
Untuk saat ini, menjelang Oktober 2024 kondisi hukum dan politik saling mendukung bahkan saling bertentangan. Kita tidak boleh tutup mata bahwa hukum tidak butuh politik dan politik tidak butuh hukum, konsekuensi yang timbul adalah semua mata menuju pada pemimpin. Mengacu pada Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 termaktub bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”, artinya kekuasaan itu dimiliki namun ada pembatasan. Sebagai contohnya bagaimana presiden bersikap atas abolisi maka ia memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Tentu saja pembatasan-pembatasan ini untuk menguatkan esensi trias politika yang tidak murni lagi karena perkembangan negara.
Lantas apa yang harus dilakukan ketika munculnya RUU Penyiaran dan RUU Mahkamah Konstitusi muncul? Sesungguhnya ini merupakan bagian dari Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 karena hingga saat ini, pemerintahan Joko Widodo masih sah secara hukum. Tentu saja ini menimbulkan dilema karena mengacu pada sistem bebek lumpuh maka seharusnya tidak boleh terjadi. Tetapi hal yang dianggap sesuai tersebut haruskan menjadi norma yang dibiasakan? Membahas hal ini maka dibutuhkan alasan yang sesuai. Contoh utamanya adanya RUU Penyiaran menunjukkan penyempitan akan kebebasan pers, padahal salah satu alasan mengubah UUD 1945 menjadi UUD NRI Tahun 1945 adalah kebebasan pers.
Membaca RUU Mahkamah Konstitusi juga menunjukkan adanya penguatan akan peran serta kekuasaan eksektufi dan kekuasaan legislatif. Padahal esensi kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yudisial yaitu menegakkan hukum barulah tujuan hukum tercapai. Selain itu, partisipasi masyarakat terkesan tidak terlaksana dengan baik dan itu tidak sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Sistem bebek lumpuh dapat menjadi penyemangat dan melemahkan pimpinan bersikap. Penyemangat yaitu pimpinan bertindak dengan pemikiran bahwa masih ada yang harus dialkukan karena UUD NRI Tahun 1945 mengaturnya. Tentu ada “doktrin” harus memberikan yang terbaik kepada masyarakat sampai jabatan usai. Sikap semangat ini sebaiknya dilandasi oleh pemahaman akan legitimasi kedaulatan dari rakyat. Legitimasi kedaulatan ibarat cairan yang harus dijaga dengan baik agar tidak tumpah dan cara menjaganya pun harus sesuai norma hukum yang ada. Sikap semangat tidak boleh menunjukkan penolakan akan adanya anti kritik sehingga legitimasi kedaulatan itu menjadi senjata makan tuan.
Sementara sikap melemahkan bahwa dalam waktu April hingga Oktober 2024, masyarakat cenderung melihat pada tokoh Prabowo dan Gibran. Ini hampir mirip dengan keberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada Januari 2026. Bagi peminat misteri undang-undang, sangat tidak mungkin undang-undang tidak mempengaruhi dalam hal apapun walaupun berlakunya tahun 2026. Ketokohan Prabowo dan Gibran sebetulnya tidak perlu menjadikan pemerintahan Joko Widodo menjadi khawatir karena setelah pemerintahan usai maka hubungan antara bapak dan anak tidak bisa dielakkan secara kebiasaan. Pelemahan juga menjadi bagian dari wujud kepastian hukum akan pelantikan presiden dan wakil presiden mendatang. Walaupun sistem bebek lumpuh tetapi ia sebetulnya justru memberi porsi besar akan semangat kepemimpinan sebelumnya.
Dalam konsep ini, seharusnya RUU Lembaga Kepresidenan segera diberlakukan. Artinya transisi kekuasaan juga merupakan transisi permasalahan dan kemunculan permasalahan baru. Sebagai contohnya bagaimana presiden bersikap ketika pasangannya mangkat menjelang sebulan pelantikan. Pemahaman akan hukum yang terjadi saat ini dan akan datang adalah penting namun hukum tata negara darurat sangatlah penting. Kita perhatikan ketika terjadi Pasal 8 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 maka Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama melaksanakan tugas kepresidenan.
Berharap sistem bebek lumpuh hanya terjadi karena kesadaran diri sendiri tanpa melepas tanggung jawab. Artinya sistem bebek lumpuh harus menjadi penyemangat dengan tetap membatasi diri sesuai konstitusi. Bagaimanapun juga secara alamiah, manusia cederung ingin tetap menghasilkan yang terbaik.
			
