Oleh : Muhammad Aufal Fresky (Penikmat kopi dan sastra)
Seorang penulis ibarat koki yang menyajikan makanan untuk dihidangkan. Enak tidak enaknya sebuah makanan, dinilai dari siapa yang menikmatinya. Koki hanya bertugas meramu resep makanan, mengolah, dan menyiapkan makanan untuk disantap. Begitu juga dengan penulis, hasil tulisannya bisa dinikmati dan dinilai oleh pembacanya. Penulis ataupun koki yang handal tidak dihasilkan dari proses yang instan. Atau semacam bim salabim abracadabra, tiba-tiba hebat. Tiba-tiba menjadi penulis ulung. Tidak. Jangan pernah bermimpi menjadi penulis hebat jika enggan untuk melalui tahapan demi tahapan. Penulis sebenarnya adalah pekerja seni yang memang selalu disibukkan dengan ide-ide kreatif. Namun, tidak jarang, ide-ide tersebut hanya berseliweran di benak, tetapi tidak menjadi sebuah produk tulisan. Rasa takut dan ragu untuk memulai menjadi penghambat seseorang yang hendak memulai untuk menulis.
Banyak tips dan trik ampuh untuk menjadi penulis profesional, baik penulis artikel, buku, jurnal, dan sebagainya. Beragam resep jitu ditawarkan untuk membuat seseorang mahir menjadi penulis ulung. Tidak sedikit diskusi, kajian, seminar, dan pelatihan terkait menulis yang diadakan banyak lembaga. Mulai dari sekolah, kampus, hingga instansi pemerintahan, dan instansi swasta. Sebab, di era sekarang ini, kemampuan menulis menyangkut semua lini kehidupan dan sangat dibutuhkan. Namun, yang menjadi pertanyaan saya adalah dari sekian pelatihan dan seminar tentang kepenulisan yang diikuti, apakah sudah berdampak signifikan bagi pesertanya? Artinya, apakah peserta yang telah pelatihan itu sudah langsung bisa menjadi penulis profesional? Tentu saja jawabannya tidak.
Para mentor ataupun ahli di bidang tulis menulis, tidak langsung mengungkapkan semuanya seluk-beluk terkait dunia menulis. Apalagi waktunya hanya beberapa jam. Saya pernah mengikuti juga pelatihan menulis, yang mana pembahassannya seputar motivasi menulis dan langkah-langkah memulai menulis. Belum menyentuh bagian yang saya rasa cukup esesial dalam menulis, yaitu bagaimana memahami proses kreatif dalam menulis.
Sebab, setiap dari kita, khususnya penulis, baik yang pemula maupun yang jam terbangnya tinggi, tentu saja memiliki proses kreatif yang berbeda. Begitu juga dengan gaya bahasa yang digunakan setiap penulis, tidak sama seratus persen. Mungkin hanya ada sedikit kemiripan. Kenapa bisa begitu? Tentunya karena setiap penulis memiliki pengatahuan, ilmu, dan pengalaman yang berbeda-beda. Kita tidak bisa memandingkan begitu saja hasil tulisan orang yang sudah terbiasa menulis di koran Tempo atau Kompas dengan orang yang baru saja menghasilkan sebuah karya. Itupun masih dipandu oleh para mentornya misalnya. Jam terbang memang cukup menentukan kualitas sebuah karya yang dihasilkan.
Teori menulis memang perlu dan cukup dibutuhkan. Tetapi jangan sampai hal itu dijadikan penghalang untuk berkarya semaksimal mungkin. Justru yang paling dibutuhkan, adalah bagaimana agar kita memiliki motivasi yang kuat untuk tetap berkarya dalam kondisi apa pun, dan di mana pun. Spirit dalam menulis ini perlu selalu dihidupkan agar kita tidak mandek dalam menghasilkan karya. Jangan pernah menghakimi sendiri karya-karya yang kita hasilkan.
Sejelek apapun karya kita menurut orang lain, itu adalah hasil kerja keras kita. Hasil jerih payah kita. Cukup memeras otak tentunya bagi kita yang masih awal-awal menekuni dunia tulis menulis. Kadang, semangat menulis menjadi kendor ketika mendengarkan cibiran dan ocehan dari orang lain, Dianggapnya kita tak berbakat, Tidak memiliki talenta dalam dunia tulis menulis. Padahal, setiap orang bisa dan mampu menulis asalkan ada kemauan yang keras untuk menulis. Bakat dan talenta mungkin hanya berpengaruh sekian persen. Tetapi yang menetukan seseorang bisa menjadi penulis ulung atau tidak yaitu ketekunan dan daya juang yang tinggi dalam menghasilkan sebuah karya yang berbobot. Jangan biarkan pikiran-pikiran negatif menyertai kita.
Sehingga menyebabkan kita malas dan menyerah. Padahal, baru saja menulis satu dua paragraf misalnya. Setiap penulis mestinya memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi akan kemampuannya. Kepercayaan cukup tinggi terhadap karya-karya yang dihasilkannya. Ingat, percaya diri bukan berarti jumawa. Itu beda lagi. Jumawa cenderung bersikap meremehkan karya orang lain, dan mengganggap karya kita paling berkualitas. Padahal di atas langit masih ada langit. Maka sebab itu, penulis harus memiliki sifat rendah hati. Menerapkan filosofi padi, semakin berisi semakin merunduk. Jangan tong kosong nyaring bunyinya. Berkomentar ke sana ke mari hanya untuk menunjukkan siapa dirinya. Padahal masih baru belajar nulis.
Sebab itulah, penulis sangat dianjurkan untuk selalu memiliki pikiran terbuka. Menerima beragam kritik dan saran dari pembacanya. Jangan justru menutup diri dan berpandangan negative terhadap respon orang lain, Jika demikian, maka sulit untuk maju dan berkembang. Sebab, sebagian besar penulis hebat di dunia ini pasti pernah menerima masukan kritik, saran, dari orang lain sebelum menghasilkan karya yang berkualitas.
Jadikan saran dan kritikan sebagai bahan untuk evaluasi diri. Selain itu, kunci utama agar tetap istikamah dalam menulis yaitu selalu berpikir apa tujuan utama kita menulis? Kenapa kita menulis? Dengan menemukan tujuan utama kita menulis, insya Allah semangat menulis akan selalu menyala-nyala. Dan terakhir, dalam dunia tulis menulis itu yang paling penting lagi adalah tekun. Tidak mager alias malas untuk memulainya. Jadi jurus jitu dalam menulis yaitu sebenarnya sederhana yaitu 3M, menulis, menulis, dan menulis, Terapkan konsep learning by doing atau belajar dengan melakukan. Tentu sembari memperbaiki dan menigkatkan kualitas tulisan tiap waktunya. Segera ambil pena, dan tulislah apapun yang terlintas dalam pikiran! Jangan tunda lagi, Sebab, esok bisa jadi kita menundanya lagi sampai tidak pernah menuliskan apapun.