditambah dengan –katanya– adanya biaya pengganti kampanye, rupanya membuat partai penyusun koalisi enggan untuk meninggalkan koalisi yang sudah dibentuknya. Selain sudah diikat dengan jatah kekuasaan, di antara mereka ada yang; (a) merasa tidak enak bila tiba-tiba keluar dari kesepakatan bersama, (b) akan dikriminalisasikan atas kasus dugaan korupsi yang pernah dilakukan.
Hal inilah yang membuat partai politik tetap tak mendengar aspirasi dari masyarakat, meski mengubah pilihan dari sosok yang buruk kepada yang baik jalannya terbuka lebar setelah Putusan MK diakomodasi dalam revisi UU Pilkada.
Dari paparan di atas, bagaimana nanti kualitas pilkada di suatu provinsi, kota, dan kabupaten yang calon kepala daerahnya tak sesuai dengan pilihan rakyat? Di beberapa daerah ada calon kepala daerah yang maju tak sesuai dengan pilihan masyarakat. Sosok-sosok yang memiliki elektabilitas tinggi dan memiliki reputasi pembangunan yang baik, tak diusung karena partai politik lebih memilih bersikap pragmatis yang dibungkus dengan kalimat, mengedepankan kader sendiri.
Masyarakat malah disodorkan calon lain dan tetap didorong untuk memilih calon itu dengan diberi nasihat, pilih pemimpin yang tingkat keburukannya paling sedikit atau bahasa luwesnya adalah ‘terbaik di antara yang terburuk’. Bila masyarakat tidak memilih yang keburukannya paling sedikit, calon terburuklah yang akan memenangi pilkada.
Nasihat yang demikian bisa saja ada benarnya, namun hal demikian sejatinya adalah rayuan dari partai politik agar kita tetap datang ke TPS untuk memilih calon yang diusung. Bagi partai politik, buruk tidak masalah asal menang. Hal demikian tentu mengingkari etika politik dan agama sebab menyodorkan calon pemimpin yang memiliki sifat-sifat tercela. Sifat-sifat itu bisa membesar bila pemimpin itu memiliki kekuasaan. (detikNews)