Oleh: Robbi Herfandi (Mahasiswa Hubungan Internasional)
Indonesia menganut paham demokrasi, kata demokrasi membekas dari segi Bahasa Yunani yaitu Demos adalah Rakyat sedangkan Kratos adalah Kekuasaan, maka dapat disimpulkan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat.
Ide-Ide demokrasi mulai dinyalakan dan menginspirasi rakyat perancis oleh para pemikir ulung berasal dari Inggris, Prancis dan Swedia yang telah menyebarkan paham demokrasi pada abad 17-18 yakni Jhon Locke, Montesquieu, Voltaire, dan Rousseau. Sehingga pengaruh dialektika intelektual dari pemikir di atas terciptanya Revolusi Prancis yang berlandaskan “Liberte, Egalite dan Fraternite” sebagai bentuk perlawanan dari pemusatan kekuasaan dan haus kekuasaan yang kita kenal dengan pemimpin otoritarianisme dan feodalisme sebagaimana Voltaire menentang akan hal itu dan menginspirasi.
Gagasan yang mereka bawa seperti montesquieu perihal Trias Politica, pembagian kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif, tujuan dasar dari kekuasaan dibagi itu adalah untuk melakukan Check and Balance agar penumpukan kekuasaan tidak berada pada satu individu, namun apakah Trias Politica secara praktik sudah berdasarkan daulat rakyat?
Jika kita melihat secara historis sistem demokrasi sangat lah relevan dengan Indonesia, karena demokrasi tidaklah terlepas dari Hak Asasi Manusia dimana John locke berpandangan dimana rakyat memberikan otoritas kepada pemerintah untuk melindungi HAM mereka, dimana negara ini juga notabene nya adalah terjajah, hadir nya demokrasi sebagai Antitesa dari imperialisme, kolonialisme, dimana Negara Bangsa bebas untuk menentukan nasibnya sendiri, tanpa intervensi dari pihak siapapun, pun rakyat yang berada di dalam nya memiliki daulat atas dirinya sendiri dalam menentukan arah negara bangsa Indonesia ini kedepan “Otonom tapi tidak Otokratik”
Menentukan arah negara hal itu tidak terlepas dari kesepakatan yang berasal dalam diri setiap individu untuk kepentingan bersama seperti gagasan Rousseau (1712-1778) dengan kontrak sosial dalam bukunya “Du Contract Social” menguraikan bahwa, dengan kata yang singkat penulis ukirkan “Kesepakatan-kesepakatan individu untuk kepentingan bersama.”
Indonesia dalam lingkaran Aristokrasi!?
filsuf Yunani Aristoteles (384–322 SM ), aristokrasi berarti kekuasaan segelintir orang yang lebih unggul secara moral dan intelektual yang mengatur demi kepentingan semua orang, maka dapat dipahami, ada hak istimewa yang melekat dan didapat ketika memiliki status sosial sebagaimana Aristoteles mendefinisikan.
Jika melihat demokrasi Indonesia pada akhir-akhir ini sudah mulai hambar dan kabur, meskipun tidak ada pemusatan kekuasaan seperti tujuan Trias Politica pada salah satu individu, kini persoalan berubah menjadi pemusatan individu ke pemusatan kelompok.
“Kesepakatan-kesepakatan individu untuk kepentingan bersama” kini sudah mulai bertukar paradigma “Menjadi Kesepakatan-kesepakatan kelompok kelas atas untuk kepentingan kelompok kelas atas saja” Sehingga kata demokrasi menjadi omong kosong ketika diucapkan, karena di dalam praktiknya, rakyat tidak berkuasa, Hanya sekelompok kelas atas yang tetap menjadi kuasa pun demikian demokrasi kita sudah berada pada pemusatan kepada keluarga. Esensi demokrasi dengan kalimat dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat kini sudah tidak layak lagi dipakai, meskipun demokrasi secara definisi nya itu tidak akan pernah lekang oleh panas terik yang membakar tubuh, namun secara praktik memudar diakibatkan penyalahgunaan demokrasi itu sendiri oleh pihak penguasa.
Demokrasi di Indonesia lebih tepat disebut dengan “Aristokrasi Pilihan” seperti yang dikatakan Rousseau di dalam buku human kind (hal 240). Karena dalam praktik nya daulat rakyat tidak diberi, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara. Republik Indonesia Tahun 1945 hanya sebatas tulisan yang akan memudar diterpa oleh waktu dan kekuasaan individualistik, secara prosedural mungkin hanya sebatas kata prosedural, dan ketika berbicara ke tingkat esensial belum bisa mencapai ketitik level dari demokrasi itu sendiri, karena rakyat hanya diperkenankan memutuskan siapa yang berkuasa, secara tidak langsung pola ini juga dirancang untuk mengenyampingkan masyarakat kelas bawah/masyarakat biasa.
