Oleh : Moh. Khoirul Umam ( Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya)
“Madura selangkah lebih maju” Sebuah metafora yang menggambarkan fenomena jualan ala orang Madura di kota-kota di Indonesia. Di depan toko emas, orang Madura menjual dan membeli emas, di depan pom bensin, orang Madura berjualan bensin eceran. Sementara di depan toko ritel raksasa seperti Indomaret dan Alfamart, orang Madura membuka warung ritel.
Pernyataan tersebut terdengar seperti lelucon, walaupun sebenarnya fakta. Orang Madura sudah masyhur dikenal gigih dalam urusan berjualan. Bahkan kegemaran orang Madura dalam berniaga ini semakin populer setelah ragam media memperbincangkan ritel Madura yang buka 24 jam. Di hampir banyak kota di Indonesia dapat dijumpai bisnis ritel tersebut.Bahkan di kota-kota besar seperti Jakarta, Tangerang, Surabaya, Yogyakarta dan Bali Warung ritel Madura berkembang pesat sampai jarak antara satu warung dan yang lain bak kendaraan macet di jalan raya. Saking banyaknya!
Kemunculan fenomena ini menjadi angin segar bagi hidupnya usaha ritel kecil di tanah air dan pertumbuhan ekonomi di kalangan masyarakat menengah bawah, terutama, setelah toko ritel kecil hampir sekarat dilibas habis oleh dominasi bisnis ritel modern seperti minimarket dan supermarket dalam beberapa dekade terakhir. Melalui toko ritel Madura usaha kecil menengah kini kembali bangkit. Mata rantai distribusi barang di tangan ritel kecil semakin cepat ke konsumen, dan masyarakat kota semakin termanjakan karena semakin mudah dan praktis mendapatkan ragam kebutuhan.
Selain itu, bisnis dagangan ecer yang semula tidak dilihat sebagai komoditas usaha yang menjanjikan kini di tangan orang Madura menjadi salah satu komoditas usaha kecil menengah yang dapat mengurangi angka rumah tangga pengangguran dan membuka lapangan kerja baru bagi warga Madura. Terbukti, perantau Madura yang awalnya bekerja di sektor jasa seperti sopir angkot, juru parkir, ojek terminal, pangkas rabut, dan tukang rongsokan keliling, kini, secara lambat laun mulai beralih profesi setelah adanya peluang usaha ritel yang jauh lebih menjanjikan. Satu persatu ritel Madura tumbuh di kota-kota dan memicu eksodus warga Madura ke daerah luar Madura.
Tidak diketahui sejak kapan mereka memulai bisnis ritel tersebut tetapi yang jelas setelah terjadi urbanisasi warga Madura ke kota-kota metropolitan. Menurut Kontowijoyo (2002) warga Madura pergi ke kota-kota untuk mencari pekerjaan.Sementara Laman Rumah Literasi Sumenep menyebutkan orang Madura membuka warung kelontong di kota seperti Jakarta setelah reformasi, sejak 2004 yang dimulai oleh warga Poteran. Salah satu alasan mereka merantau karena alasan lahan-lahan pertanian di Madura belum bisa dikelola secara produktif dan adanya persaingan kelas miskin-kaya di lingkungan sosial masyarakat Madura.
Warung Madura bukan pesaing Minimarket
Toko ritel Madura didesain sebagai toko ritel yang menyiapkan segala ragam kebutuhan harian seperti sembako, minuman, jajanan, makanan, rokok, sabun, tabung gas dan lainya. Warung ritel Madura dikenal sebagai warung serba ada dengan harga yang terjangkau. Sementara yang paling populer menjadi ciri ritel Madura adalah dibuka secara terus menerus tanpa tutup, sampai ada lelucon “buka terus hingga kiamat”.
