Oleh : Ummu Wildan
Jamak diketahui, kebutuhan pangan melonjak setiap Lebaran. Begitupun Lebaran pasti ada setiap tahunnya. Sayang lonjakan ini tidak berhasil diantisipasi secara domestik. Berulang kali impor pangan menjadi solusi. Ketahanan pangan seakan hanya mimpi.
Data dari BPS menyebutkan kenaikan impor yang tinggi. Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyebutkan bahwa secara yoy (year on year) serealia sejenis gandum dan beras mengalami kenaikan hingga 164, 60 %. (CNBC.com) Ada pula 2.350 sapi impor asli Australia yang membanjiri pasar domestik menjelang Lebaran kali ini. Lebih jauh Ketua umum PPSKI Nanang Purus Subendro menyatakan kebutuhan daging sapi dalam negeri masih bergantung pada impor hingga 55% (katadata.co.id)
Menyandarkan pemenuhan kebutuhan pokok pada kebiasaan impor berpotensi membahayakan kondisi negeri ini. Sering ditemui harga komoditas impor yang lebih murah daripada yang dihasilkan negeri sendiri. Hal ini bisa terjadi karena banyak hal. Misalnya saja faktor-faktor produksi yang juga lebih mahal di negeri sendiri. Diantaranya adalah pakan ternak maupun pupuk tanaman. Begitupun BBM yang menjadi salah satu faktor dalam distribusi barang dari produsen ke konsumen.
Akibat dari harga yang lebih mahal mengakibatkan banyak konsumen beralih ke barang impor. Alhasil minimnya pasar dan keuntungan menyebabkan rakyat memilih bidang pekerjaan lain selain bertani dan beternak.
Sedikitnya SDM bidang peternakan dan pertanian akan menurunkan produksi pangan negeri ini. Swasembada pangan semakin jauh dari kenyataan..
Bahaya selanjutnya dari ketergantungan terhadap barang impor adalah ancaman terhadap kedaulatan negeri. Ketika tidak ada ketahanan pangan dalam negeri, maka importir berpotensi mengontrol berbagai kebijakan dalam negeri. Ketika ada keputusan yang tidak disukai importir, mereka menuntut pembatalan atau mengancam stop suplai barang mereka. Importir pun berpotensi menuntut adanya aturan yang memudahkan bisnis mereka tanpa peduli dampaknya bagi rakyat banyak. Ketiadaan impor yang terlanjur menjadi candu dapat menyebabkan kelangkaan bahan pangan. Hal ini berpotensi menyebabkan kerusuhan dalam negeri.
Ketika ingin melakukan politik luar negeri pun akan menemukan kendala. Protes kepada negara yang melanggar kemanusiaan akan sulit dilakukan ketika negeri ini mengalami ketergantungan impor terhadap negara tersebut.
Sayangnya pilihan impor ini terus diambil. Diantaranya karena pemerintah lebih berperan sebagai perantara antara rakyat sebagai konsumen dengan produsen. Pemerintah menjadi regulator sedangkan rakyat harus bertarung di negeri sendiri.
Hal ini berbeda dengan sudut pandang Islam terkait pemerintah. Islam mengharuskan penguasa berperan layaknya seorang ibu bagi anaknya. ”Setiap kalian (pemimpin) akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” “Pemimpin adalah perisai”. Demikianlah sedikit dari banyak petunjuk terkait penguasa dalam Islam.
Pemenuhan kebutuhan pokok adalah pemenuhan per individu, bukan rata-rata. Bahkan dicontohkan tentang seorang Khalifah Umar bin Khattab yang takut akan diazab di akhirat kalau ada unta yang terperosok di jalan akibat kelalaiannya.
Islam mewajibkan negara berdaulat dan mandiri. Termasuk dalam hal pangan. Berbagai upaya harus dilakukan secara maksimal. Infrastruktur berkualitas yang menunjang ketersediaan pangan dibangun. Berikutnya upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian dan peternakan digiatkan. Tak terkecuali kegiatan riset dan pengembangan teknologi tepat guna pun didukung.
Hal-hal di atas tentu membutuhkan sumber daya yang melimpah. Beruntungnya negeri ini memilikinya. Hanya saja tanpa pengaturan Islam tidak akan bisa maksimal dan tepat guna seperti fakta hari ini.
Dalam Islam, sumber daya alam yang melimpah tidak boleh diserahkan pengelolaannya kepada swasta, apalagi asing. Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa umat berserikat atas air, api, dan padang gembala. Kebersamaan dalam memiliki ini memerlukan pengelola, yaitu penguasa.
Alhasil penguasa akan bisa mengolah untuk terpenuhinya kebutuhan rakyat akan faktor-faktor produksi dan distribusi. Misalnya saja BBM yang murah dan bantuan modal usaha bagi petani dan peternak.
Kebijakan-kebijakan yang dibuat pun demi kepentingan rakyat, bukan para pemilik modal besar saja. Hal ini karena penguasa tidak sedang berbisnis dengan rakyat. Penguasa dalam Islam adalah orang-orang yang tidak hanya memikirkan urusan dunia. Mereka takut akan urusan akhirat. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw mengingatkan, Tidaklah seorang hamba diserahi oleh Allah urusan rakyat, kemudian dia mati, sedangkan dia menelantarkan urusan tersebut, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya (HR Muslim).
Tanah-tanah subur yang tidak dikelola lebih dari tiga tahun dapat diambil penguasa dan diserahkan kepada rakyat yang potensial. Dengan begitu persoalan tuan tanah dan maraknya buruh tani dapat diselesaikan. Begitupun persoalan tanah yang ditelantarkan.
Pengaturan yang diberikan oleh Islam memberi peluang besar bagi negeri ini untuk memiliki ketahanan pangan. Negeri ini akan menjadi negeri yang mandiri dan berdaulat. Dibaliknya ada rakyat yang bersemangat untuk bertani dan beternak dengan support system yang tepat. Ada pula rakyat yang sejahtera; tercukupi kebutuhan