
“Pancasila ini akan saya pertahankan dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah ia akan dikebiri oleh angkatan bersenjata atau dimanipulasi oleh umat Islam, atau disalahgunakan keduanya.” Gus Dur (olah kutipan)
Jika kita berbicara dan sharing soal-soal masalah radikalisme, maka pertama kali yang tergambarkan adalah persoalan tersebut masuk dalam domain politik, yaitu bagaimana sesungguhnya radikalisme yang terjadi merupakan bentuk radikalisme negara yang dilakukan oleh perangkat kekuasaan yang ada terhadap warga negaranya.
Atau, tindak radikalisme yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain yang dinilai memiliki sistem dan kepentingan politik yang berbeda, atau setidaknya unsur politik diterjemahkan sebagai adanya pihak lain yang campur tangan dalam fenomena radikalisme yang terjadi.
Tentu saja, pemahaman ini kiranya tidaklah berlebihan dan tidak salah. Sebab, memang dalam realitas empiriknya selalu memperlihatkan kondisi yang tidak jauh berbeda dari pendapat atau asumsi tersebut. Namun demikian, semenjak tahun 1945, terutama di Eropa dan Amerika Serikat, pembedaan secara ketat dan kaku tersebut mulai ditinggalkan.
Hal ini terjadi seiring dengan adanya berbagai perubahan masyarakat secara mondial. Dalam hal ini, ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang tersekat-sekat secara ketat itu semakin kurang mampu menjelaskan berbagai gejala yang ada.
Tetapi, yang lebih menarik, adalah pembicaraan radikalisme dalam perspektif agama kiranya lebih kompleks jika dibandingkan dengan pembicaraan radikalisme dalam perspektif lainnya. Ini dikarenakan hampir semua orang sependapat bahwa, tidak ada satu ajaran agama pun yang kiranya memuat suatu perintah agar penganutnya untuk melakukan tindakan terorisme. Karena itu, jika ada yang mengajarkan hal yang demikian, maka keberadaan agama dinilai telah mengingkari dirinya yang menghendaki kedamaian baik dunia maupun akhirat.
Berbeda dengan sementara bidang kehidupan lainnya. Dalam agama terdapat berbagai ajaran, simbolisme, cerita atau amsal, konsep, dogma, pencitraan, ritualitas serta idealitas sistem, dan struktur pribadi maupun sosial yang dikehendakinya, yang menjadikan agama menyentuh seluruh dimensi kehidupan manusia. Mulai dari dimensi alam atas dan alam bawah sadar manusia, dimensi imanensi dan transendental, dimensi psikis dan fisik manusia.
Keseluruhan substansi agama tersebut bersifat universal. Sedangkan jika menyangkut bagaimana simbol, konsep, ritualitas dan idealitas yang ada pada agama tersebut dipahami oleh pemeluknya, maka “agama menjadi bersifat partikular”. Mengingat sifatnya yang universal, maka agama memperlihatkan dimensi Ilahiyah.
Sedangkan pada yang partikular bisa merupakan cerminan dan refleksi budaya lokal dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Karena itu, tidaklah mengherankan jika agama memiliki fungsi yang sakral dan ditempatkan sebagai suprastruktur dalam keseluruhan tatanan kehidupan masyarakat tersebut, dan menyentuh sisi eksistensialisme manusia itu sendiri.
Demikian juga radikalisme pada tataran budaya tidak kurang menariknya, jika dibandingkan dengan perspektif lain. Apalagi penelusuran radikalisme dari perspektif budaya seakan membawa, dan menghantarkan pada realitas ditemukannya berbagai budaya dalam masyarakat, dan etnis tertentu yang dianggap akrab dengan radikalisme, sehingga sering dinilai merupakan bagian dari sistem budaya mereka.
Syahdan. Jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya, tujuan paham radikalisme adalah mengadakan perubahan sampai ke akarnya, dan untuk merealisasikan usaha ini mereka selalu menggunakan metode kekerasan serta menentang struktur masyarakat yang ada. Ia mempunyai program yang cermat dan memiliki landasan filsafat untuk membenarkan adanya rasa ketidakpuasan dan mengintrodusir inovasi-inovasi.
Itu sebabnya, radikalisme erat sekali hubungannya dengan revolusi. Karena mereka memiliki rencana jangka panjang. Adalah menimbulkan perubahan dramatis dalam pemerintahan, seperti revolusi, perang saudara atau perang antar negara. Pun juga, mengganti ideologi suatu negara dengan ideologi kelompok-kelompoknya, mempengaruhi kebijakan pembuat keputusan baik dalam lingkup lokal, nasional, regional atau internasional serta memperoleh pengakuan politis sebagai badan hukum untuk mewakili suatu suku bangsa atau kelompok nasional.
Radikalisme adalah suatu sikap yang menginginkan perubahan secara total melalui kekerasan dan aksi-aksi yang ekstrem. Dalam hal ini bisa dilihat dari adanya sikap intoleran, fanatik, ekslusif, dan revolusioner. Tumbuh dan berkembang di Indonesia dikarenakan adanya perubahan tatanan sosial dan politik.
Setelah kehadiran orang-orang Arab dari Hadramaut Yaman ke Indonesia telah membawa suatu ideologi baru ke tanah air yang kehadirannya dapat mengubah konstelasi umat Islam di Indonesia. Ideologi baru yang mereka bawa adalah ideologi yang lebih keras dan tidak mengenal toleransi. Dianggap tidak mengenal toleransi karena sangat banyaknya dipengaruhi oleh mazhab pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab atau Wahabi. Sekali lagi, ia datang dengan membawa ideologi keras tanpa mengenal toleransi.
Lalu bagaimana cara menghadapi faham radikalisme?
Hampir semua para pemikir dan tokoh semuanya sepakat bahwa, cara yang ampuh untuk mengatasinya adalah perlunya diadakan pembinaan yang baik melalui pendidikan untuk mengantisipasi masuknya paham radikalisme. Banyak penduduk Indonesia yang berusia muda dan bila tidak dilakukan pembinaan yang positif maka bisa membahayakan. Kenapa demikian? Karena faktor yang bisa menimbulkan radikalisme yaitu, emosi keagamaan atau solidaritas keagamaan dan berbahaya bila melekat pada orang yang pengetahuan agamanya dangkal.
Radikalisme bisa terjadi pada semua agama. Namun selama ini yang dikenal sebagai radikal adalah umat Islam. Kita harus selalu waspada terhadap ajakan-ajakan jihad yang diartikan dengan perang, kehidupan yang lebih baik, ajakan yang mengharuskan menggunakan cadar.
Cara merekrut anggotanya adalah, mendekati kelompok atau organisasi yang se-aliran dan yang berekonomi lemah atau yang pendidikan agamanya lemah, mencari orang dikampung yang militan dan mengisahkan perjuangan dan mengiming imingi jihad. Di sini kita semua harus waspada. Kita harus jaga diri kita, terlebih anak-anak kita atau teman-teman kita dari ideologi radikal.
Tak berhenti di situ, termasuk dari langkah-langkah menghindari paham radikalisme adalah dengan cara bisa memperkuat ideologi Pancasila sebagai ideologi substansional. Selain itu, memperdalam pemahaman moderat terhadap ajaran agama yang tidak sempit dan eksklusif, serta kajian yang mendalam terhadap radikalisme dan dampak bahayanya.
Kenapa harus dengan pendidikan dan Pancasila? Karena keduanya sangat ampuh dalam melawan radikalisme. Jangan lawan radikalisme dengan cara radikalisme juga, sebab cara ini tak akan menyelesaikan masalah, malah bisa mempertajam masalah sepanjang hayat. Pepatah mengatakan “Bila emosi negatif kita balas emosi yang sama, maka sampai kapan emosi negatif akan berhenti”.
Jelasnya, radikalisme selalu identik dengan teror, kekerasan, ekstriminitas dan intimidasi, sehingga seringkali menimbulkan konsekuensi negatif dengan adanya jatuh korban. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip ajaran agama yang damai, serta nilai budaya atau kultur bangsa Indonesia yang santun dan ramah.
Tak kalah pentingnya untuk dicatat adalah, jika belakangan atau hari ini ada yang mengatakan bahwa tolak ukurnya adalah mati, maka itu sangat keliru dan maknanya terlalu sempit-dangkal. Kenapa demikian? Hemat penulis, tolak ukurnya jihad tidak hanya mati seperti melakukan bom bunuh diri dan lainnya, melainkan tetap hidup dijalan Allah Swt. Misalnya dengan cara membantu kaum-kaum yang tertindas (mustad’afin). Pendek kata peduli kepada masyarakat di akar rumput.
Jamal Al-Banna salah seorang pemikir besar dari Mesir di dalam bukunya “Al-Jihad” menyatakan, bahwa jihad hari ini tidak semata-mata untuk mati dijalan Allah Swt., akan tetapi untuk hidup dijalan Allah Swt. Dikatakan:
Artinya: “Sesungguhnya jihad di masa kini bukanlah mati di jalan Allah, melainkan hidup di jalan-Nya.”
Inilah pengertian jihad sebenarnya yang penting diketahui oleh umat Islam, bahkan juga oleh umat agama lain. Agama mengajarkan kepada manusia kedamaian dan tidak bermusuhan dengan yang lain, saling hormat menghormati, dalam seagama maupun penganut agama di luar agama yang dianutnya. Sebagaimana yang sudah ditegaskan di dalam al-Qur’an surat Al-Kafirun [109]: 1-6). Wallahu a’lam bisshawaab.