JAKARTA- Program Tabungan Perumahan Rakyat alias Tapera telah disahkan undang-undang sejak 2016, tetapi gelombang penoalakan terus berdatangan.
Buruh dan pengusaha kompak menilai program Tapera akan menyusahkan kedua belah pihak. Program Tapera sejatinya merujuk Undang-Undan No.4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Dari sana, terdapat aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2024 yang merevisi PP No. 25/2020, yang menetapkan besaran pungutan Tapera sebesar 3% dari gaji atau upah peserta.
Dari besaran tersebut, pekerja menanggung iuran sebesar 2,5% dan pengusaha 0,5%. Lebih jauh, peserta mandiri berarti menanggung sekaligus 3%.
Sanksi administratif hingga denda itu akan dilaksanakan Badan Pengelola Tapera (BP Tapera). BP Tapera menganggap program ini layak dijalankan, karena akan mengentaskan problem kesenjangan pasokan perumahan dengan permintaan atau backlog. Saat ini, jumlah backlog itu diklaim mencapai 9,95 juta.
Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho menjelaskan iuran Tapera seakan menjadi wadah gotong royong untuk menyediakan perumahan bagi masyarakat yang belum mampu. “Ini konsepsi UU Nomor 4 Tahun 2016,” ungkapnya.
BP Tapera mengakui kemampuan pemerintah menyediakan akses perumahan bagi masyarakat sangat terbatas. Bagi peserta yang telah memiliki rumah, maka dana tersebut bisa dialokasikan lebih dulu untuk subsidi Kredit Perumahan Rakyat (KPR) bagi yang membutuhkan. Iming-iming lainnya, Heru mengilustrasikan dengan berjalannya Tapera, maka bunga KPR yang ditanggung tidak lebih dari 5% per tahun. Semisal, lanjutnya,masyarakat yang mempunyai pendapatan Rp6 juta per bulan, bisa mengambil rumah susun senilai Rp300 juta. Lewat KPR Tapera, maka cicilan per bulan hanya sekitar Rp1,96 juta. Selanjutnya bagi peserta yang tak membutuhkan kredit KPR, bisa mengambil dana selayaknya tabungan dengan imbal hasil sesuai tingkat suku bunga deposito bank pemerintah.
Di sisi lain, pihak pekerja yang diwakili berbagai serikat buruh menilai program Tapera akan menambah beban seiring pendapatan tak seberapa.
Terlebih lagi, sebagaimana disinggung Presiden Paratai Buruh dan KSPI Said Iqbal, dalam program Tapera seakan pemerintah lepas tangan, tidak ikut rembuk menambah pendanaan.
Senada Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban mengatakan sejak dalam bentuk undang-undang, para pekerja ikut menolak keras kebijakan Tapera.
Namun pemerintah bergeming dan jalan terus. Karena itu, Elly mengancam unuk menurunkan massa berdemonstrasi menolak kebijakan Tapera.
Apalagi, katanya, rata-rata kenaikan UMP kini hanya dipatok kisaran 3% setahun. “Apakah pernah dipkirkan pemerintah dampaknya. Mungkin bagi pemerintah sangat sederhana, tapi bagi buruh yang mayoritas bekerja di padat karya ini sangat mengganggu sekali,” ungkapnya. bisn/mb06