Kamis, Juli 3, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Rendahnya Kesadaran Mitigasi Bencana, di Mana Letak Peran Negara?

by Mata Banua
26 Maret 2024
in Opini
0
D:\2024\Maret 2024\27 Maret 2024\8\8\fotobencana.jpg
(foto:mb/web)

Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.PdI (Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Remaja)

Rentetan bencana tengah menyelimuti negeri ini. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, per 9 Juni 2023, telah terjadi 1.726 bencana alam. Banjir sebagai jenis bencana yang paling tinggi disusul dengan cuaca ekstrem, tanah longsor, kebakaran hutan, gempa bumi, dan sebagainya. Sepekan terakhir ini (3—9 Juli 2023), telah terjadi 37 bencana di wilayah Aceh, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, dan Kalimantan. Sebanyak enam orang tercacat meninggal dunia. (tribratanews[dot]polri[dot]go[dot]id, 11-7-2023).

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\3 Juli 2025\8\master opini.jpg

Berantas Narkoba Selamatkan Masyarakat

2 Juli 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Kampus Bentuk Satgas Perlindungan Perempuan, Sudah Cukupkah?

2 Juli 2025
Load More

Misalnya, bencana banjir akibat luapan aliran sungai di Kecamatan Lunyuk, Kabupaten Sumbawa, NTB. Ribuan rumah terendam banjir sejak kamis (6-7-2023). Bahkan, di Desa Emang Lestari, terdapat 1.370 rumah warga terendam air dengan ketinggian 50 cm. Banjir pun merendam 28 ton pupuk urea milik warga, stok sembako, bangunan sekolah, dan lainnya. (CNN Indonesia, 8-7-2023).

Esoknya, Jumat (7-7-2023), giliran Kabupaten Lumajang Jawa Timur yang kembali tertimpa bencana banjir lahar dingin Gunung Semeru. Cuaca ekstrem dengan intensitas hujan yang tinggi selama beberapa hari ini pun mengakibatkan banjir dan tanah longsor. Dampak dari bencana tersebut, tiga orang meninggal akibat tertimpa longsor, ribuan warga terpaksa harus mengungsi, lima jembatan yang menghubungkan antardesa ambruk, dan lainnya.

Menurut laporan World Risk Report 2022, Indonesia merupakan negara paling rawan bencana ketiga di dunia. Frekuensi bencana alam di Indonesia naik 81% selama 12 tahun. Pada 2010, terjadi 1.945 bencana alam dan pada 2022 terjadi 3.544 bencana alam. (CNBC Indonesia, 2-3-2023). Dikatakan rawan bencana alam karena Indonesia terletak di pertemuan tiga lempeng. Adanya pergerakan lempeng ini membuat Indonesia sangat rentan terkena bencana alam, khususnya di bidang ekologi, seperti gempa bumi tektonik, tsunami, hingga erupsi gunung berapi.

Namun demikian, realitas negeri yang rawan gempa ini tidak disertai dengan mitigasi bencana yang baik. Buktinya, bencana alam selalu saja menelan banyak korban manusia maupun benda. Menurut BNPB, per 9 Juni 2023, bencana alam menimbulkan korban meninggal dunia 154 jiwa, hilang 8 jiwa, 5.490 luka-luka dan terdampak, serta 2.858.121 jiwa terpaksa mengungsi. (Sindo News, 10-6-2023).

Indonesia sendiri bukan baru hari ini secara geografis dan ekologis dinyatakan sebagai negara yang berpotensi tinggi terhadap bencana banjir. Belum lagi jika bicara sejumlah infrastruktur yang mudah rusak saat didera hujan deras. Ini membuktikan bahwa kualitas bangunan yang dibuat tidak mencapai level terbaik, alias ala kadarnya, padahal infrastruktur tersebut adalah fasilitas publik.

Semestinya, pada titik ini penguasa lebih memperhatikan kualitas infrastruktur yang dibangun di negerinya. Jangan hanya karena mengejar reputasi ini dan itu, juga kebelet dengan target kilat investor, bangunan infrastruktur yang dibanggakan ternyata tidak ubahnya bangunan reyot. Jika demikian adanya, ini jelas-jelas menunjukkan bahwa antisipasi dan mitigasi terhadap bencana, maupun pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik terkait dengan potensi kebencanaan tersebut tidak menggunakan visi yang sahih.

Tentunya perlu upaya antisipasi agar tidak banyak timbul korban serta meminimalkan dampak kerugian. Meskipun bencana termasuk ketetapan Allah yang tidak dapat dipastikan kedatangannya, setidaknya manusia dapat memperkirakan dan memiliki alarm pertama menghadapi bencana alam.   Oleh karenanya, keberadaan mitigasi bencana sangat penting sebagai alat ukur awal membaca kebencanaan. Mitigasi bencana sendiri merupakan segala upaya untuk mengurangi risiko bencana.

Sistem informasi mengenai peringatan dini bencana harus mudah diakses rakyat, sehingga rakyat menjadi waspada. Setidaknya, dengan peringatan dini mengenai cuaca atau rekaman seismik pergerakan bumi, misalnya, risiko bencana dapat diantisipasi. Upaya mitigasi bencana berbasis teknologi tak bisa dilakukan tanpa dukungan penguasa. Butuh sistem yang mendukung pengembangannya. Ketersediaan dana dan tenaga menjadi modal pokoknya.

Melansir situs Kementerian Sosial, mitigasi bencana memiliki tiga tujuan utama, yaitu pertama, mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti korban jiwa, kerugian ekonomi, dan kerusakan sumber daya alam. Kedua, digunakan sebagai landasan perencanaan pembangunan. Ketiga, peningkatan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi serta mengurangi risiko bencana.

Mitigasi bencana adalah langkah yang dilakukan guna mengurangi atau memperkecil dampak bencana, baik sebelum, saat terjadi, dan setelah bencana.

Pertama, langkah yang dilakukan sebelum bencana, seperti pembuatan peta wilayah rawan bencana, pembuatan bangunan tahan gempa, penanaman pohon bakau, penghijauan hutan, serta penyuluhan terhadap warga sekitar. Semua ini dianggap kurang optimal.

Kedua, saat terjadi bencana, penanggulangan bencana seharusnya dilaksanakan dengan fokus pada upaya pertolongan korban bencana dan antisipasi kerusakan yang terjadi akibat bencana. Hanya saja, lagi-lagi evakuasi korban sering kali dianggap kurang tanggap. Terbukti dengan masih banyaknya korban yang tidak ditemukan atau terlambat diselamatkan akibat persoalan teknis, seperti akses komunikasi dan akses jalan yang buruk.

Ketiga, pemulihan atau pascabencana. Langkah ini pun dianggap kurang optimal. Bukan hal rahasia lagi jika kebutuhan utama, seperti makanan, air bersih, pakaian, obat-obatan, tidak maksimal tersedia di tempat pengungsian. Pemerintah kerap mengandalkan swasta ataupun sumbangan warga untuk memenuhinya sehingga terlambat sampai ke pengungsi, bahkan dengan kondisi yang kurang berkualitas.

Di bawah ini adalah mitigasi bencana yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko kerusakan karena gempa bumi, yaitu:

1. memastikan menggunakan konstruksi bangunan tahan getaran atau gempa;

2. memastikan kekuatan bangunan sesuai dengan standar kualitas bangunan;

3. membangun fasilitas umum dengan standar kualitas yang tinggi;

4. memastikan kekuatan bangunan-bangunan vital yang sudah ada;

5. merencanakan penempatan permukiman untuk mengurangi tingkat kepadatan hunian di daerah rawan bencana.

Namun, problemnya, yang telah tertuang di atas seolah belum berkorelasi dengan implementasi yang ada. Melihat definisi dan tujuannya, mitigasi adalah kegiatan yang seharusnya ada sebelum bencana terjadi. Pemerintah mengakui masih menghadapi persoalan dalam implementasi penanggulangan bencana, mulai dari prabencana, mitigasi, early warning, saat bencana, emergency, pascabencana, recovery dan rehabilitasi.

Untuk fase prabencana (mitigasi dan kesiapsiagaan), peran pemerintah adalah membuat dan memastikan regulasi mengenai standar bangunan, tata ruang, dan edukasi berjalan dengan baik. Perencanaan gedung atau bangunan di kawasan rawan gempa pun diperlukan supaya ketika bencana gempa itu terjadi, tidak ada korban jiwa yang berjatuhan akibat tertimpa bahan bangunan yang retak akibat guncangan gempa.

Para ahli selalu mengingatkan, gempa bumi pada dasarnya tidak akan langsung menelan korban jiwa. Namun, bangunan yang retak atau rusak akibat guncangan gempa dan jatuh menimpa tubuh seseoranglah yang akan menyebabkan adanya korban jiwa saat bencana itu terjadi.

Ulasan ini menegaskan setidaknya ada dua aspek yang bisa menjadi mekanisme penanggulangan banjir musiman yang terus berulang ini.

Pertama, aspek akidah, bahwa bencana alam berasal dari Allah, maka selayaknya kita juga mohon pertolongan Allah agar diberi kesabaran menjalaninya.

Kedua, aspek kemaslahatan umum. Banjir yang berulang menunjukkan bahwa mitigasi tidak berjalan kontinyu dan simultan. Program mitigasi hanya parsial pada tahun tertentu saja, tetapi belum tentu bisa terlaksana lagi di tahun berikutnya. Andaikata program mitigasi bisa kontinyu, biasanya tidak terjadi akselerasi pada tahun selanjutnya. Akibatnya, program mitigasi tidak mengalami kemajuan, alih-alih menghasilkan capaian yang lebih baik.

Ini masih belum bencana-bencana lain yang menjauhkan berkah Allah darinya. Allah Taala berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”(QS Al-A’raaf: 96).

Belum lagi, peralatan yang digunakan saat mitigasi pun bukan yang berkualitas terbaik sehingga mudah rusak. Kalaupun peralatannya sudah yang berkualitas terbaik, yang seringkali terjadi adalah minimalisnya perawatan pada peralatan sehingga akhirnya juga rusak. Benar-benar malang negeri ini, sistem kufur yang tengah berlangsung mustahil memberikan keberkahan. Sistem kufur juga melahirkan para pejabat yang tidak amanah dan melaksanakan tugas secara ala kadarnya.

Amal mereka dalam mengemban jabatan sangat jauh dari kualitas amal yang sempurna lagi terbaik. Tidak heran jika negeri ini juga jauh sekali dari karakter negeri yang baik (baldatun tayyibatun). Sungguh, kita semua tentu mendambakan kondisi suatu negeri yang aman, sentosa, serta jauh dari bencana dan mara bahaya. Inilah negeri impian bagi setiap orang.

Sungguh celaka negeri yang sedemikian indah hingga berjuluk zamrud khatulistiwa, tetapi harus merana akibat banjir di mana-mana akibat tegaknya sistem kufur di negeri tersebut.

Mitigasi bencana dalam Islam akan optimal karena dua faktor.

Pertama, negara sebagai pihak sentral dalam seluruh urusan umat. Penguasa akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Swt. atas apa yang menimpa rakyatnya. Mitigasi akan benar-benar diupayakan dengan maksimal oleh penguasa semata untuk memenuhi kewajibannya sebagai pengurus dan pelindung umat.

Kedua, kekuatan kas negara. Sumber keuangan baitulmal akan melimpah sehingga mampu membiayai mitigasi bencana. Misalnya, saat para peneliti menyarankan pemerintah untuk membangun rumah-rumah tahan gempa bagi warga di wilayah rawan gempa, negara akan bertanggung jawab untuk pembangunannya tersebut. Jika warga tidak sanggup membangun karena mahal, negaralah yang berkewajiban untuk membantu mereka sebab hal demikian menyangkut jiwa manusia.

Begitu pula evakuasi korban, akan diupayakan seoptimal mungkin dengan alat transportasi tercanggih. Evakuasi berkaitan erat dengan waktu, makin cepat ditemukan, akan makin besar potensi terselamatkannya korban. Pembangunan infrastruktur yang rusak pun akan cepat dilakukan pascabencana agar kehidupan rakyatnya kembali pulih.

Kondisi yang demikian tidak akan pernah bisa kita dapati dalam sistem demokrasi kapitalistik yang abai terhadap keselamatan warga dan kas negaranya defisit akibat privatisasi SDA. Mitigasi bencana akan optimal jika Islam diterapkan dalam sebuah institusi sebab sistem Islam akan menghadirkan penguasa yang amanah mengurusi umat dan menciptakan kas negara yang kuat.

 

 

Tags: bencanaNor Faizah Rahmipraktisi pendidikan
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA