
Dosen INISNU Temanggung, Ketua Dewan Pengawas dan PJs Direktur Utama LPPL Temanggung TV 2021-2023
Diakui atau tidak, penyiaran di Indonesia masih terdapat masalah yang harus dituntaskan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID). Jangankan untuk memproduksi siaran bernas, terkadang lembaga penyiaran baik itu publik, swasta, komunitas, dan lembaga penyiaran berlangganan sangat sudah menghidupi lembaganya sendiri. Keresahan ini tentu menjadi problematika hampir lembaga penyiaran di Nusantara.
Globalisasi dan neoliberalisme media massa mendorong lembaga penyiaran berlomba-lomba menjadi “media global” dan memenuhi selera pasar. Padahal, sebagai bangsa yang kaya akan budaya, seharusnya tren penyiaran mempertahankan kecirian lokal yang merujuk pengetahuan lokal (local knowledge), kecerdasan lokal (local genius), dan kearifan lokal (local wisdom) (Spradley, 1979). Hal ini tentu paradoks dengan realitas sosial karena siaran yang global belum tentu menjamin jumlah penonton dan rating lembaga penyiaran baik yang digital maupun analog.
Dari sisi pers, lembaga penyiaran juga mengalami masalah dalam penerapan sembilan ayat jurnalisme yang digaungkan Kovach dan Rosenstiel (2001). Prinsip kebenaran, loyal pada masyarakat, disiplin verifikasi, independensi dari sumber liputan, pengawas independen pada kekuasaan, menjadi forum kritik bagi masyarakat, berjuang untuk hal urgen, komprehensif dan proporsional, dan mendengarkan hati nurani rakyat tampaknya sudah tidak terlalu dikenal dan diterapkan oleh lembaga penyiaran. Jika lembaga penyiaran sebagai bagian dari pers, dan pers sebagai penyangga demokrasi sudah tidak menegakkan Sembilan ayat jurnalisme, tentu hal ini menjadi tanda-tanda kehancuran suatu bangsa.
Pekerjaan Rumah
Selain masalah global tersebut, sebenarnya lembaga penyiaran dan KPI/KPID memiliki pekerjaan rumah yang justru harus dituntaskan. Pertama, masalah kelembagaan yaitu berupa kelengkapan organisasi, perizinan (lembaga penyiaran illegal), gaji dan kesejahteraan karyawan, mutu sumber daya manusia, dan pengelolaan. Kedua, pelanggaran pada lembaga penyiaran. Di Jawa Tengah misalnya, KPID Jawa Tengah pada 2023 melakukan teguran kepada 11 lembaga penyiaran karena melakukan 32 pelanggaran yang didominasi penyiaran iklan sensitif, dan 122 indikasi pelanggaran siaran Pemilu (Kpid.jatengprov.go.id, 2023).
Ketiga, konglomerasi media yang mengindikasikan lembaga penyiaran dimiliki segelintir orang dan mengecilkan ruang dan proses demokratisasi. Keempat, lemahnya kewenangan KPID yang sekadar “menjatuhkan” sanksi administrasi kepada lembaga penyiaran yang melanggar peraturan (FNH, 2016). Kelima, pengawalan Pilkada pada 35 puluhan daerah di tiap provinsi yang akan melaksanakan pemungutan suara pilkada pada 27 November 2024. Keenam, pengawalan penghentian siaran televisi analog atau analog switch off (ASO) sesuai amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ketujuh, pengawalan siaran digital pada media baru dan persiapan RUU Penyiaran.
Sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas pengawasan dan pengaturan penyiaran di tingkat regional, KPID memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan bahwa penyiaran di wilayahnya berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan keberagaman. Oleh karena itu, dibutuhkan visi dan misi yang dibangun oleh KPID menjadi sangat penting sebagai panduan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam mewujudkan siaran yang berbobot isi, berkeadilan konten, dan berkelas jangkauan.
Penyiaran Berkelas
Terwujudnya penyiaran berkelas menjadi cita-cita bersama dengan indikator berbobot isi, berkeadilan konten, dan berjangkauan luas melalui keterlibatan masyarakat bermuatan kearifan lokal sesuai daerahnya masing-masing. Dibutuhkan visi dan misi bernas untuk mewujudkan penyiaran berkas dengan sejumlah formula. Pertama, mengembangkan isi siaran berbobot. Kedua, mengembangan konten berkeadilan. Ketiga, mengembangan jaringan penyiaran berjangkauan luas. Keempat, mengembangan lembaga penyiaran yang bernas, berkualitas, dan berbudaya. Kelima, mendorong keterlibatan pengawasan masyarakat yang aktif dan kritis. Keenam, memperkuat kemitraan lembaga kolaboratif dan partisipatif. Ketujuh, memberdayakan masyarakat dalam penggunaan media. Kedelapan, menegakkan etika dan kode etik penyiaran. Kesembilan, mempromosikan kebudayaan dan kearifan lokal.
Penyiaran berkelas bukanlah sekadar tentang menghibur, tetapi juga memberikan nilai tambah kepada pemirsa. Di tengah arus informasi yang begitu deras, penyiaran berkelas menjadi penting untuk mengangkat standar kualitas konten yang disajikan kepada masyarakat. Penyiaran berkelas tidak hanya berkutat pada aspek teknis produksi, tetapi lebih kepada substansi dan dampak yang dihasilkan. Sebuah program yang berkelas harus mampu memberikan edukasi, menginspirasi, dan mengangkat nilai-nilai positif bagi pemirsa. Hal ini memerlukan pemikiran mendalam dalam merancang konten, pemilihan narasumber yang berkualitas, serta pengemasan yang menarik.
Integritas dan kredibilitas merupakan fondasi utama dalam penyiaran berkelas. Media harus tetap independen dan tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu. Memastikan kebenaran informasi serta menghindari sensationalisme dan propaganda adalah langkah krusial dalam menjaga integritas media. Mewujudkan penyiaran berkelas juga memerlukan inovasi dalam presentasi konten. Dengan perkembangan teknologi, media harus mampu memanfaatkan berbagai platform dan format agar pesan yang disampaikan dapat tersampaikan dengan lebih efektif. Penggunaan teknologi virtual dan augmented reality, serta pengalaman interaktif lainnya, dapat meningkatkan daya tarik konten dan memperkaya pengalaman pemirsa.
Penyiaran berkelas bukanlah monolog, tetapi dialog antara media dan masyarakat. Melibatkan pemirsa dalam proses penyiaran, baik melalui diskusi, polling, atau melalui media sosial, dapat meningkatkan interaksi dan memperkuat hubungan antara media dan pemirsa. Dengan demikian, media dapat lebih responsif terhadap kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Dalam konteks ini, setiap negara, daerah, dan budaya memiliki kekayaan serta keunikan tersendiri. Penyiaran berkelas harus mampu menghargai dan mengedepankan kearifan lokal serta keanekaragaman budaya dalam kontennya. Ini tidak hanya meningkatkan representasi yang adil, tetapi juga memperkaya perspektif yang disajikan kepada pemirsa yang bisa dikawal dan diwujudkan oleh KPI dan KPID di wilayah Indonesia.
Mewujudkan penyiaran berkelas memerlukan komitmen untuk menjaga integritas, meningkatkan kualitas konten, dan melibatkan masyarakat secara aktif. Hanya dengan pendekatan holistik dan kolaboratif, penyiaran dapat menjadi sarana yang membangun, mendidik, dan menginspirasi masyarakat menuju arah yang lebih baik. Jika tidak sekarang, lalu kapan lagi?