Sabtu, Agustus 2, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Vivat Academia, Vivant Professores

by Mata Banua
13 Mei 2024
in Opini
0
D:\2024\Mai 2024\14 Mei 2024\8\8\Najamuddin Khairur Rijal.jpg
Najamuddin Khairur Rijal (Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang)

 

Beberapa waktu lalu, menjelang hari pemungutan suara pada Pemilu 14 Februari 2024, sivitas akademika sejumlah kampus negeri maupun swasta di tanah air bersuara terkait kondisi demokrasi terkini. Mereka, terutama elemen guru besar, menyampaikan pernyataan sikap, manifesto, maklumat, petisi, atau istilah lain sejenisnya sebagai bentuk kritik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Artikel Lainnya

D:\2025\Agustus 2025\1 Agustus 2025\8\8\Kwik Kian Gie.jpg

Kwik Kian Gie, Sang Nasionalis dan Penjaga Nalar Ekonomi Bangsa

31 Juli 2025
D:\2025\Agustus 2025\1 Agustus 2025\8\8\foto opini 1.jpg

PPATK Blokir Rekening Dormant: Langkah Berani Tumbangkan Judol

31 Juli 2025
Load More

Melalui sikap politiknya, Jokowi dipandang telah membawa demokrasi Indonesia ke arah kemunduran, membajak demokrasi untuk kepentingan politik pribadi dan kelompok. Jokowi dinilai telah meninggalkan legasi buruk bagi masa depan demokrasi di penguhujung pemerintahannya. Suara kekecewaan elemen kampus itu bahkan meluas di berbagai daerah dan melibatkan puluhan perguruan tinggi. Sekalipun begitu, pemerintah menanggapi dengan santai dan normatif. Menunjukkan sikap seolah tidak ambil pusing dengan suara kritis kampus yang menggaungkan seruan moral untuk menyelamatkan demokrasi.

Di sisi lain, muncul narasi tandingan di mana para pimpinan sejumlah kampus diminta oleh aparat kepolisian membuat video testimoni apresiasi kinerja Jokowi. Alasannya saat itu sebagai upaya mendinginkan suasana (cooling down system) menjelang pemilu. Namun demikian, kritik sosial yang disuarakan sejumlah kampus tidaklah reda dan tidak mungkin dapat dibungkam.

Kritik sosial yang diutarakan puluhan kampus tersebut sejatinya adalah bagian dari tanggung jawab institusi perguruan tinggi sebagai salah satu bentuk kontribusi nyata pengabdian pada masyarakat. Inilah kebangkitan intelektual kampus sebagai “kawah candradimuka”, di tengah gemuruh dinamika politik yang berkembang liar.

Suara kritis dari kampus ini seolah adalah manifestasi dari spirit Vivat Academia, Vivant Professores. Dalam bahasa Inggris berarti, long life academia, long life professor, atau dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai Hiduplah kampusku, Hiduplah para profesor (dosen)!

Vivat Academia, Vivant Professores merupakan lirik dari lagu mahasiswa yang sangat terkenal di kalangan perguruan tinggi, terutama di Eropa, berjudul “Gaudeamus Igitur”. Lagu ini berasal dari kata-kata Latin yang berarti “Mari kita bersukacita”. Lagu ini disebut berasal dari sebuah syair Latin yang lebih panjang yang disebut “De Brevitate Vitae” (Tentang Singkatnya Kehidupan), yang ditulis oleh penulis anonim pada abad ke-13 atau 14 masehi. Meskipun asal-usulnya tidak diketahui secara pasti, lagu ini telah menjadi simbol semangat dan gelora perjuangan dalam dunia akademik.

Jika mencermati syairnya, lagu ini berisi semangat dan kebanggaan belajar dan bersahabat dalam lingkungan akademis, sekaligus gelora perjuangan untuk hidup bermanfaat dan bermartabat. Di sinilah kampus dan para dosennya hadir tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi sejatinya juga menjadi penjaga moral, penyelamat etika, dan penegak kebenaran. Kampus adalah garda terdepan dalam mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi, bahkan ketika pemerintah berusaha untuk membungkam kritik.

Maka gerakan yang dilakukan sejumlah kampus atau sebut saja gerakan Vivat Academia, Vivant Professores perlu dimaknai sebagai ekspresi dari keberanian intelektual dalam menjaga moral dan etika kebangsaan serta keteguhan menghadapi tekanan politik yang berusaha meredam kemerdekaan berpikir. Para profesor (guru besar) dan juga dosen pada umumnya yang berani menantang otoritas negara merupakan pilar utama dalam menjaga agar kekuasaan tidak disalahgunakan semena-mena dan demokrasi tetap berjalan pada koridor jalur yang benar.

Gerakan Vivat Academia, Vivant Professores kiranya bukanlah sekadar slogan kosong, tetapi sebuah panggilan untuk menyatukan suara-suara intelektual yang peduli terhadap masa depan demokrasi Indonesia yang telah dibangun pasca Reformasi 1998, lebih 25 tahun lalu. Karena itu, kita semua memiliki tanggung jawab untuk mendukung para akademisi dalam perjuangan mereka untuk menyelamatkan demokrasi. Demokrasi tidaklah akan pernah mati selama masih ada suara-suara kritis dari kampus, yang berani menentang kesewenang-wenangan penguasa.

Seperti bait terakhir dari lagu Gaudeamus Igitur, “Pereat tristitia, Pereant osores, Pereat diabolus, Quivis Antiburschius, Atque irrisores.” Dalam bahasa Indonesia terjemahannya, “Enyahlah kesedihan, Enyahlah kebencian, Enyahlah kejahatan, Dan siapa pun yang anti mahasiswa (kampus), Juga mereka yang mencemooh kami.”

 

 

Tags: Najamuddin Khairur RijalVivant ProfessoresVivat et respublica! (hiduplah negaraku!). Vivat Academia
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA