Zahra Kamila (HST)
Kemenag RI dan UNICEF resmi menandatangani nota kesepahaman ( MoU) guna memperkuat perlindungan hak anak. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kemenag RI Kamaruddin Amin mengatakan bahwa dengan MoU tersebut Kemenag bertekad untuk memenuhi hak-hak anak di Indonesia.
Mencermati hal ini, sungguh urgent bagi kita untuk menelusuri ulang rekam jejak Kemenag yang belakangan ini sudah bergeser jauh dari amanah awal kelembagaannya. Apalagi, Kemenag juga menjadi salah satu corong utama penderasan arus moderasi beragama.
Kita tahu ide moderasi beragama ini sangat berbahaya, yang pada hakikatnya justru kontraproduktif dengan hak sejati perlindungan anak. Kita harus sadari bersama bahwa hak pertama dan utama perihal perlindungan anak adalah hak berakidah yang benar. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah ( suci), kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani ( HR Bukhari dan Muslim)
Juga teladan dari Luqman sebagaimana firman Allah SWT:
“ Dan (ingatlah ) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepada anaknya.
“Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah SWT, sesungguhnya mempersekutukan Allah SWT adalah benar-benar kezaliman yang besar ( QS Luqman {31} : 13)
Di sisi lain, kita juga tahu bahwa UNICEF telah gagal total berperan menyelamatkan hak hidup anak-anak di negeri Muslim seperti Palestina. UNICEF nyatanya tidak bisa berkutik dengan genosida di Palestina, padahal kita ketahui secara luas bahwa sasaran tembak utama tentara Israel adalah anak-anak.
Untuk itu, terlebih dengan adanya MoU dengan UNICEF, kita justru harus waspada. Sebab, adanya MoU apakah akan menggebrak atau malah merusak pemikiran anak-anak kaum Muslim di Indonesia.
Sumber masalahnya di sini adalah sekularisme. Dalam sistem pendidikannya sudah sejak lama kehilangan ruh untuk pencerdasan generasi. Buktinya target final pendidikan hanya sekedar mencetak pekerja bukan calon pemimpin bangsa.
Begitupula kebijakan medianya, yang sangat tidak berpihak pada penyelamatan pemuda tetapi justru meliberalisasinya. Asas kebebasan berekspresi yang terkandung dalam konten-konten maupun tayangan di media, telah menyulap pola pikir dan pola sikap generasi muda menjadi instan, pragmatis, bahkan tidak jarang menghasilkan karakter sumbu pendek.
Dengan ini, jika kita perhatikan lagi secara jujur, sekularisme adalah akar masalahnya. Sebab, saat ini kita menyaksikan dengan jelas bahwa pemimpin di panggung dunia adalah ideologi sekuler yakni kapitalisme, yang memisahkan agama dari kehidupan.
Pada saat yang sama, dunia yang mayoritas terdiri dari negeri -negeri Muslim diwajibkan menerapkan seluruh aturan Barat dan kaum Muslim di negara tersebut dipaksa meninggalkan aturan Islam. Mirisnya, untuk Indonesia sendiri, sekularisme justru menjadi arus yang dideraskan oleh kementerian yang semestinya berwenang menjaga akidah umat. Astaghfirullah…
Pada awal kehidupannya, setiap anak berhak mendapatkan hadanah( pengasuhan anak dalam bentuk penyusuan) dan kafalah ( pengasuhan anak berupa perlindungan secara umum meliputi hadanah dan Khidmah/ pelayanan). Pengasuhan yang syar’i bukanlah edukasi berupa ilmu parenting, psikologi, maupun pendidikan yang bersumber dari peradaban Barat, melainkan yang bersumber dari Islam yang sudah pasti sejalan dengan fitrah penciptaan mereka. Semua ini akan menjadi bekal penting saat mereka menjadi mukalaf( akil, balig, terbebani hukum) nanti.
Selanjutnya, sebagai individu manusia, setiap anak juga berhak memperoleh pemenuhan kebutuhan primer layaknya manusia dewasa, yakni berupa sandang, pangan, dan papan. Mereka juga berhak atas hak-hak publik sebagai wujud pengurusan oleh negara berupa kesehatan dan pendidikan.
Demikianlah semestinya wujud perlindungan hakiki bagi anak. Pengabaian hak penjagaan akidah, juga kebutuhan primer, sekunder, maupun hak publik bagi anak -anak, jelas mengantarkan mereka pada kebinasaan. Wallaahu a’lam.