
Beberapa waktu lalu, menjelang hari pemungutan suara pada Pemilu 14 Februari 2024, sivitas akademika sejumlah kampus negeri maupun swasta di tanah air bersuara terkait kondisi demokrasi terkini. Mereka, terutama elemen guru besar, menyampaikan pernyataan sikap, manifesto, maklumat, petisi, atau istilah lain sejenisnya sebagai bentuk kritik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Melalui sikap politiknya, Jokowi dipandang telah membawa demokrasi Indonesia ke arah kemunduran, membajak demokrasi untuk kepentingan politik pribadi dan kelompok. Jokowi dinilai telah meninggalkan legasi buruk bagi masa depan demokrasi di penguhujung pemerintahannya. Suara kekecewaan elemen kampus itu bahkan meluas di berbagai daerah dan melibatkan puluhan perguruan tinggi. Sekalipun begitu, pemerintah menanggapi dengan santai dan normatif. Menunjukkan sikap seolah tidak ambil pusing dengan suara kritis kampus yang menggaungkan seruan moral untuk menyelamatkan demokrasi.
Di sisi lain, muncul narasi tandingan di mana para pimpinan sejumlah kampus diminta oleh aparat kepolisian membuat video testimoni apresiasi kinerja Jokowi. Alasannya saat itu sebagai upaya mendinginkan suasana (cooling down system) menjelang pemilu. Namun demikian, kritik sosial yang disuarakan sejumlah kampus tidaklah reda dan tidak mungkin dapat dibungkam.
Kritik sosial yang diutarakan puluhan kampus tersebut sejatinya adalah bagian dari tanggung jawab institusi perguruan tinggi sebagai salah satu bentuk kontribusi nyata pengabdian pada masyarakat. Inilah kebangkitan intelektual kampus sebagai “kawah candradimuka”, di tengah gemuruh dinamika politik yang berkembang liar.
Suara kritis dari kampus ini seolah adalah manifestasi dari spirit Vivat Academia, Vivant Professores. Dalam bahasa Inggris berarti, long life academia, long life professor, atau dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai Hiduplah kampusku, Hiduplah para profesor (dosen)!
Vivat Academia, Vivant Professores merupakan lirik dari lagu mahasiswa yang sangat terkenal di kalangan perguruan tinggi, terutama di Eropa, berjudul “Gaudeamus Igitur”. Lagu ini berasal dari kata-kata Latin yang berarti “Mari kita bersukacita”. Lagu ini disebut berasal dari sebuah syair Latin yang lebih panjang yang disebut “De Brevitate Vitae” (Tentang Singkatnya Kehidupan), yang ditulis oleh penulis anonim pada abad ke-13 atau 14 masehi. Meskipun asal-usulnya tidak diketahui secara pasti, lagu ini telah menjadi simbol semangat dan gelora perjuangan dalam dunia akademik.
Jika mencermati syairnya, lagu ini berisi semangat dan kebanggaan belajar dan bersahabat dalam lingkungan akademis, sekaligus gelora perjuangan untuk hidup bermanfaat dan bermartabat. Di sinilah kampus dan para dosennya hadir tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi sejatinya juga menjadi penjaga moral, penyelamat etika, dan penegak kebenaran. Kampus adalah garda terdepan dalam mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi, bahkan ketika pemerintah berusaha untuk membungkam kritik.
Maka gerakan yang dilakukan sejumlah kampus atau sebut saja gerakan Vivat Academia, Vivant Professores perlu dimaknai sebagai ekspresi dari keberanian intelektual dalam menjaga moral dan etika kebangsaan serta keteguhan menghadapi tekanan politik yang berusaha meredam kemerdekaan berpikir. Para profesor (guru besar) dan juga dosen pada umumnya yang berani menantang otoritas negara merupakan pilar utama dalam menjaga agar kekuasaan tidak disalahgunakan semena-mena dan demokrasi tetap berjalan pada koridor jalur yang benar.
Gerakan Vivat Academia, Vivant Professores kiranya bukanlah sekadar slogan kosong, tetapi sebuah panggilan untuk menyatukan suara-suara intelektual yang peduli terhadap masa depan demokrasi Indonesia yang telah dibangun pasca Reformasi 1998, lebih 25 tahun lalu. Karena itu, kita semua memiliki tanggung jawab untuk mendukung para akademisi dalam perjuangan mereka untuk menyelamatkan demokrasi. Demokrasi tidaklah akan pernah mati selama masih ada suara-suara kritis dari kampus, yang berani menentang kesewenang-wenangan penguasa.
Seperti bait terakhir dari lagu Gaudeamus Igitur, “Pereat tristitia, Pereant osores, Pereat diabolus, Quivis Antiburschius, Atque irrisores.” Dalam bahasa Indonesia terjemahannya, “Enyahlah kesedihan, Enyahlah kebencian, Enyahlah kejahatan, Dan siapa pun yang anti mahasiswa (kampus), Juga mereka yang mencemooh kami.”