Sabtu, Agustus 23, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Perbedaan Pandangan Itu Untuk Apa

by Mata Banua
26 Mei 2024
in Opini
0
D:\2024\Mai 2024\27 Mei 2024\8\8\Salman Akif Faylasuf.jpg
Salman Akif Faylasuf (Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.)

Perbedaan pendapat, baik dalam Islam maupun dalam sistem demokrasi, baik pada tingkat konsep maupun aksi, merupakan keniscayaan yang diakui oleh kedua sistem nilai itu. Kesamaan pengakuan inilah yang kemudian oleh banyak orang menyebutnya bahwa, Islam compatible dengan sistem demokrasi. Dalam hal ini, secara normatif, tentu saja melapangkan jalan demokrasi.

Akan tetapi, demokrasi cap apa yang cocok bagi kultur masyarakat Islam di Indonesia adalah soal yang cukup rumit juga. Karena, tidak mungkin kita impor demokrasi yang memiliki warna kultur yang berbeda. Karenanya, Islam dan demokrasi, khususnya bagi penerapannya di Indonesia masih mengalami proses menjadi dan masih mencari bentuknya yang pas.

Artikel Lainnya

Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Kebijakan Pemblokiran Rekening Dormant, Solusi Ambigu Salah Sasaran

21 Agustus 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

PR Kita Setelah Merdeka

21 Agustus 2025
Load More

Perbedaan Pendapat Memang Sebuah Keniscayaan

Dalam Islam sendiri, perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan. Bahkan dalam sebuah hadis, terlepas dalam posisinya yang lemah (dhaif) atau kuat (shahih), dinyatakan sebagai rahmat. Sebuah pengakuan teologis yang melegakan khususnya bagi mereka yang biasa berbeda pendapat.

Pada bagian lain juga menyebutkan bahwa, suatu saat nanti umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh dua (ada yang menyebut tujuh puluh tiga) golongan. Semuanya tergolong sesat, kecuali satu golongan yang selamat. Sekali lagi, lepas dari validitas sebuah hadits, kita masih sering menjumpai para dai dan khatib jumat menyampaikan pesan ini kepada jama’ahnya.

Maka, kebiasaan berbeda pendapat dan atau berpacu untuk merebut satu golongan yang dianggap selamat. Sering kali tidak memedulikan implikasi sosiologis yang terjadi dalam masyarakat akar rumput, untuk tidak menyebut pada stabilitas umat secara keseluruhan.

Refleksi atas Gaya Otoritarianisme Nabi

Kebutuhan dasar umat Islam seperti pendidikan, kesejahteraan yang layak, hak-hak politik dan ekonomi yang setara tidak pernah terwujud. Justru di tengah-tengah kekayaan wacana Islam yang setiap saat dapat diramaikan.

Pengalaman masyarakat Madinah yang sering dinisbahkan sebagai sampel masyarakat demokratis oleh sebagian kalangan. Di mana otoritas Nabi sebagai penerima wahyu menjadi leader, malah dianggap lebih baik justru ketika perbedaan pandangan tidak ada.

Semua persoalan, keduniaan dan keakhiratan, sangat mudah diputus oleh Nabi. Pengalaman masyarakat Madinah juga sekaligus memberikan pelajaran bahwa, otoritas individu yang memiliki kapasitas moral sering kali tidak terlalu memerlukan musyawarah. Dalam pandangan penulis, tidak tepat jika pengalaman masyarakat Madinah diparalelkan dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi yang dikembangkan Barat.

Dalam kepemimpinan Nabi, hampir semua persoalan terpusat kepada otoritas Nabi dengan atau tanpa melalui musyawarah. Sebab Nabi, sebagai wakil Tuhan yang menerima wahyu tidak perlu mendapat konfirmasi dengan yang lainnya. Justru yang menarik adalah gaya otoritarianisme Nabi dapat diterima oleh masyarakatnya.

Di sini kita dapat mengatakan bahwa, tidak setiap model sentralitas kekuasaan mempunyai implikasi buruk. Juga sebaliknya, tidak semua sistem demokrasi yang mensyaratkan atas musyawarah itu baik.

Maka, bagi kita yang hidup tanpa seseorang yang punya otoritas seperti Nabi yang di dalamnya memiliki kompleksitas yang lebih rumit lantas muncul pertanyaan, dengan cara apa kita mengelola masyarakat; memerlukan kapasitas individu seperti Nabi atau justru yang dibutuhkan sistem?

Apakah juga karena selama ini kita gagal mengoleksi pemimpin yang kredibel, lantas kita harus mengatakan good by bagi figur karisma? Syahdan, kini marilah kita lihat bagaimana realitas perbedaan pendapat itu tidak semata-mata atas tafsiran umat Islam terhadap bunyi teks yang memang ditolelir.

Artikulasi dan aktivasi politik dalam Islam terutama Islam Indonesia, tidak berdasarkan secara rigid atas doktrin-doktrin keagamaan semata. Melainkan, ada faktor kontributor eksternal yang dapat mempengaruhi dan mewarnainya. Konkritnya, ada varian sosio-kultur yang melatarbelakangi munculnya Islam politik di Indonesia. Dan problem inilah misalnya yang pernah menjadi objek penelitian Robert Jay dan Clifford Geertz.

Keduanya hampir memiliki tesis yang sama yaitu bahwa, ideologi dan artikulasi politik dalam Islam Indonesia muncul akibat pembelahan komunitas Muslim berdasarkan kulturnya yaitu, masyarakat pesisir di pulau Jawa di bawah kerajaan Demak, dan masyarakat pedalaman Jawa di bawah kerajaan Mataram.

Selain itu, pemaknaan umat Islam terhadap doktrin yang berkaitan dengan aktivitas politikpun sangat beragam. Jadi, secara internalpun sesungguhnya umat Islam telah terbagi-bagi menjadi beberapa mazhab.

Polarisasi sosio-kultur inilah yang penting kita mengetahuinya untuk kemudian menjadi rujukan dalam melihat polarisasi politik yang terjadi. Pembelahan masyarakat Jawa berdasarkan realitas sosio-kultur, terutama pada kawasan Jawa yang menjadikannya sebagai sampel penelitian oleh Robert Jay adalah bagian yang tidak terpisahkan untuk melihat artikulasi Islam politik di Indonesia.

Kajian antropologi dan etnografis seperti yang dilakukan oleh Jay dan Geertz, sungguhpun tidak harus menjawab seluruh problem Islam politik. Kiranya dapat membantu menjelaskan kenapa hingga kini masyarakat Muslim Indonesia, secara politik selalu berada dalam pengelompokan berbasis agama.

Maka, karena agama menjadi faktor inheren dalam pembicaraan politik, menghubungkan keduanya menjadi penting. Terutama bagaimana masyarakat Jawa yang sebelumnya telah memiliki budayanya sendiri (Hindu-Budha) mengadaptasi ajaran Islam sebagai budaya yang datang kemudian.

Cara penerimaan mereka terhadap Islam, karena alasan keragaman kultur, juga menjadi hal penting. Karena, masyarakat Jawa pedalaman dan masyarakat Jawa pesisir adalah dua komunitas yang oleh Jay menyebutnya memiliki potensi untuk melahirkan kelompok Islam santri untuk masyarakat pesisir, dan Islam abangan untuk masyarakat pedalaman.

Bagaimana Cara Merawat Perbedaan yang Menguntungkan?

Secara konsepsional, artikulasi Islam politik memiliki rujukan teks dan sejarah. Dialektika pemahaman dan dinamika empirik perpolitikan Islam Indonesia dengan demikian tidak dapat dipisahkan dari dua hal yaitu;

Pertama, adanya perbedaan pandangan terhadap agama dan politik yang kemudian membawa artikulasinya yang berbeda; dan kedua, adanya persentuhan kalangan Islam dengan lokalitas budaya yang pada gilirannya membawa warna tersendiri.

Dua kenyataan ini tidak mungkin hilang. Jika dalam praktiknya, semua realitas berupa perbedaan cara menafsirkan sumber dan realitas politik tidak membawa kemaslahatan. Hemat penulis, karena misi moral yang menjadi inti dari perjuangan Islam telah lama terabaikan.

Selama ini, kita mengakui atau tidak, perjuangan barisan Islam politik kurang berhasil mentransformasikan etika Islam dalam perilaku politik. Dalam Islam sendiri telah menjadi anggapan sebagai jalan mencapai tujuan, telah lama dianggap sebagai tujuan itu sendiri.

Sama halnya dengan orang beragama, yang menjadikan agama segalanya. Padahal yang menjadi tujuan, adalah Tuhan dengan segala atribut keagungan-Nya. Setelah meraih harus pula menerjemahkan dalam bahasa manusia di tengah-tengah kebutuhan kemanusiaan.

Karenanya, sudah saatnya universalitas moral dalam Islam memasuki ruang politik substantif. Idiom agama jangan lagi menjadi alat untuk menarik simpatik secara simbolik. Politik harus kembali kepada khittahnya, yaitu politik yang menekankan nilai-nilai univeraslitas dan program-program yang inklusif dan praktis yang dapat bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya kelompok.

Politik substantif bisa berarti politik tanpa embel-embel uang (money politics), politik tanpa korupsi, politik anti-korupsi, politik anti-kemiskinan, politik anti-kekerasan, politik anti-kebodohan, dan semacamnya.

Dalam politik substantif, nilai-nilai substantif seperti persamaan, keadilan, kesejahteraan, kebersihan hidup, keamanan, solidaritas sosial, dan semacamnya lebih menekankan sebagai nilai-nilai yang di perjuangkan oleh partai-partai politik. Dengan begitu, persaingan politik menjadi lebih sehat dan berbobot, sebagai bagian dari partisipasi dalam pesta demokrasi dan sekaligus pendidikan politik.

Dengan politik substantif, nilai-nilai dasar agama dan nilai-nilai demokrasi dapat menjadi compatible dan dapat saling memperkuat secara konstruktif. Kalangan Islam politik yang akan berlaga pada pemilu mendatang harus dengan benar menempatkan agama sebagai pengemban bagi berkembangnya politik substantif.

Maka, dengan demikian, figur yang popular atau tidak dan dengan ajektif Islam atau tidak, jika moralitas politikus telah tercerahkan, setidak-tidaknya akan mengawal demokrasi yang khas Indonesia di mana agama menjadi inspirasi moralnya. Wallahu a’lam bisshawaab.

 

Tags: money politicsSalman Akif Faylasuf
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA