Oleh: Nor Aniyah, S.Pd (Penulis, Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi)
Lebih dari 1.000 orang wakil rakyat baik di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terlibat judi online (cnbcindonesia.com). Hal tersebut diungkapkan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Jakarta, Rabu 26 Juni 2024. Ia menyebutkan angka yang dipotret PPATK itu terdiri dari legislator maupun yang bekerja di lingkungan Sekretariat Jenderal DPR maupun DPRD. Jumlah uang dan transaksi judi daring di lingkungan DPR dan DPRD tersebut sangat fantastis. Yaitu mencapai lebih dari 63.000 transaksi dengan nominal perputaran hingga Rp 25 miliar (republika.co.id).
Miris, fakta wakil rakyat justru terlibat judi online. Padahal sebagian masyarakat berharap wakil rakyat bisa menghentikan judi online. Namun nyatanya mereka sendiri juga pelaku. Realitas ini mencerminkan buruknya kualitas wakil rakyat mulai dari integritas yang lemah, tidak amanah, dan kredibilitas yang rendah.
Banyaknya wakil rakyat terjebak judi online menggambarkan masalah ini bukanlah masalah individu, melainkan sistem. Masyarakat harus sadar mereka sedang diatur sistem bathil bernama Kapitalisme. Sistem dari Barat ini meniscayakan orang-orang yang memiliki kekuasaan menjadi serakah. Karena orientasi sistem Kapitalisme adalah materi. Selama ada kesempatan meraup keuntungan besar, kesempatan itu harus digunakan. Jadi, tidak mengherankan sekalipun para pejabat sudah sangat tinggi digaji dari uang rakyat, tetap terlibat judi online.
Ditambah sistem Demokrasi yang digunakan sebagai sistem pemerintahan oleh Kapitalisme menjadikan anggota dewan hari ini lebih banyak melegalisasikan kepentingan penguasa dan oligarki. Hal ini terbukti dengan undang-undang yang mereka rancang, bahas dan sahkan sama sekali tidak berpihak pada masyarakat. Jadi, slogan “wakil rakyat bekerja untuk rakyat” hanyalah slogan kosong. Seperti inilah wakil rakyat dalam sistem Demokrasi Kapitalisme. Mereka direkrut tidak mengutamakan kredibilitas dan representasi masyarakat. Alhasil, para wakil rakyat tidak bekerja untuk mewakili rakyat. Namun untuk kesenangan pribadi dan para korporat.
Sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan terjadi secara nyata. Agama di kesampingkan, bahkan dibuang. Negara tidak peduli rakyat mencari makan dengan cara haram. Negara menutup mata dengan maraknya perjudian. Bahkan negara mencari pendapatan dengan mengizinkan arena perjudian. Ini sebuah ironi sebab semua tahu perjudian ini sangat merugikan masyarakat dan negara.
Sangat berbeda dengan keberadaan anggota wakil rakyat dalam sistem Islam. Dalam sistem Islam, anggota wakil rakyat disebut dengan Majelis Umat. Dalam kitab Ajhizatu ad-Daulah al-Khilafah dijelaskan Majelis Umat adalah majelis yang beranggotakan orang-orang yang mewakili kaum Muslim dengan memberikan pendapat sebagai tempat merujuk bagi Khalifah untuk meminta masukan atau nasihat dalam berbagai urusan.
Mereka mewakili umat dalam melakukan muhasabah atau mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintahan (al-Hukkam). Keberadaan majelis ini diambil dari aktivitas Rasulullah Saw yang sering meminta pendapat atau bermusyawarah dengan beberapa orang dari Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum mereka. Hal ini juga diambil dari perlakuan khusus Rasulullah Saw terhadap orang-orang tertentu di antara para sahabat untuk meminta masukan.
Beliau juga lebih sering merujuk kepada mereka yang diperlakukan khusus itu dalam mengambil pendapat dibandingkan sahabat-sahabat lainnya. Di antaranya Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Hamzah bin Abdul Muthalib, Bilal bin Rabbah, Abu Dzar Al-Ghifari, Sa’ad bin Mu’adz, Sa’ad bin Ubadah, Usayd bin Hudayr, Al-Miqdat al-Aswad, Hudzaifah al-Yaman, dan Salman al-Farisi.
Keberadaan Majelis Umat sebagai wakil rakyat bukan melakukan legalisasi seperti perwakilan dalam sistem Demokrasi, namun sebagai pengimbang kekuasaan eksekutif Khalifah. Sebab Allah SWT membolehkan bersyura atau diskusi terkait perkara yang didiskusikan bukan diskusi terhadap hukum syariat. Allah SWT berfirman: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”(QS. Ali Imaran: 159).
Dalam kitab Ath-Thariq, Syaikh Ahmad Athiyat menjelaskan beberapa wewenang utama Majelis Syura, yaitu pertama memberikan pendapat atau usulan kepada Khalifah dalam setiap urusan dalam negeri seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi sebagaimana usulan mendirikan sekolah, membuat jalan, atau mendirikan rumah sakit. Dalam hal ini pendapat majelis bersifat mengikat.
Kedua, mengoreksi Khalifah dan para penguasa tentang berbagai hal yang dianggap kekeliruan. Pendapat majelis ini bersifat mengikat jika pendapat mayoritasnya bersifat mengikat pula. Bila terjadi perbedaan dengan Khalifah maka perkara tersebut diserahkan kepada Mahkamah Mazhalim.
Ketiga, menampakkan ketidaksukaan terhadap para wali atau para mu’awin yang melanggar hukum syara dan menyulitkan rakyat dan Khalifah harus memberhentikan yang diadukan itu. Keempat, memberikan pandangan dalam undang-undang yang akan ditetapkan, dan membatasi kandidat Khalifah.
Keberadaan Majelis Umat adalah representasi umat. Berperan penting dalam menjaga penerapan hukum syara oleh pejabat negara dan menyalurkan aspirasi rakyat. Adapun para anggota Majelis Umat terdiri dari Umat Islam dan non-Islam, lelaki dan perempuan, berakal, balig, dan merdeka. Majelis Umat dipilih melalui pemilu bukan penunjukkan. Hal ini agar Khalifah dapat mengetahui kebutuhan suatu daerah melalui Majelis Umat di mana keberadaannya adalah wakil individu-individu, kelompok-kelompok, dan masyarakat secara representatif daerah tersebut.
Kebutuhan demikian hanya bisa direalisasikan melalui pemilu (pemilihan umum). Pastinya orang-orang yang menjadi Majelis Umat diketahui masyarakat daerahnya sebagai orang yang amanah, bertanggung jawab dan peduli terhadap kondisi masyarakat. Demikianlah rincian dan wewenang kriteria anggota perwakilan rakyat dalam sistem Islam yang diterapkan secara praktis dalam Daulah Khilafah. Bukankah wakil rakyat seperti ini yang dibutuhkan umat?
Alhasil, hanya Islam yang bisa menyelesaikan masalah sistemik ini. Namun, cara-cara ini hanya akan efektif dalam habitat yang sesuai yakni negara yang menerapkan Islam secara kaffah. Di sinilah pentingnya tegak kehidupan Islami, di dalamnya diterapkan syariah kaffah dengan suasana keimanan yang kental.[]