Menjamurnya toko ritel Madura yang beroperasi 24 jam dan harga yang sedikit lebih murah, serta strategi pemasaran yang mendekat ke rumah-rumah warga, mungkin saja menjadi pesaing dan mengancam bisnis ritel usaha kecil menengah warga lokal, tapi bukan pesaing ritel modern. Hal ini karena warung Madura jauh lebih kecil dan sederhana dibandingkan supermarket atau minimarket. Bahkan jika dilihat dari sisi modal, warung ritel Madura juga terbilang kecil karena rata-rata modal bisnis ritel Madura hanya di kisaran -+100 jutaan. Sehingga menurut hemat penulis, warung Madura tidak bisa disebut pesaing minimarket atau supermarket. Bahkan sebaliknya warung Madura adalah pesaing warung Madura yang lain.
Namun di Bali, warung Madura dikeluhkan pengusaha minimarket karena beroperasi sehari penuh tanpa tutup. Hal itu yang memicu pelarangan Warung Madura untuk beroperasi 24 jam. Di sini polemik larangan beroperasi tersebut bermula hingga ramai dibicarakan publik luas.
Monopoli Bisnis Ritel
Menanggapi larangan toko ritel Madura beroperasi 24 jam, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop-UKM) menganjurkan agar warung Madura menaati dan mengikuti regulasi daerah. Respon Kemenkop UKM ini menuai banyak kritik karena dinilai memiliki tendensi mengintervensi persaingan pasar yang bisa merugikan komunitas ritel tertentu. Walaupun setelah ramai kritik Kemenkop UKM mengklarifikasi bahwa Kemenkop UKM tidak melarang warung Madura beroperasi 24 jam. Tetapi publik sudah terlanjur menerima polemik pelarangan di Bali, sehingga bukan tidak mungkin kasus serupa akan terjadi di daerah lain.
Di lain sisi, menurut data Global Economic Monitor World Trend, pertumbuhan penjualan ritel di Indonesia pada bulan Mei 2023 hanya mencapai 0.0 % dan pernah mengalami rekor terendah yaitu -20.6 % di tahun 2020. Sementara rata-rata pertumbuhan penjualan ritel di angka 7.9 % dari 2011-2023 (CEIC Data:2023). Nilai pertumbuhan penjualan ritel Indonesia tersebut terkategori rendah. Sehingga sudah seharusnya Kemenkop UKM mendorong pertumbuhan penjualan ritel dan bukan sebaliknya justeru melemahkan usaha ritel kecil.
Menurut hemat saya, pembatasan warung Madura Bali adalah tidak tepat dan salah kaprah, karena akan merugikan ritel kecil dan mengakibatkan mata rantai distribusi ritel mengalami hambatan. Belum lagi di dalam Perda tidak disebutkan adanya larangan bagi toko kelontong untuk beroperasi 24 jam sebagaimana hasil telaah Kemenkop UKM. Maka jelas, pelarangan warung Madura di Bali akan menciptakan situasi persaingan yang tidak sehat bagi pengecer kecil seperti warung Madura, dan hal tersebut tidak adil karena dapat memicu kembalinya monopoli bisnis ritel ke dalam genggaman perusahaan ritel berskala besar.
Seharusnya, pemerintah baik pusat maupun daerah, belajar dari Negara Brazil yang pernah membuat kebijakan ekspansi toko ritel serba ada dengan jarak yang berdekatan. Hal itu dibuat guna menjawab kebutuhan konsumen akan belanja yang praktis. Akibat kebijakan tersebut trend toko ritel jarak dekat di Brazil terus tumbuh seperti ekspansi jaringan Minimircado Extra dan AmPm sebagai jaringan toko ritel serba ada. Sehingga hasilnya di tahun 2021 penjualan ritel di Brazil naik mencapai 23.5 %.
Maka sudah seharusnya Kemenkop UKM mendorong pertumbuhan bisnis ritel dengan memberi perlindungan terhadap industri ritel kecil seperti warung Madura. Caranya cukup mudah ialah dengan menolak membatasi jam operasional dan mendorong persaingan pasar yang sehat, sehingga bisnis ritel kecil tumbuh dan menjadi pendorong pertumbuhan Produk Domestik Broto (PDB).