Rabu, Juli 2, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Demokrasi Kerakyatan ala Bung Hatta

by Mata Banua
15 Juli 2024
in Opini
0
D:\2024\Juli 2024\16 Juli 2024\8\8\muhammad aufal fresky.jpg
Muhammad AufalFresky (Magister Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya, Penulisbuku ‘Empat Titik Lima Dimensi’, Anggota Brawijaya Writers Club (BWC))

 

26 tahun tahun setelah reformasi, kematangan demokrasi di negeri ini masih menjadi perbincangan hangat.Pemimpin demi pemimpinsilihberganti. Baikdi level pusat, maupundaerah. Ragam kebijakan, regulasi, dan program digodok sedemikian rupa setiap periodenya. Namun, apa yang terjadi, sebagian rakyat masih merasa belum diperhatikan secara serius. Bahkan, kerap kali tidak dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan. Seolah-olah rakyat adalah bukan menjadi majikan bagi pemimpinnya. Padahal, sebagai negara demokrasi, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Artinya, setiap pejabat atau wakil rakyat mestinya memprioritaskan kepentingan rakyat. Sebab, kepada rakyatlah mereka bekerja dan bertanggungjawab. Menerima mandat dari rakyat. Bukan sebaliknya, bertindak seolah-olah raja yang bersikapsemena-mena, semau-maunyaatas rakyat.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\3 Juli 2025\8\master opini.jpg

Berantas Narkoba Selamatkan Masyarakat

2 Juli 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Kampus Bentuk Satgas Perlindungan Perempuan, Sudah Cukupkah?

2 Juli 2025
Load More

Jika urusan rakyat dinomor duakan, bahkan tidak dihiraukan, lantas apa gunanya adanya pemilihan umum (pemilu) atau pemilihan kepala daerah (pilkada). Bukankah setiap pesta demokrasi tersebut mengandung makna hajatan rakyat. Artinya, rakyat mencari sosok yang tepat untuk menerima mandatnya. Tapi, kenyataannya berbicara lain. Sebagian pemimpin kita justru lupa ketika duduk di kursi kekuasaan. Janji-janji yang dilontarkan ketika kampanye hilang begitu saja. Para pemilihnya tidak dilihat lagi. Jangankan untuk mendengarkan keluhkesah rakyat, untuk bertegur sapa secara hangat pun susahnya minta ampun. Mengapa sebagian pejabat kita justru bersifat dan bersikap arogan ketika berkuasa? Menjadikan kepentingan diri, keluarga, dan golongannya di atas kepentingan publik. Sungguh, kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Melihat kenyataan semacam itu, saya jadi teringat sosok pemimpin bangsa: Bung Hatta. Beliau adalah pemikir dan pejuang yang selama hidupnya mengabdikan diri untuk nusa dan bangsa. Rasa-rasanya, ide Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia terkait kebangsaan dan kerakyatan perlu kembali direnungkan dan direfleksikan kembali. Hal itu mengingat demokrasi yang selama ini kita jalani seolah-olah stagnan. Atau bahkan bisa dikatakan berada di persimpangan jalan. Demokrasi kerakyatan hanya menjadi slogan tanpa realisasi. Padahal, Bung Hatta sudah menggaungkan tentang konsep demokrasi kerakyatan puluhan tahun silam. Namun, nyatanya kita belum benar-benar mengamalkannnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hatta mengutarakan ada tigasumber pokok demokrasi yang mengakar di Indonesia. Pertama, sosialisme Barat yang membela prinsip-prinsip humanisme, sementara prinsip-prinsip ini juga sebagai tujuan. Kedua, ajaran Islam yang memerintahkan untuk melakukan kebenaran dan menegakkan keadilan di tangahmasyarakat. Ketiga, pola hidup dalam kolektivisme yang sebagaimana dilakukan di desa-desa wilayah Indonesia (Maarif, 1999).

Hemat saya, Hatta sebagai seorang pembaca buku yang rakus, telah menelusuri pemikiran banyak tokoh terkait demokrasi. Dan ternyata, dia menemukan formula yang sesuai dan relevan dengan situasi dan kondisi rakyat Indonesia. Menurutnya, demokrasi yang cocok untuk diterapkan di negeri ini sebenarnya adalah demokrasi kerakyatan yang bersumber dari realitas kehidupan asli masyarakat Indonesia. Tidak condong pada demokrasi liberal atau demokrasi kebarat-baratan. Demokrasi ala Hatta menolak konsep individualisme. Justru, dia sepakat jika demokrasi di negeri inimenjadikan rakyat tujuan utama dalam tata kelola pemerintahan. Demokrasi yang memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada rakyat untuk berpartisipasi aktif di dalam penyelenggaran pemerintahan. Intinya, Hatta berpandangan demokrasi kerakyatan juga gabungan yang tidak terpisahkan antara demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan demokrasi sosial.

Tidak hanyaitu, saya juga berpendapat, dalam konsep demokrasi kerakyatan yang diusung oleh Hatta, sangat menolak keras segala bentuk ketidak adilan dan penyalahgunaan kekuasaan. Sangat tidak sepakat dengan segala bentuk pembungkaman suara rakyat. Apalagi dalam demokrasi, hukum sebagai panglima tertinggi. Para penegaknya mestinya tidak pandang bulu setiap kasus hukum. Sebab, demokrasi justru akan menjadi semakin cacat jika hukum dipermainkan. Apalagi, hanya tajam kebawah, tumpul keatas. Semisal, orang-orang berduit bisa dengam mudahnya lolos dari jeratan hukum. Sebaliknya, yang tak berpunya justru dikenakan pasal berlapis-lapis yang memberatkan hukumannya. Dalam hal ini, siapa yang ber-uang, dialah yang mengendalikan, atau memenangkan sebuah perkara hukum. Sungguh, akan menjadi kacau kehidupan demokrasi kita jika semakin banyakoknum yang memperjual belikan hukum.

Lantas, di manakah letak kedaulatan rakyat jika sebagian elit politik dan pemimpin nasional kita justru menjadi pembajak demokrasi? Kedaulatan rakyat yang digaungkan Hatta bisa saja hanya menjadi ilusi. Padahal, menguti plamansetneg.go.id, kedaulatan rakyat berarti berarti rakyat mempunyai hak dan kekuasaan untuk menetapkan paham dan roda pemerintahan suatu negara. Rakyat berdaulat dan mempunyai kekuasaan untuk memutuskan bagaimana masyarakat menjalani kehidupan pemerintahan. Namun, Keputusan rakyat dapat menjadi aturan pemerintahan bagisemua orang dan harus teratur dalam bentuk dan prosesnya, yaitu keputusan yang diambil berdasar kankonsensus dalam perundingan. Hal ini bukanlah keputusan yang tiba-tiba diambil dalam rapat umum lainnya.

Demokrasikerakyatan yang diusung Bung Hatta sebenarnya memiliki spirit kekeluargaan dan gotong-royong dalam membangun bangsa dan negeri. Gotong-royong menjadi landasan dalam membangun solidaritas dan persatuan nasional. Gotong-royong untuk pembangunan maupun untuk menjaga keharmonisan sosial.

Menyelesaikansegalabentukpersoalan dan mengambilkeputusandenganmusyawarahmufakat. Memperhatikan betul aspirasi dan kepentingan rakyat. Begitu inti dari demokasi kerakyatan Hatta. Besar harapansaya, kita kembali menengok jejak pemikiran Hatta terkait demokrasi kerakyatan untuk kembali direfleksikan dan ahkan diaplikasikan. Teruama oleh penguasa dan elitpolitik di negeri ini. Saya yakin betul, gagasan Hatta terkait demokrasi kerakyatan dalam rangka terwujudkan masyarakat yang adil dan makmur, juga untuk mengangkat harkat dan martabat setiap warga negara Indonesia.

 

 

Tags: demokrasiMuhammad AufalFresky
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA