
Tidak semua orang Islam yang berhaji dengan niat yang benar. Mulai dari sekadar jalan-jalan, rekreasi, ingin mendapat gelar haji/hajjah, dan sebagainya. Padahal, semua amal dalam Islam harus diniati dengan tujuan “mencari ridha Allah SWT”. Tanpa hal itu, maka akan sia-sia semua ibadah yang dilakukan umat Islam, termasuk haji ke Tanah Suci.
Dari rukun Islam yang lima, perintah haji adalah yang waktu pelaksanaanya sangat fleksibel. Hanya sekali seumur hidup. Itu pun bagi mereka yang mampu baik dari segi harta maupun kesehatan. Jika direnungkan dan diamati, dimensi spiritual-vertikal dan sosial-horizontal sangat kental dan terintegrasi dalam ibadah haji ini.
Secara vertikal-spiritual, seorang muslim yang berhaji ziarah ke rumah Allah seakan satu kakinya tengah melangkah ke kampung akhirat, sementara yang satu masih di dunia. Dengan mengenakan pakaian ihram yang menyerupai kain kafan dan meninggalkan semua identitas serta jabatan keduniaan, sewaktu berhaji kita benar-benar diajak menghayati sebuah dunia lain, sebuah kehidupan rohani yang senantiasa ingat dan selalu ingin mendekat pada Allah Sementara hati tertuju hanya pada Allah, namun secara fisik dan psikis keakuan kita lebur dalam suasana kekitaan.
Sebenarnya, istilah haji palsu dalam Islam tidak ada, namun yang ada adalah haji mabrur dan haji mardud. Namun, saat ini banyak sekali motivasi dan cara kotor umat Islam ingin berhaji. Mereka melakukan segala cara untuk melakukan haji. Tak jarang dari mereka hanya ingin mendapat posisi sosial, akhirnya mereka pergi haji.
Selain itu, ada pula orang pergi haji hanya ingin dipanggil “pak haji” dan “bu hajjah”, padahal persoalan haji bukan sesempit dan sesesat itu. Yang lebih ironis, saat ini banyak orang pergi haji dengan “uang haram”, misalnya uang hasil korupsi, uang hasil merampok, dan sebagainya.
Padahal, seharunya pergi ke Tanah Suci, ongkos ke sana juga harus dengan harta yang suci pula, bukan justru uang hasil korupsi. Inilah fakta yang saat ini sedang terjadi. Saat ini banyak koruptor pergi haji menggunakan uang korupsi, serta hanya bertujuan “memperbaiki citra” semata.
Maka dari itu, sejak dini umat Islam harus berbenah diri. Jika ingin pergi haji, maka mereka harus menggunakan harta suci, bukan hasil mencuri atau korupsi. Logikanya, segala sesuatu akan menjadi baik tergantung dari caranya. Pasalnya, pahala itu dihitung dari besarnya “usaha” yang dilakukan. Dan yang perlu diingat, haji bukanlah sekadar refreshing atau rekreasi, namun haji merupakan ibadah suci yang dilakukan untuk mendapat ridha Allah SWT.
Haji Mabrur
Menjadi haji mabrur bukanlah semudah membalik telapak tangan. Kata mabrur berasal dari bahasa Arab yaitu al birrun yang artinya “baik”, dan al mabrur sendiri berarti yang penuh kebaikan. Dari arti katanya sendiri telah jelas bahwa haji mabrur adalah haji yang penuh dengan kebaikan. Sebagian ulama mengatakan haji mabrur itu adalah haji yang tidak ada maksiat dan cacat cela di dalamnya. Maka, jika haji dilakukan dengan uang korupsi, secara jelas haji tersebut ditolak.
Untuk mengetahui makna haji mabrur, perlu diketahui mengenai tingkatan-tingkatan haji. Tingkatan haji itu ada tiga, yang pertama haji mabrur, yang kedua haji maqbul, dan yang ketiga haji mardud. Haji maqbul (diterima) adalah ibadah haji yang diterima oleh Allah, dan telah menggugurkan kewajiban berhaji. Haji mardud (ditolak) adalah haji yang di tolak oleh Allah karena di dalamnya dicampuri oleh perbuatan dosa serta maksiat kepada Allah, tidak menggugurkan kewajiban berhaji dan menjadi sia-sia ibadah hajinya.
Haji mabrur merupakan tingkatan haji yang tertinggi, yaitu haji yang diterima oleh Allah, telah menggugurkan kewajiban berhaji, dan dapat mengantarkan pelakunya kepada perilaku yang lebih baik dari sebelumnya. Karena itu, tak mudah menggapai tingkatan haji mabrur, apalagi uang untuk haji adalah uang haram, tentu bukan menjadikan mabrur, melainkan sebaliknya.
Sekalipun untuk menggapai predikat mabrur dari Allah begitu sulit, namun semua itu dapat diupayakan jika kita bersungguh-sungguh. Salah satunya adalah dengan niat yang ikhlas semata-mata karena Allah dan untuk menggapai ridho-Nya, bukan karena ingin mendapat gelar haji, atau karena hal-hal keduniawian yang lain.
Maka, sudah saatnya orang berhaji mengikuti cara-cara yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, yaitu dengan melaksanakan rukun haji, wajib haji, dan sunah-sunah yang diajarkan. Ini merupakan ilmu yang harus dimiliki bagi orang yang ingin berhaji. Tanpa ilmu tersebut, amalan yang dilakukan akan sia-sia. Berhaji menggunakan harta yang halal, halal dalam kepemilikannya dan halal pula cara mendapatkannya.
Sia-sia sajalah apabila kita berhaji dengan menggunakan uang yang haram, misalnya uang hasil korupsi atau mencuri. Allah akan menolak amalan tersebut. Maka dari itu, apakah anda akan tetap pergi haji dengan uang hasil korupsi? Itu pilihan anda. Wallahu a’lam bisshawab.