
Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I (Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja)
Kebijakan pemerintah yang amat menyakitkan masyarakat datang lagi, yaitu kenaikan tarif tol. Tahun ini saja, Jasa Marga beberapa kali melakukan penyesuaian tarif tol. Pasalnya, kenaikan tarif tol akan membuat beban masyarakat makin bertambah. Infrastruktur jalan dibangun dalam rangka memudahkan transportasi, hal yang amat dibutuhkan manusia. Bukan sekadar urat nadi ekonomi, melainkan merupakan urat nadi kehidupan.
Ketika jalan untuk transportasi masyarakat dikenakan biaya, itu sudah menjadi beban. Apalagi tarifnya dinaikkan, akan makin bertambahlah beban masyarakat. Imbas kenaikan tarif tol juga jelas akan dirasakan masyarakat secara umum, khususnya pada berbagai harga barang yang akan mengalami peningkatan. Dapat dipastikan beban masyarakat makin bertambah.
Pada awal tahun ini, ada 13 ruas jalan tol yang akan mengalami penyesuaian tarif, yaitu Tol Surabaya-Gresik, Tol Kertosono-Mojokerto, Tol Bali-Mandara, Tol Serpong-Cinere, Tol Ciawi-Sukabumi, Tol Pasuruan-Probolinggo, Tol Makassar Seksi 4, Tol Dalam Kota Jakarta (Cawang-Tomang-Pluit dan Cawang-Tanjung Priok-Ancol Timur-Jembatan Tiga/Pluit), Tol Gempol – Pandaan, Tol Surabaya-Mojokerto, Tol Cikampek-Palimanan (Cipali), Tol Cibitung-Cilincing Seksi 1, dan Tol Integrasi Jakarta-Tangerang dan Tangerang-Merak (Tomang-Tangerang Barat-Cikupa).
Selain 13 ruas jalan tol tersebut, empat ruas Jalan Tol Trans Sumatra juga akan mengalami kenaikan tahun ini, seperti Tol Terbanggi Besar-Pematang Panggang-Kayu Agung, Tol Palembang-Indralaya, Tol Pekanbaru-Dumai, dan Tol Sigli-Banda Aceh. (Bisnis Indonesia, 12-1-2024).
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimulyo mengakui tidak bisa menerapkan kebijakan tarif tol gratis saat Lebaran sebagaimana dilakukan Pemerintah Malaysia. Ia beralasan kewenangan tarif tol merupakan kewenangan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) dan berkaitan dengan keberlangsungan investasi perusahaan. “(Kebijakan tarif tol gratis) itu kan investasi, investor. Saya pun enggak bisa memerintah,” kata Basuki usai Rapat Kerja dengan Komisi V DPR RI di Jakarta Pusat, Senin (1-4-2024).
Realitasnya, disadari maupun tidak, kenaikan tarif tol memang sebuah kesengajaan yang dilakukan secara berkala dua tahun sekali mengikuti laju inflasi. Hal ini diatur dalam UU 38/2004 tentang Jalan dan PP 15/2005 tentang Jalan Tol dengan perubahan terakhir pada PP 17/2021. Pemerintah juga mengeklaim kenaikan tarif tol sudah sesuai prosedur yang berlaku. Pemerintah maupun operator jalan tol sama-sama menggunakan diksi “penyesuaian tarif”.
Mereka beralasan bahwa kenaikan tarif tol memang suatu kesengajaan yang dilakukan sebagai wujud kepastian pengembalian investasi sesuai dengan business plan. Siapa pun yang akan membangun jalan tol, sudah mengetahui tarif ini dari awal. Selain itu, sudah ada kepastian kenaikan tarif bagi investor, yakni setiap dua tahun akan ada penyesuaian sesuai inflasi. Sistem kehidupan kapitalisme yang diterapkan di negeri ini, telah mengizinkan negara menyerahkan tanggung jawab tata kelola layanan publik kepada korporasi swasta/operator, termasuk pembangunan infrastruktur jalan umum.
Inilah skema yang disebut Kerja sama Pemerintah dengan Swasta (KPS) atau Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Dengan skema ini, pemerintah melakukan pembangunan jalan-jalan tol di Indonesia, baik dalam pendanaan maupun pengambilan keputusan.
Wajar jika jalan-jalan tol yang dibangun mengharuskan adanya pengembalian dana pembangunan jalan sekaligus keuntungan yang didapat, yaitu melalui penarikan tarif bagi siapa pun yang melintasi jalan tersebut.
Sistem kapitalisme yang menerapkan konsep good governance, membuat pemerintah sebagai regulator wajib memberikan kemudahan regulasi kepada operator jalan tol yang terikat dalam KPS atau KPBU, serta membenarkan kenaikan tarif tol berulang-ulang alias berlanjut hingga mendapatkan keuntungan yang besar secara terus-menerus. Langkah ini diambil dalam rangka memastikan iklim investasi jalan tol yang kondusif, serta menjaga kepercayaan investor dan pelaku pasar terhadap industri jalan tol yang prospektif di Indonesia.
Juga untuk menjamin level of service pengelola jalan tol tetap sesuai dengan standar pelayanan minimum (SPM) jalan tol. Jelas bahwa yang dilakukan operator bukan pelayanan prima kepada masyarakat, melainkan pelayanan minimum. Alih-alih memberikan kemudahan, justru menyusahkan masyarakat. Bahkan, operator jalan tol diberikan kekuatan secara regulasi oleh pemerintah untuk melakukan penyesuaian tarif tol yang merupakan penyesuaian tarif regular dan telah diatur dalam UU.
Keputusan Menteri (Kepmen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pun dijadikan senjata untuk dapat melanjutkan kenaikan tarif tol. UU maupun Kepmen PUPR memang layaknya “senjata ampuh” bagi pembenaran kenaikan tarif tol. Alhasil, hal tersebut menjadi legal dan tidak dapat digugat oleh siapa pun. Meskipun masyarakat umum tidak menyetujui kenaikan tarif tol karena beban hidup mereka akan makin meningkat, mereka tidak berwenang untuk mengubah aturan yang telah dibuat dan disahkan.
Akhirnya, masyarakatlah yang menjadi korban. Begitulah tabiat buruk kapitalisme yang menyebabkan pemerintah hanya berorientasi pada kelangsungan bisnis para korporasi (operator), bukan masyarakat. Bukannya memperhatikan masyarakat yang membutuhkan infrastruktur jalan yang bebas biaya, negara malah memberikan berbagai kemudahan kepada operator jalan tol. Sedangkan dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan di luar negeri mengenai KPS, didapati bahwa kerja sama ini tidak bermanfaat.
Inilah bukti kelalaian pemerintah kapitalistik yang menjadikan pengelolaan pembangunan jalan publik kepada swasta/operator, mengakibatkan jalan publik dikomersialisasi, jalan tol pun akan terus menjadi sumber pemasukan operator. Selama kapitalisme diberlakukan di negeri ini, selama itu pula tarif tol akan terus naik dan sudah pasti akan membuat masyarakat makin susah. Oleh karena itu, kelalaian negara ini harus segera dihentikan.
Jalan tol adalah fasilitas publik yang dapat dimanfaatkan semua orang. Terhadap fasilitas publik, negara tidak hanya berkewajiban membangunnya, tetapi juga berdampak positif serta bermanfaat bagi masyarakat. Sayangnya, sistem kapitalisme menafikan peran negara sebagai pengurus rakyat. Negara hanya menjadi regulator kepentingan asing dan kapitalis. Pembangunan infrastruktur merupakan hal penting dalam membangun perekonomian maju. Beberapa contoh infrastruktur dalam bentuk fisik antara lain jalan, jalan tol, stadion, jembatan, konstruksi bangunan, jaringan listrik, bendungan, dan sebagainya.
Islam memandang jalan raya sebagai bagian dari pelayanan negara. Negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat, mulai dari sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, hingga infrastruktur (jalan raya ada di dalamnya). Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, negara bertindak sebagai pemelihara bukan pebisnis. Rasulullah saw. bersabda,
“Seorang imam (Khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam hal mengurusi kebutuhan rakyat ini, Islam tidak membenarkan negara menyerahkan tanggung jawab kepada swasta, apalagi menjadikan upaya pemenuhan kebutuhan dasar untuk bisnis. Harusnya, rakyat bebas memanfaatkan jalan raya yang merupakan bagian dari infrastruktur umum. Dengan demikian, agar rakyat dapat menikmati transportasi yang aman, murah, dan nyaman, negara wajib membuat rencana tata ruang wilayah (RTRW) sebelum membangun kota.
Negara akan menyediakan semua kebutuhan rakyat, seperti rumah sakit, sekolah, masjid, perpustakaan, taman, rumah singgah bagi musafir, hingga industri kebutuhan dasar (makanan/minuman) dalam satu kota yang tidak jauh jangkauannya. Ini semua untuk memudahkan rakyat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Mereka tidak perlu ke luar kota setiap saat hanya untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik. Ini karena pada dasarnya, negara akan membangun semua kota agar memiliki pelayanan yang sama baiknya.
Khalifah Umar bin Khaththab juga pernah mendanai pembangunan infrastruktur melalui anggaran khusus di baitulmal. Islam tidak akan mengalokasikan pembiayaan infrastruktur dengan jalan utang atau investasi asing. Negara akan memodali secara penuh pembiayaan pembangunan infrastruktur. Dananya berasal dari kas Baitulmal yang terdiri dari harta fai, ganimah, anfal, usyur, khumus, rikaz, zakat, jizyah, kharaj, serta pengelolaan barang tambang.
Dengan penerapan sistem politik ekonomi Islam secara kafah, negara akan memiliki sumber dana yang cukup sehingga dapat memenuhi kebutuhan rakyat. Mereka dapat mengakses dan memanfaatkan fasilitas publik termasuk jalan tol dengan tarif murah, bahkan mungkin bisa gratis.