
Oleh : Istiqamah (Pemerhati Masyarakat)
Dana Moneter Internasional (IMF) merilis laporan World Economic Outlook April 2024 yang menunjukkan bahwa Indonesia mencatat tingkat pengangguran tertinggi di antara enam negara ASEAN yang disurvei. Dari data IMF, tingkat pengangguran Indonesia mencapai 5,2 persen per April 2024.
Tingginya tingkat pengangguran seringkali dijadikan tolak ukur dalam mendata tingkat kemiskinan dalam suatu negara. Menurut Bank Dunia, angka kemiskinan Indonesia per 2022 mencapai 44 juta jiwa. Sering berjalannya waktu, angka ini mulai mengalami penurunan walaupun tidak signifikan.
Berbagai permasalahan menjadi faktor penyebab tingginya angka pengangguran di Indonesia. Salah satunya adalah lapangan pekerjaan yang tidak tercukupi oleh pemerintah. Lebih parah lagi, pemerintah justru mengimpor tenaga kerja asing.
Prioritas pembangunan negara hanya pada pembangunan yang bersifat fisik, sedangkan pembangunan SDM yang terdidik dan bermutu malah terabaikan. Akibatnya, SDM dalam negri kalah saing dengan SDM asing yang kenyataannya lebih unggul dalam berbagai aspek.
Berbagai proyek, seperti investasi swasta dalam maupun luar negeri nyatanya belum mencukupi lapangan pekerjaan bagi masyarakat, malahan tenaga kerja asing masuk secara besar-besaran sehingga menyingkirkan kesempatan pekerja dari dalam negeri untuk mendapatkan kesempatan kerja.
Perpres 68/2022 tentang Revitalisasi Pendidikan dan Pelatihan Vokasi (PVPV) menjadi landasan bagi sekolah untuk membuka kerja sama dengan pihak swasta agar dapat membantu para lulusan SMK pencari kerja. Melalui kerja sama ini, pemerintah memberikan dana kepada pihak swasta dalam rangka menyediakan program-program pemagangan.
Sayangnya, kebijakan ini justru mencerminkan bahwa Indonesia tidak memiliki visi pendidikan yang kuat. Pemerintah malah mempersiapkan rakyat menjadi buruh para investor yang menanam modal di dalam negri.
Inilah kebijakan-kebijakan yang diterapkan dengan negara yang menganut sistem Kapitalisme-Sekulerisme. Paham Sekulerisme ini mengharuskan pemisahan agama dari kehidupan, akibatnya aturan Islam digunakan sebagian saja, agama hanya dipakai hanya untuk beribadah.
Berbeda dengan Islam, negara mempunyai kewajiban untuk mengurusi rakyat dengan sempurna. Dalam memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya, negara berperan penting untuk menyediakan lapangan pekerjaan, terutama bagi para ayah ataupun wali yang mempunyai tanggung jawab untuk mencari nafkah.
Selain membuka lapangan pekerjaan, negara juga akan menyediakan modal kepada para ayah atau wali untuk mengembangkan usaha.
Negara Islam akan mempersiapkan SDM agar memiliki keahlian dan keterampilan. Upaya ini dilakukan negara melalui pendidikan, seperti mendirikan sekolah, mengadakan pelatihan dan pembekalan skill, maupun program belajar dari negara lain. Negara juga harusm enciptakan sistem pendidikan yang bisa melahirkan para cendekiawan dan inventor yang akan melahirkan ide-ide dan berbagai temuan penting yang berguna bagi kehidupan.
Dalam bidang pendidikan, negara tidak memungut biaya kepada para siswa nya. Dengan kebijakan ini, para ayah atau wali tidak akan terbebani dengan berbagai biaya pendidikan.
“Negara harus menjamin dan mempermudah akses pendidikan formal karena negara memiliki sumber pemasukan dana dari pengelolaan SDA. Hasil dari pengelolaan SDA secara mandiri oleh negara ini akan dipergunakan seutuhnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Gen Z pun termasuk bagian darinya sehingga yang memiliki kemampuan untuk memberikan fasilitas pendidikan formal tanpa pungutan biaya sedikitpun hanyalah negara,” ujar salah satu aktivis muslimah, Ahsin Faradiba, S.Si.
Tentunya, ini hanya dapat kita rasakan kalau aturan Islam diterapkan di seluruh aspek kehidupan, baik oleh individu, masyarakat, dan yang terpenting diterapkan oleh negaranya.
Wallahua’lam bissawab..