
Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy baru baru ini melontarkan pernyataan kontroversial dengan mendukung usulan untuk memberikan pinjaman online (pinjol) kepada mahasiswa guna menanggulangi biaya kuliah.
Ini dilontarkan sebagai tanggapan atas dorongan DPR RI kepada Kemendikbudristek RI untuk melibatkan BUMN dalam upaya memberikan bantuan biaya kuliah demi meringankan beban mahasiswa.
Sungguh pernyataan pernyataan serupa yang keluar dari mulut para wakil rakyat ini sangat tidak solutif dan mengada ngada. pasalnya, persoalannya saat ini adalah mahalnya biaya pendidikan dg naiknya UKT yang semakin membebani ditengah banyaknya pengeluaran lain untuk memenuhi kebutuhan pokok yang mahal dan biaya untuk jaminan kesehatan dan yang lainnya yang tentu ini semakin menambah penderitaan.
Beberapa bulan yang lalu, Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) menggelar aksi protes terhadap kebijakan kampus ITB yang menawarkan skema pembayaran uang kuliah dengan cicilan via pinjaman online (pinjol). Dan ternyata ada puluhan perguruan tinggi yang bekerjasama juga dengan layanan pinjaman online untuk mahasiswa.
Selain unjuk rasa penolakan oleh mahasiswa, hasil riset Tim Center For Digital Society (CfDS) menunjukkan bahwa masyarakat (responden) tidak setuju dengan platform pinjol sebagai solusi mahalnya UKT pendidikan.
Pinjol untuk membayar UKT sesungguhnya jelaslah bukan solusi, malah menjerumuskan mahasiswa ke dalam perangkap utang. Jika saat ini tidak dapat membayar UKT, justru di kemudian hari harus membayar utang beserta bunganya yang tinggi. Bunga pinjaman yang sangat tinggi, yaitu 0,5-3 persen perbulannya.
Seiring berubahnya status beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan dunia pendidikan menjadi industri, maka pembiayaan pendidikan praktis menjadi mandiri dan berdampak pada UKT yang makin mahal. Alokasi dana pemerintah dari APBN untuk PTN turun drastis, yakni dari 81% menjadi 35%. Artinya, PT harus menganggung biaya operasional yang dibutuhkan, mulai dari memunculkan program income generating pada unit-unit PT, hingga bekerja sama dengan platform pinjol.
Ancaman kredit macet karena berbagai hal juga bisa terjadi. Belajar dari pengalaman atau negara lain, ini membuat rakyat selalu dikejar-kejar utang. Mereka tidak bisa menikmati hidup, bahkan pada usia yang tidak lagi muda yang harusnya tinggal merasakan jerih payah kerja, mereka masih dibayang-bayangi membayar utang. Ini merupakan lingkaran setan yang menjerumuskan hidup para mahasiswa.
Lebih dari itu, solusi ini pada akhirnya membelokkan arah perjuangan mahasiswa. Jika sebelumnya mereka adalah agent of change karena kemampuan intelektual dan kekritisannya, kini akibat tekanan membayar utang, mereka berubah menjadi “agent of money”. Mereka akhirnya mencari ilmu dengan tujuan mendapatkan nilai bagus, mendapat ijazah yang dengan itu mereka akan mendapatkan pekerjaan, lalu gajinya bisa untuk membayar utang. Mereka tidak akan sempat memikirkan masalah rakyat karena memikirkan masalah sendiri saja sudah penat.
Dlam pendidikan kapitalisme, meskipun telah banyak kasus pinjol yang berujung dengan kesengsaraan atau kematian dikarenakan tidak mampu membayar utang dan bunga yang besar, tetapi pinjol tetap dijadikan solusi atas tunggakan SPP.
Tingginya harga pungutan biaya pendidikan, dikarenakan negara menyerahkan tanggung jawabnya kepada masing-masing kampus.
Peran negara berubah menjadi regulator dan mengabaikan peran sebagai fasilitator pendidikan sehingga terjadi privatisasi pendidikan. Hal ini memberikan dampak negatif. Tidak sedikit mahasiswa mengalami tekanan mental. Dikarenakan selain beban biaya pendidikan yang ditanggung individu, mereka juga harus berjuang bertahan hidup dengan himpitan biaya hidup serba mahal.
Inipun bagian dari sekularisasi dalam institusi pendidikan yaitu terlibatnya mahasiswa dengan pinjaman dana yang disertai bunga, tentu menjebak mahasiswa terjerat riba (bunga) secara paksa ataupun sukarela melalui masifnya arus pinjol ala sekuler. Generasi makin dijauhkan dari nilai-nilai agama dan negara tidak memedulikan bagaimana nasib mahasiswa setelah terjerat pinjaman dana berbunga atau pinjol yang berujung menjadi tumbal.
Penerapan sistem kapitalisme terbukti membuat seluruh masyarakat terjerat riba dan hidup sengsara. Sulitnya perekonomian yang terjadi akibat kekayaan hanya berputar pada para pemodal, membuat orang miskin gigit jari. Pendidikan yang merupakan hak seluruh masyarakat Indonesia, kini hanya berlaku untuk orang berduit saja. Masyarakat harus bersaing ketat untuk mendapatkan beasiswa.
Inilah komersialisasi pendidikan. Pendidikan menjadi komoditas bisnis. Pendidikan diperjualbelikan. Rakyat harus merogoh kocek lebih dalam demi mengenyam pendidikan. Berbagai kebijakan bukannya memudahkan rakyat, tetapi justru menjerumuskan, termasuk ke dalam jerat utang.
Padahal jika dilihat dalam perspektif Islam, pendidikan adalah hak setiap warga negara yang dijamin pemenuhannya. Artinya, negara wajib menyediakan pendidikan secara gratis.
Islam memiliki pengelolaan keuangan yang cukup untuk membiayai kebutuhan dasar masyarakat, termasuk pendidikan. Oleh karena itu, dalam Islam, pendidikan itu akan diberikan secara merata. Negara tidak memandang kaya atau miskin, setiap masyarakat akan mendapatkan pelayanan pendidikan gratis. Mereka tidak perlu berpikir dari mana memperoleh uang untuk membayar UKT. Mereka dapat konsentrasi menuntut ilmu dan menyiapkan diri untuk mengamalkan ilmunya.
Negara wajib mencari sumber dana untuk membiayai pemenuhan kebutuhan pokok berupa pendidikan bagi rakyat dengan melakukan pengelolaan kepemilikan umum, yakni sumber daya air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, padang, hutan dan segala kekayaan di dalamnya, serta berbagai jenis tambang yang merupakan hak milik umat.
Negara juga dapat melakukan pengumpulan wakaf dari para aghniya (orang kaya), dari warga negara yang mengejar amal jariah, baik berupa aset riil semisal tanah dan bangunan, atau sarana prasarana pendidikan, juga bisa berupa biaya operasional pendidikan bagi rakyatnya yang akan mengantarkan pada generasi yang taat dan kuat.
Berbagai sumber pendanaan baitulmal negara inilah, yang akan mampu memberikan layanan pendidikan yang murah bahkan gratis bagi seluruh warga negara secara adil, tanpa memandang suku, agama, ras warganya, hingga terwujudnya Islam rahmatan lil ‘alamin.
Dengan demikian, perguruan tinggi akan menjalankan tugasnya dengan baik. Lembaga pendidikan tidak perlu mencari uang untuk membiayai kebutuhan pendidikan. Bahkan kampus tidak perlu menyuruh mahasiswanya untuk mengambil pinjaman karena Islam mengharamkan riba. Jadi, aktivitas apa pun yang berbau riba, meski tujuannya baik, tetap haram hukumnya. Terakhir, jika kaum muslim menginginkan pendidikan sebagaimana konsep Islam, maka penerapan ideologi Islamlah jawabannya. Wallahu A’lam