Walaupun masyarakat biasa bisa mencalonkan diri nya sebagai representasi maju untuk pemilihan eksekutif dan legislatif, sukar memenangkan kontestasi tanpa akses ke jejaring donor dan pelobi Aristokratik. Tak heran “Demokrasi” di Indonesia memiliki kecenderungan dinasti, coba kita pikirkan maju nya anak kesayangan presiden menjadi wakil presiden, bahkan keluarga kepala daerah juga melakukan pola yang sama di Indonesia. Berdasarkan data dari KPU RI Jumlah Caleg muda rentang usia (21-40 tahun) 3,202 orang yang lolos ke Parlemen sebanyak 87 orang, namun, dinasti politik masih mendominasi, Menurut Riset Centre For Strategic and International Studies (CSIS) di tahun 2024, sebanyak 37 orang tidak terafiliasi dinasti politik dan 50 orang terafiliasi dinasti politik dan melihat banyak pengusaha yang menjadi caleg menandakan kelas bawah juga termarjinalkan karena modal amat besar, Merusak tidak? Keterwakilan tidak? Kesenjangan tidak? Korupsi demokrasi tidak? Terjadi polarisasi tidak? Dinasti tidak? Seakan-akan golongan dan keluarga merekalah yang tercerdas sejagat Indonesia dan seakan-akan demokrasi hanya milik “Kami” padahal demokrasi harus ditafsirkan dengan kata “Kita” seperti karya Hatta.
Demokrasi di era modern yang merusak ini semakin kita tahu, maka semakin kita sadar bahwa masyarakat bawah dikesampingkan dengan penuh kesenangan, namun masyarakat belum banyak pengetahuan dalam urusan demokrasi, elite-elite sering dianggap berpengaruh punya banyak uang adalah benar, Sehingga para penguasa ini diafirmasi doktrin nya oleh masyarakat yang dirugikan, karena ketidakmampuan dari segi kecerdasan dan ekonomi untuk memahami apa itu demokrasi, Pengamat Politik Fisip Unair Surabaya, Drs. Priyatmoko,MA mengatakan, “Demokrasi merupakan eksperimen sistem. Untuk melakukan eksperimen, diperlukan tingkat kecerdasan dan tingkat kesejahteraan minimum”
Ketika kekuasaan sudah memakai bius dan memakan obat-obatan agar supaya menghentikan kepekaan terhadap masyarakat, maka disitulah letak keterhubungan manusia sesama manusia tidak ada lagi rasa, Ibarat seorang anak kecil mempunyai kue, ketika orang tua mengajarkan sosialistik tentu pembagian kue terdistribusi dengan baik dan berkeadilan sesuai kebutuhan,namun ketika anak diajarkan paham kapitalistik yang hadir ke permukaan adalah individualistik terus disuguhkan, lebih sialnya lagi ada kelompok dan keluarga tidak merasa malu dengan praktik demokrasi nya bertentangan dengan penafsiran demokrasi nan hakiki itu sendiri, para sosiopatologis lah yang hebat dalam permainan itu, sosiopatologis atau penyakit sosial adalah semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin kebaikan, dan hukum formal (Kartono, 2011:1) karena setiap tanggung jawab akan dipertanggung jawabkan.
Acap Kali kita selalu berharap penuh akan ada suatu masa hadirnya pemimpin tercerahkan yang mampu mengobati penyakit demokrasi yang telah lama tidak diobati, berharap ada dosis bagus perlahan-lahan menyembuhkan, pemimpin tercerahkan dapat dimaknai pemimpin yang mampu memberikan keadilan bagi semua. Pemimpin tercerahkan itu tidak datang dari kota atau orang-orang yang memiliki status sosial atas, melainkan pemimpin tercerahkan itu bisa hadir dari manapun baik itu dari desa, bahkan pemimpin yang hadir dari golongan rendahan sekalipun.
Rusak nya demokrasi karena kekuasaan itu sendiri, namun yang paling membanggakan menurut penulis masih ada pemikir-pemikir dengan idealisme yang kuat untuk memberikan pemahaman demokrasi, dan bagaimana strategi menjinakkan kekuasaan seperti sejarah dulu nya dengan ide dan gagasan pencerahan, revolusi, reformasi 1998 yang menginspirasi, meskipun ide-ide dari orang-orang sosialisme yang terus membaca dunia dengan keadilan terus dipatahkan di hadapan para Hukum Besi Oligarki (Iron Law of Oligarchy), dan kelompok “Aristokrasi Pilihan” namun, perjuangan aktivis hari ini tidak lekang oleh waktu, masih ada letupan-letupan api yang terus hadir, karena api baru bisa disebut api, ketika api itu terus menyala, namun pertanyaan adalah apakah sejarah heroik itu terulang kembali?
Namun penulis mengajak kepada semua penguasa dan wakil rakyat yang ingin merubah bangsa ini, maka lakukanlah kompetisi itu dengan demokrasi yang berlandaskan nilai demokrasi itu sendiri.