Oleh : Robbi Herfandi (Mahasiswa S-1 Ilmu Hubungan Internasional)
Kemerdekaan dapat dipandang sebagai kemandirian tanpa ada perbudakan, rasa aman yang dibalut kegembiraan bagi semua serta melampaui (adversity). Tak disangka sudah 79 tahun Indonesia Merdeka dari kolonialisme dan imprealisme yang mengeksploitasi sumber daya kita, bahkan kata ‘kita’ sangat berasa ketika memperjuangkan apa yang pantas diperjuangkan kemudian menjadi hak dengan semangat kolektivisme yang kuat, tidak dapat dipungkiri sejarah selalu merekam jejak orang-orang terdahulu yang hobi dengan kata ‘kita’, sejarah itu tidak hanya sekedar perihal merobek ‘bendera biru’ dan juga bukan sekedar mendapatkan berita kekalahan sekutu kemudian memproklamirkan kemerdekaan, rupanya kebanyakan orang di zaman modernitas terlampaui dan melampaui sejarah seakan-akan gap besar tak tampak jawabanya serta membuat space besar dan membuat pikiran melompat terlalu jauh dengan dalih zaman dahulu adalah wujud dari ketertinggalan dan tidak relevan.
Gap besar itu adalah perjuangan yang diselimuti darah dan gagasan besar yang pernah hadir mengecap di tanah pertiwi kemudian mengglobal. Siapa lagi kalau bukan pahlawan-pahlawan dari sabang sampai merauke dengan kepandaian dan kepiawaianya, sehingga mengucapkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 sebagai lahirnya negara bangsa yaitu Indonesia.
Pertanyaannya adalah apakah pasca kemerdekaan negara bangsa ini benar-benar merdeka? Apakah hadirnya negara telah memenuhi asumsi dari maknanya kenapa dia hadir? Atau hadirnya negara justru menjadikan bangsa menjadi jauh dari kata baik? Atau mereka tahu, tapi, pura-pura tidak tahu? atau mereka benar-benar tidak tahu?
Di era disrupsi ini katakanlah perubahan besar dari geopolitik global akibat keangkuhan adikuasa dan perubahan iklim serta karya-karya modernitas yang pantas untuk di apresiasi meskipun karya nya bisa saja memakan karyanya sendiri dan membakar habis dirinya, kita selalu dipaksa menukar, beralih, dan mengubah paradigma bangsa ini kearah yang tidak mengakar, kita terus mengikuti gaya fomo dan ingin unggul dari segala bidang kemudian tidak focus denga apa yang kita kejar, rupanya wacana keunggulan itu bukan berasal dari akarnya sendiri, kita selalu dipaksa berubah pandang karena tembok besar ini selalu mendekat dan acapkali memaksa bangsa besar ini terus bergeser sehingga ‘sempit’ dan kemudian bangsa ini tidak tahu arah kemana lagi pulang dan berlabuh kembali, berpikir mengambil ancang-ancang untuk melangkah secara progresif kedepan, kemudian negara bangsa ini bertanya kepada dirinya sendiri, sebenarnya saya siapa?
Asbabun Nuzul dari pertanyaan tersebut karena paradigmanya bergeser dihantam oleh sesuatu yang diluar pada dirinya kemudian masuk dan bermetamorphosis menjadi kehilangan arah tidak terkendali, untuk menggapai akarnya sebenarnya pun terhalang oleh tembok besar kemudian terpaksa menjadi liar, kemudian dengan petunjuk alur sejarah untuk pengharapan untuk memikirkan ulang kenapa harus hadir, mungkin ada terbersit kerinduan menggali lagi asal-muasal daripada dirinya di dalam kosmos.
Bukankah hal itu pernah juga dilakukan negara peradaban Asia Timur seperti China dengan filsafat konfiusinismenya perihal hubungan dengan tata kelola yang baik dengan masyarakat dan telah menjadi budaya utuh dan penuh anti-selfish dan Jepang dengan mitologi. Mitologi dapat dipandang sebagai cerita-cerita suci dimasa lalu bisa juga diartikan mitos yang logos sebenarnya mitos juga berbicara tentang realitas, tapi, dengan cara yang tidak memadai, karena mitos diperlukan untuk mengatur kehidupan manusia dan tata kelola semesta, serta kemudian Prancis bangkit dengan narasi liberté, égalité, dan fraternité (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan).
Semuanya dari narasi diatas tidak terlepas dari penjiwaan yang mendalam kemudian menghantarkan mereka untuk bergerak maju kedepan dengan tumpuan sejarah, norms dan nilai yang mereka pertahankan hingga hari ini. Maka dapat dipahami mereka bangkit dengan hebat dan garang karena percaya nilai akan sejarahnya. Lantas kenapa dengan narasi bangsa besar katanya yang terus digaungkan atau hanya onggokan kata-kata tanpa makna dan jiwa serta hampa, namun, di satu sisi bangsa besar ini katanya, hari ini pun kita mendengar kabar ada insan yang hilang nyawanya karena kelaparan. Belum punya rumah, dan menderita akibat kerusakan alam. Serta memikirkan besok saya bisa makan atau tidak.
Sebenarnya Indonesia memiliki itu semua nan kaya akan landasan narasi, filosofis dan biodiversitas untuk mengejawantahkan itu semua, bagaimana para pendahulu orang-orang tradisionalis bisa hidup berdampingan dengan alam, kemudian lahirlah kata-kata penuh makna dari ranah minang yaitu ‘Alam Takambang Jadi Guru’ dengan artian alam dijadikan guru dengan membaca, memahami alam serta mengambil pelajaran dari alam, maka kata-kata ini bisa menjadi ‘Fokal Poin’ perihal perubahan iklim, Bagaimana panduan kata-kata Hatta seperti “Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat”. Maka dapat diartikulasikan dengan pertanyaan menukik apakah kita telah mejiwai kata-kata tersebut dengan keadilan sosial dan keadilan ekonomi yang dirasakan oleh semua?
Maka perlu negara bangsa ini keluar dari pakem egoisitas tidak ada kata ‘aku’, ‘kami’, ‘dia’, ‘kamu’ yang ada hanya kata ‘kita’ menuju arti kemerdekaan utuh yang sebenarnya, ditumpu oleh nilai-nilai sejarah yang dibangun oleh para pendahulu untuk menciptakan masa depan Indonesia lebih baik dan dunia yang layak huni.