JAKARTA – Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengungkapkan sederet dampak negatif terkait keputusan pemerintah untuk menghapus kelas 1,2, dan 3 di BPJS Kesehatan dengan skema Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Namun hal ini berpotensi meningkatkan jumlah kepesertaan BPJS Kesehatan yang menunggak akibat penyesuaian iuran. “Untuk (iuran) peserta kelas 3 yang naik akan berpotensi meningkatkan peserta yang menunggak,” ujar Timboel di Jakarta.
Kemudian, penerapan skema penghapusan kelas juga akan menurunkan penerimaan BPJS Kesehatan. Menyusul, turunnya nilai iuran peserta kelas 1 dan 2 akibat penyesuaian tarif. “Iuran peserta mandiri akan menjadi satu (single tarif) karena satu ruang perawatan, sehingga iuran klas 1 dan 2 akan turun, sementara kelas 3 akan naik,” ungkapnya.
Selanjutnya, penghapusan kelas BPJS Kesehatan juga dinilai akan merugikan pengusaha rumah sakit swasta. Mengingat, adanya kegiatan renovasi ruang perawatan sesuai aturan Kelas Rawat Inap Standar. “Kalau RS pemerintah tinggal nunggu alokasi APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah),” ucapnya.
Oleh karena itu, Timboel meminta pemerintah untuk meninjau ulang penghapusan kelas BPJS Kesehatan. Dia menilai, upaya peningkatan mutu standar pelayanan melalui Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) justru akan menimbulkan banyak kerugian.
“Seharusnya pemerintah mengkaji ulang KRIS dgn melakukan standarisasi ruang perawatan klas 1, 2, dan 3, bukan membuat KRIS dengan satu ruang perawatan,” tegasnya.
Sebelumnya, Pemerintah resmi menghapus kelas 1,2 dan 3 di BPJS Kesehatan. Sebagai gantinya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan yang di dalamnya mengatur peningkatan mutu standar pelayanan melalui Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Mengutip dokumen salinan yang terbit melalui Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kementerian Sekretariat Negara (JDIH Setneg), diatur tentang standar kelas ruang rawat inap yang mencakup 12 kriteria.
Selain itu, penyedia fasilitas layanan juga perlu membagi ruang rawat berdasarkan jenis kelamin pasien, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi.
Perpres yang diteken Presiden Jokowi pada 8 Mei 2024 itu juga mengatur hak peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk meningkatkan perawatan yang lebih tinggi, termasuk rawat jalan eksekutif.
Terpisah, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mewanti-wanti Pemerintah untuk mengkaji secara matang penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) agar tidak menyebabkan kerugian pada peserta program JKN dan layanan kesehatan.
Menurutnya, jika KRIS diberlakukan maka dapat berpotensi merugikan peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sebab, peserta kelas tiga akan mengalami kenaikan iuran, sementara peserta kelas satu akan mengalami penurunan kelas menjadi kelas standar, yakni kelas dua. lp6/mb06