Jumat, Juli 4, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Hakim Mahkamah Konstitusi di Sandera Independensinya

by Mata Banua
27 Mei 2024
in Opini
0
D:\2024\Mai 2024\28 Mei 2024\8\8\Hendrik Kurniawan.jpg
Hendrik Kurniawan (Peneliti pada Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (PUSKOLEGIS) Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Ampel Surabaya)

 

Mahkamah Konstitusi (MK) setelah melewati turbulensi dan ketidakpercayaan publik akibat putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres dan cawapres, kini kekuasaan kehakiman MK independensinya mengalami guncangan yang sangat dahsyat untuk melemahkan MK, dimana beberapa hakim konstitusi terancam untuk tidak bisa melanjutkan jabatannya sebagai hakim MK. Sebab saat ini telah berlansung pembahasan untuk merevisi Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang keempat kalinya. Dari sekian kali revisi undang-undang MK, yang selalu di sasar oleh lembaga pembuat undang-undang adalah soal periodesasi masa jabatan hakim MK, batas usia minimal hakim MK, proses rekrutment hakim MK dan pengawasan hakim MK.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\4 Juli 2025\8\master opini.jpg

Keserentakan Pemilu dan Restorasi Politik Lokal

3 Juli 2025
D:\2025\Juli 2025\4 Juli 2025\8\foto opini 1.jpg

Rencana strategis Sistem Kapitalisme-Harga Beras Meroket, Stok Melimpah?

3 Juli 2025
Load More

Jika kita telisik lebih dalam proses pembahasan RUU ini bisa dikatakan terburu-buru dan momentumnya kurang tepat sehingga saat ini belum ada urgensinya. RUU yang isinya menyangkut soal masa jabatan dan dibahas ketika transisi atau masa peralihan jabatan Presiden dan DPR itu sangat kurang etis dan bisa merugikan hakim yang bersangkutan. Jangan sampai RUU ini menjadi peninggalan yang buruk bagi Pemerintah dan DPR saat ini. Jika memang ada yang perlu di perbarui untuk menguatkan kelembagaan MK maka seyogyanya dibahas oleh Pemerintah dan DPR periode yang akan datang setelah pelantikan. RUU ini perlu di curigai, sebab RUU ini tidak masuk dalam prolegnas jangka menengah dan prolegnas prioritas.

Kedudukan MK pada dasarnya sejajar dengan Presiden, DPR, dan MA sebagai bentuk check and balances kekuasaan eksekutif dan legislatif. Keberadaan MK yang sejajar dengan lembaga negara lainnya telah dijamin sepenuhnya oleh UUD 1945. Jika salah satu cabang kekuasaan lembaga ada yang merasa superior, merasa berhak mengatur lembaga kekuasaan kehakiman dan bisa mengintervensi salah satu cabang kekuasaan yudukatif maka hal ini sangat inkonstitusional. Maka untuk mewujudkan check and balances tiga cabang kekuasaan lembaga negara tersebut maka setiap lembaga negara hanya boleh mengusulkan 3 hakim MK; Presiden mengusulkan 3 hakim MK, DPR mengusulkan 3 hakim MK dan MA mengusulkan 3 hakim MK. Mengusulkan hakim MK tidak bisa dimaknai sebagai bentuk perwakilan dari masing-masing lembaga yang mengusulkan, sehingga lembaga pengusul tidak bisa sewaktu-waktu untuk merecall hakim MK yang telah di usulkan. Jika terjadi recall oleh lembaga pengusul maka praktek yang demikian tidak dibenarkan oleh negara manapun.

Jika sewaktu-waktu lembaga pengusul hakim MK bisa merecall ini akan mengancam independensi hakim MK yang tidak sejalan dengan tujuan politik lembaga pengusul. Maka seharusnya RUU ini bisa menguatkan kedudukan hakim MK dengan cara ada standarisasi dalam proses perekrut an hakim MK di setiap 3 cabang lembaga kekuasaan. Hingga saat ini masih belum ada standarisasi perekrutan di masing-masing lembaga pengusul, sehingga yang terjadi adalah dalam proses perekrutan berdasarkan kedekatan oleh masing-masing lembaga. Praktik yang terjadi saat ini adalah hakim MK diambilkan dari setiap lembaga yang sedang menjabat di lembaga tersebut, misalnya lembaga DPR yang mengususlkan hakim MK diambilkan dari anggota DPR untuk diajukan sebagai hakim MK begitupun juga dengan Mahkamah Agung dan Pemerintah. Meskipun ada beberapa hakim MK yang diambil melalui rekrutmen terbuka, akan tetapi masih berdasarkan kedekatan politis.

Pasal yang paling kontroversial adalah mengenai periodesasi masa jabatan hakim MK yang 10 tahun dan harus meminta konfirmasi ulang kepada lembaga pengusul setiap 5 tahun apakah bisa dilanjutkan jabatannya atau tidak, kecuali hakim MK yang telah menjabat 10 tahun lebih tidak perlu meminta konfirmasi ulang. Jika harus meminta konfirmasi ulang kepada lembaga pengusul maka hakim MK dalam memutus suatu perkara yang tidak sesuai dengan keinginan lembaga pengusul bisa jadi masa jabatan berikutnya tidak akan diperpanjang. Hal ini lah yang kemudian bisa menyandera independensi kekuasaan hakim MK dalam memutus suatu perkara.

Selain itu dalam proses pembahasan RUU ini dianggap terburu-buru dan dianggap cacat secara prosedural karena dalam pembahasannya tidak dalam masa sidang dan tidak mengundang salah satu fraksi yakni PDIP. Jika secara prosedural dilanggar maka produk ini dinyatakan gagal. Gemuknya partai koalisi di parlemen dan pemerintah itu menyebabkan ketidak stabilan dalam proses lagislasi karena tidak ada kontrol yang baik diluar kekuasaan. Di dalam negara demokrasi tidak boleh salah satu cabang kekuasaan mengintervensi salah satu cabang kekuasaan lainnya. Jika lembaga kekuasaan kehakiman MK terintervensi oleh lembaga politik maka bisa dipastikan tidak lagi bisa dikatakan negara yang demokratis. Sebab keberadaan lembaga peradilan merupakan syarat mutlak berdirinya sebuah negara hukum.

Tujuan merevisi undang-undang sudah seharusnya terfokus kepada penguatan lembaga kehakiman yang benar-benar urgen untuk di revisi. Mengotak-atik masa jabatan periodesasi yang cenderung merugikan dan mengancam keberadaan jabatan hakim MK maka secara praktiknya tidak dibenarkan di dalam konstitusi. Selain itu bisa kita lihat bagaimana lembaga pembentuk undang-undang yang selalu mengubah-ubah batas minimal usia hakim MK yang tidak sama dengan hakim MA, padahal didalam konstitusi mengatur dua lembaga kekuasaan kehakiman tersebut.

Namun batas minimal usia dari kedua lembaga tersebut berbeda. Hakim konstitusi diatur minimal usia 40 tahun dan batas minimal usia hakim agung 45 tahun. Seringnya berubah-ubah batas usia minimal usia hakim MK mengakibatkan ketidakpastian hukum. Meskipun syarat usia ini menjadi bagian open legal policy bagi pembentuk undang-undang. Kedepan kami berharap agar kekuasaan kehakiman bebas dari unsur politik dan terbebas dari bayang-bayang pencopotan maupun pemberhentian secara paksa agar hakim lebih independen dalam memutus suatu perkara agar keadilan mampu ditegakan seadil-adilnya oleh MK dan bisa menjadi penjaga konstitusi dengan baik.

 

Tags: Hendrik KurniawanMahkamah Konstitusi
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA