Oleh: Nor’alimah, S.Pd (Pendidik)
Publik kembali tercengang dengan oleh perilaku saat ini, berita anak-anak menjadi perilaku kriminal bukan lagi menjadi hal asing. Seperti beberapa waktu lalu dikabarkan bocah laki – laki berinisial MA (6 tahun) asal Sukabumi menjadi korban pembunuhan, tidak hanya dibunuh anak yang baru mau duduk disekolah dasar ini juga menjadi korban kekerasan seksual sodomi. (Sukabumiku.id, 2/05/2024)
Dalam pengungkapan itu, terbukti pelajar berusia 14 tahun yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), menjadi pelaku utama pembunuhan dan sodomi terhadap korban. Polisi pun kini menetapkan pelaku sebagai tersangka dan bersatus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).
Kasus lain terjadi pihak kepolisian menemukan fakta baru dalam persidangan dua tersangka atas kematian Airul Harahap (13), santri Pondok Pesantren Raudhatul Mujawwidin, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jambi Kombes Pol Andri Ananta Yudhistira mengatakan, saat ini penyidik Polres Tebo sedang melakukan pemeriksaan terhadap tiga orang anak yang berhadapan dengan hukum, akan segera meningkatkan statusnya dari saksi menjadi tersangka. (AntaraLampung, 24 Maret 2024)
Polda Jambi mengungkap motif penganiayaan yang diduga dilakukan dua pelaku terhadap AH (13) santri dari salah satu ponpes di Kabupaten Tebo, karena pelaku tidak terima korban menagih utang senilai Rp10 ribu. Dua kasus ini hanyalah sebagian kecil dari ribuan kasus yang terjadi.
Kasus anak yang berkonflik dengan hukum, menurut data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020 hingga 2023. Per 26 Agustus 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Sebanyak 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan, sementara 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana. (Kompas.id, 29/08/2023)
Apabila dibandingkan dengan data tiga tahun yang lalu, jumlah anak yang terjerat hukum belum pernah menembus angka 2.000. Menilik keadaan pada 2020 dan 2021, angka anak tersandung kasus hukum 1.700-an orang. Kemudian meningkat di tahun berikutnya menjadi 1800-an anak. Tren yang cenderung meningkat menjadi alarm bahwa anak-anak Indonesia sedang tidak baik-baik saja dan cenderung menuju pada kondisi yang problematis.
Maraknya kriminalitas oleh anak-anak merupakan gambaran buruknya output pendidikan dalam sistem kapitalisme. Sistem yang hanya berorientasi pada nilai-nilai materi . Peran orang tua hanya sebagai pihak pemberi materi, sehingga merasa cukup dengan peran tersebut. Ketika anak-anak sudah diberi pakaian, mainan, disekolahkan di tempat favorite dan sebagainya. Terlebih lagi tekanan ekonomi telah membuat ayah dan ibu sibuk bekerja. Akhirnya anak-anak tidak mendapatkan pendidikan yang benar di dalam rumah
Sementara di sekolah diarahkan oleh kurikulum dalam sistem Pendidikan yang berorientasi nilai materi dan minim nilai agama. Anak-anak terus diarahkan mengejar prestasi, tanpa ada bimbingan akhlak dan ketaatan.
Sistem sanksi yang ada hari ini tidak membuat pelaku kejahatan jera. Jika pelakunya anak-anak (usia kurang dari 18 tahun) mereka diadili dengan peradilan anak, yang juga tidak membuat anak jera. Akibatnya anak-anak pelaku kejahatan semakin marak.
Sangat berbeda dengan sistem Islam tatkala menjaga generasi dari kehancuran dan kerusakan. Melalui mekanisme yang konkrit untuk mencetak generasi yang berkualitas, baik dari segi keimanan, moral, akhlak, dan pengembangan potensi diri.
Islam memiliki sistem pendidikan yang mampu dan terbukti menghasilkan generasi berkepribadian Islam bukan kriminal. Keberhasilan ini tidak lepas dari asas pendidikan yang berbasis akidah islam. Dengan Aqidah Islam ini akan menghasilkan peserta didik berkepribadian Islam yakni memiliki pola pikir dan pola sikap Islam. Kepribadian Islam ini akan mendorong seseorang untuk senantiasa dalam ketataatan dan menjauhi kemaksiatan secara sadar. Kondisi semacam ini akan mampu mencegah perilaku keji.
Islam juga memberi perhatian kepada keluarga, Islam memandang keluarga sebagai pondasi awal sebuah peradaban. Karena kualitas generasi pertama kali ditentukam oleh keluarga. Islam menjadika ibu adalah sekolah pertama dan pendidik pertama bagi anaknya. Pendidikan yang berlandaskan syariat Islam akan membentuk anak-anak yang shalih shalihah.
Sedangkan ayah berperan sebagai pemimpin keluarga, juga berperan mendidik keluarga. Adanya sinergitas peran ayah dan ibu dalam keluarga, akan memberikan dampak yang sangat besar bagi pendidikan anak-anak.
Keamanan anak juga terjamin, karen islam memiliki sistem sanksi (uqubat) yang tegas. Pelaku kejahatan diberi sanksi selama mereka sudah baligh dan dia melakukan secara sadar. Islam tidak mengenal pembatasa usia berdasarkan umur seperti usia di bawah 18 tahun dikategorikan anak-anak, usia di atas 18 tahun diketegorikan dewasa.
Islam hanya mengenal pembatasan usia berdasarkan baligh atau tidaknya. Selama anak-anak belum baligh maka mereka dihukumi anak-anak. Sedangkan jika anak-anak sudah baligh maka dia dihukumi mukallaf. Karena itu sekalipun usia mereka masih 14 tahun, ketika mereka sudah baligh maka uqubat Islam berlaku bagi mereka.
Penganiayan berujung pembunuhan dalam sistem Islam akan mendapan sanksi qishos, pelaku sodomi mendapatkan had liwath, yakni dijatuhkan dari tebing atau tempat tinggi di daerah tersebut. Sistem sanksi Islam akan meimbulkan efek zawajir (sebagai pencegah) dan efek jawabir (sebagai penebus dosa pelaku).
Penerapan sanksi uqubat akan menumpas bersih pelaku kejahatan termasuk pelaku sodomi. Alhasil pelaku sodomi tidak akan melahirkan pelaku baru. Hanya saja konsep-konsep ini akan terwujud jika keluarga, masyarakat dan negara menerapkan system islam secara kaffah dalam kehidupan dalam naungan negara Islam. Wallahu a’lam