Oleh: Mahrita Nazaria, S.Pd (Praktisi Pendidikan dan Aktivis Dakwah Muslimah Muda)
Beberapa waktu ini kita dihebohkan dengan pengesahan UU kesehatan yang salah satu isinya adalah pemerintah membolehkan tenaga kesehatan dan tenaga medis untuk melakukan aborsi terhadap korban tindak pidana perkosaan atau korban tindak pidana kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan. (tirto.id)
Tentang kebolehan aborsi untuk korban pemerkosaan yang hamil dalam PP 28/2024 dianggap sebagai salah satu solusi untuk korban pemerkosaan. Padahal sejatinya tindakan aborsi akan menambah beban korban karena tindakan aborsi meski legal tetap beresiko. Maka yang harus diingat, harus tetap memperhatikan hukum syariat Islam atas aborsi yang haram dilakukan, kecuali ada kondisi-kondisi khusus yang dibolehkan hukum syara.
Sebagaimana ketua MUI Bidang Dakwah, M. Cholil Nafis mengatakan bahwa pasal terkait aborsi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan masih belum sesuai dengan ketentuan agama Islam. (mediaindonesia.com)
Aborsi adalah tindakan menggugurkan janin di dalam kandungan. Setiap tindakan aborsi tentu akan berisiko bagi perempuan yang menjalaninya, bahkan bisa sampai menghilangkan nyawanya jika terjadi perdarahan dan infeksi. Ini masih belum termasuk risiko nonmedis.
Namun, jika kita cermati lebih mendalam, legalisasi aborsi bagi korban rudapaksa (pemerkosaan) hanya akan menambah beban korban. Sudahlah si korban hamil dengan menanggung malu dan trauma, jika akhirnya memilih mengaborsi janinnya, ia harus menanggung beban hukum karena menghilangkan nyawa si janin. Inilah beban ganda yang harus ditanggung korban.
Selain itu, pada titik ini penting bagi kita mengetahui latar belakang maraknya kasus pemerkosaan sehingga kita bisa menemukan solusi mendasar untuk mengatasinya. Komnas Perempuan mencatat kasus yang paling sering terjadi di antaranya penyebaran konten porno, peretasan dan pemalsuan akun, hingga pendekatan untuk memperdayai (grooming).
Yang lebih mengerikan, kasus pemerkosaan pada era digital ini justru sering kali berawal dari media sosial. Kasus kekerasan berbasis gender—termasuk pemerkosaan perempuan—di media sosial makin berbahaya seiring kecanggihan teknologi dan kian terbukanya orang-orang mempertontonkan diri. Sepanjang 2023, akun @perupadata mencatat setidaknya enam kasus remaja berusia belasan tahun yang sempat hilang bersama orang yang dikenal dari dunia maya dan setelah bertemu ternyata berujung diperkosa. Parahnya, mereka pergi dengan orang tersebut secara sukarela (tanpa dipaksa), padahal sejatinya mereka teperdaya.
Maraknya kasus pemerkosaan di negeri kita juga menegaskan bahwa sedang terjadi krisis keamanan bagi kaum perempuan. Di satu sisi, kaum perempuan dibebaskan untuk berekspresi dan bertingkah laku yang jauh dari rem syariat. Berbagai celah kebangkitan syahwat juga dibuka lebar melalui liberalisasi konten media yang bahkan kehadirannya bisa diakses langsung melalui ponsel pintar milik tiap individu.
Di sisi lain, ruang-ruang pengajian yang mengantarkan pada ketakwaan malah rawan dibubarkan, pengisi kajiannya dikriminalisasi, dan pesertanya dimoderasi di berbagai lini demi tampilnya narasi liberal dan sekuler. Ini semua adalah realitas salah kaprah yang tidak bisa dibenarkan maupun dibiarkan begitu saja. Maraknya kasus pemerkosaan tidaklah mengherankan, kendati tentu saja tidak boleh dimaklumi. Ini karena suasana kehidupan masyarakat secara umum memang kondusif untuk berbuat bejat.
Fakta miris lainnya, keluarga tidak lagi memiliki profil sahih untuk menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam yang disertai koridor keterikatan pada hukum syara’ di antara seluruh anggota keluarga. Sistem pendidikan di luar keluarga (sekolah atau lembaga pendidikan lainnya) juga telah gagal melahirkan generasi berakhlak mulia dan berkepribadian Islam.
Pada saat yang sama, pandangan terhadap perempuan diaruskan menurut paradigma sekuler kapitalistik yang memosisikan perempuan sebagai tuas pengungkit sekaligus komoditas ekonomi. Tambahan lagi, sistem pergaulan/interaksi sosial juga minus suasana keimanan. Sedangkan aparat pengayom masyarakat dan penegak hukum hanya menjadi pemalak rakyat melalui praktik kotor jual beli hukum jika terjadi kriminalitas seperti pemerkosaan.
Memang benar, secara medis, aborsi bisa legal dilakukan, tetapi bersyarat dan harus dengan prosedur yang tepat, yakni sesuai standar operasional prosedur (SOP) tenaga medis. Namun, kita juga harus sadar bahwa kita tidak boleh menggunakan aborsi sebagai jalan pintas untuk mengatasi trauma akibat kehamilan hasil pemerkosaan.
Bagaimanapun, aborsi adalah tindakan merampas hak hidup seorang calon manusia secara langsung di rahim ibunya. Aborsi adalah pelanggaran terhadap jiwa manusia yang terpelihara darahnya. Sedangkan hak hidup seorang manusia berasal langsung dari Allah Taala, Sang Pencipta. Oleh sebab itu, kita harus terikat dengan hukum syarak sebelum mengambil keputusan aborsi.
Aborsi atau pengguguran janin yang telah diberi ruh (nyawa), hukumnya adalah haram. Perbuatan menggugurkan janin ini biasanya dilakukan dengan meminum obat, gerakan-gerakan yang keras, atau dengan tindakan medis; baik dilakukan oleh ibu, ayah, maupun dokter. Dalam Islam, aborsi termasuk tindakan kriminal yang mewajibkan adanya diat (tebusan) yang ukurannya sama dengan diat ghurrah, yaitu budak lelaki atau perempuan yang nilainya sepersepuluh diat membunuh manusia dewasa.
Allah Taala berfirman dalam ayat, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’am [6]: 151).
Juga dalam ayat, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS Al-Isra [17]: 31).
Atas dasar ini, kita tidak bisa sembarangan mengambil aborsi sebagai solusi untuk menyelesaikan kasus kehamilan yang tidak diinginkan. Apalagi jika bersumber dari kasus pemerkosaan yang selain trauma psikis, biasanya korban maupun keluarganya harus menanggung malu. Sebaliknya, dalam hukum Islam sudah jelas bahwa aborsi adalah haram, kecuali memang ada kondisi-kondisi khusus yang dibolehkan syara’.
Mengutip kitab Nizham al-Ijtima’i karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dia berkata, “Rasulullah saw. telah menetapkan bagi janin seorang perempuan Bani Lihyan yang digugurkan dan kemudian meninggal dengan diat ghurrah, baik budak lelaki ataupun budak perempuan.”
Bentuk minimal janin yang gugur dan mewajibkan diat ghurrah adalah sudah tampak jelas bentuknya sebagaimana wujud manusia, seperti telah memiliki jari, tangan, kaki, kepala, mata, atau kuku. Adapun pengguguran janin sebelum peniupan ruh pada janin itu, jika dilakukan setelah berlalu 40 hari sejak awal kehamilan yaitu ketika dimulai proses penciptaan, hal itu juga haram.
Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra., dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Jika nutfah (zigot) telah berlalu 42 malam, Allah akan mengutus padanya seorang malaikat. Maka malaikat itu akan membentuknya, mencipta pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian dia berkata, ‘Wahai Tuhanku, apakah (dia Engkau tetapkan menjadi) laki-laki atau perempuan?’ Maka Allah memberi keputusan.’”
Dalam riwayat yang lain disebutkan empat puluh malam (arba’ina lailatan).
Jika pengguguran janin terjadi pada saat permulaan proses penciptaan janin, hukumnya sama dengan pengguguran janin yang telah ditiupkan ruh padanya, yaitu haram. Ada kewajiban membayar diat pada kasus itu berupa ghurrah, yaitu budak laki-laki atau perempuan.
Ketika proses pembentukan janin dimulai dan sudah tampak sebagian anggota tubuhnya, dipastikan janin itu adalah janin yang hidup dan sedang berproses untuk menjadi seorang manusia sempurna. Oleh sebab itu, penganiayaan terhadap janin sama saja dengan penganiayaan terhadap jiwa seorang manusia yang terpelihara darahnya. Penganiayaan tersebut dipandang sebagai pembunuhan terhadap janin. Allah Taala jelas-jelas telah mengharamkan tindakan ini.
Atas dasar ini, seorang ibu, ayah, atau dokter haram melakukan aborsi setelah janin berumur 40 hari sejak awal kehamilan. Siapa saja yang melakukan tindakan itu, berarti ia telah melakukan tindakan kriminal dan melakukan dosa. Ia wajib membayar diat atas janin yang digugurkannya itu, yakni diat ghurrah berupa budak lelaki atau budak perempuan, sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim di atas.
Aborsi tidak boleh dilakukan, baik pada fase pembentukan janin maupun setelah peniupan ruh pada janin, kecuali jika para dokter yang adil (bukan orang fasik) menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibunya akan mengakibatkan kematian ibunya, sekaligus janin yang dikandungnya. Dalam kondisi semacam ini, aborsi dibolehkan demi memelihara kehidupan ibunya.
Islam sebagai sebuah ideologi yang sahih memiliki seperangkat aturan yang lengkap, jelas, dan tegas. Sanksi hukum dalam sistem Islam sebagai bagian dari penerapan syariat kafah, selain bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku (zawajir) dan mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa, juga bisa sebagai penebus dosa (jawabir) bagi pelaku di akhirat kelak.
Penerapan Islam di seluruh sistem kehidupan ini adalah ekosistem yang subur dengan keimanan dan ketaatan sehingga kasus pemerkosaan sangat minim, bahkan tidak terjadi. Dengan kata lain, penerapan Islam kafah, termasuk sistem sanksi, benar-benar akan menutup celah kejahatan seksual terhadap perempuan karena Islam mampu menyelesaikan pemerkosaan dari akar masalahnya.
Ini jelas berbeda dengan sistem hukum buatan manusia yang berubah-ubah, tidak membuat jera, serta tidak membuat orang lain takut untuk berbuat kejahatan serupa.
Mengutip Muslimah News (2022), dalam sistem Islam, hukum untuk kasus pemerkosaan ada dua:
Pertama, pemerkosaan tanpa mengancam dengan menggunakan senjata. Dalam kondisi ini, pemerkosaan dikategorikan sebagai tindakan zina. Sanksi bagi pelanggarnya adalah mendapatkan had yang sudah ditetapkan terhadap pelaku zina.
Jika pelaku belum menikah (ghairu muhsan), hukumannya adalah cambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun. Jika pelaku sudah menikah (muhsan), ia mendapat hukuman rajam sampai mati.
Korban pemerkosaan tidak dikenai hukuman had. Dalilnya adalah firman Allah Taala dalam QS Al-An’am (6) ayat 145, “Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, sedangkan ia tidak menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ berpendapat, orang yang memerkosa seorang perempuan, selain dijatuhi hukuman had zina, juga mendapat sanksi tambahan, yaitu diharuskan membayar mahar kepada perempuan.
Imam Malik juga mengatakan, “Menurut pendapat kami, tentang orang yang memerkosa seorang perempuan, baik masih gadis maupun sudah menikah, jika perempuan tersebut adalah orang merdeka (bukan budak), pemerkosa wajib memberikan mahar kepada si perempuan. Jika perempuan tersebut adalah budak, ia wajib memberikan harta senilai kurang sedikit dari harga budak perempuan tersebut. Adapun hukuman dalam masalah ini hanya diberikan kepada pemerkosa, sedangkan perempuan yang diperkosa tidak mendapatkan hukuman sama sekali.” (Al-Muwaththa’, 2: 734).
Imam Abu Hanifah berpendapat, pemerkosa hanya mendapatkan had zina tanpa kewajiban membayar mahar.
Kedua, pemerkosaan dengan menggunakan senjata. Orang yang memerkosa dengan menggunakan senjata untuk mengancam, dihukumi sebagaimana perampok. Hukuman bagi perampok telah disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya di dalam QS Al-Maidah (5) ayat 33, “Sesungguhnya hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi adalah mereka dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.”
Ibnu Abdil Bar mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan tindak pemerkosaan berhak mendapatkan hukuman had, jika terdapat bukti jelas yang mengharuskan ditegakkannya hukuman had, atau pelaku mengakui perbuatannya. Akan tetapi, jika tidak terdapat dua hal di atas, dia berhak mendapat hukuman (selain hukuman had). Adapun terkait wanita korban, tidak ada hukuman untuknya jika dia benar-benar diperkosa dan dipaksa oleh pelaku. Hal ini bisa diketahui dengan teriakannya atau permintaan tolongnya.” (Al-Istidzkar, 7: 146).
Syekh Muhammad Shalih Munajid menjelaskan keterangan Ibnu Abdil Bar di atas, “Jika tidak terdapat bukti yang menyebabkan dia berhak mendapat hukuman had, baik karena dia tidak mengakui atau tidak ada empat orang saksi, maka (diberlakukan) pengadilan takzir (selain hukuman had), yang bisa membuat dirinya atau orang semisalnya akan merasa takut darinya.” (Disarikan dari Fatawa al-Islam, Tanya Jawab diasuh oleh Syekh Muhammad Shaleh Munajid, fatwa no. 72338).
Semua ini sekaligus menunjukkan bahwa aborsi jelas bukan solusi bagi korban pemerkosaan. Meski begitu, penyelesaian permasalahan ini juga harus sistemis, mulai dari akar hingga ke daunnya. Sistem sanksi dan hukum Islam itu hanya akan tegak jika sistem pemerintahannya juga menerapkan syariat Islam kafah, yaitu Khilafah Islamiah atas dasar minhaj kenabian. Bukan atas dasar sekularisme yang menafikan aturan Allah Swt. dalam kehidupan.