Rabu, Juli 2, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Utang Meningkat, Cengkeraman Penjajahan Makin Kuat!

by Mata Banua
25 Maret 2024
in Opini
0

Oleh : Nurma Junia

Untuk membangun negara, pemerintah mencari bantuan pembiayaan pembangunan dengan pilihan meningkatkan utang secara terus menerus. Kementerian keuangan menyebutkan bahwa utang pemerintah sebesar per 31 Januari 2024 sudah mencapai Rp 8.253 triliun. Anehnya, Negara justru mengangap angka tersebut masih wajar dan masih dalam rasio aman karena berada di bawah ambang batas 60% dari produk domestik bruto (PDB).

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\2 Juli 2025\8\8\master opini.jpg

Transformasi Polri dan Filosofi Kaizen

1 Juli 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Polri dan Nilai Ekonomi Keamanan

1 Juli 2025
Load More

Namun, menurut Awalil Rizky seorang ekonom Bright Institute, “Batas atas 60 persen dalam UU tentang Keuangan Negara mestinya tidak ditafsirkan sebagai batas aman kondisi utang, melainkan yang tidak boleh dilampaui (Tempo, Kamis, 29 Februari 2024)

Sebelumya, posisi utang pemerintah secara keseluruhan per 30-11-2023 adalah Rp8.041,01 triliun. Jumlah tersebut didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp7.048,9 triliun (88,61% dari total utang) dan pinjaman sebesar Rp 916,03 triliun (11,39% dari total utang). Khusus utang melalui pinjaman luar negeri sebesar Rp886,07 triliun paling banyak berasal dari pinjaman multilateral (Rp540,02 triliun) juga pinjaman bilateral Rp268,57 triliun. Sedangkan pinjaman dalam negeri sebesar Rp29,97 triliun. (Gatra.com, 31-12-2023).

Berdasarkan Perhitungan Econom Center Of Economic And Law Studies, Bima Yudistira mengatakan perkiraan jumlah utang akan terus meningkat jika dibandingkan utang pada Desember 2023 karena postur belanja pemerintah lebih ekspansif dalam beberapa tahun ke depan. Dan pastinya setiap warga negara lah yang nantinya akan menanggung beban utang pemerintah tersebut.

Utang luar negeri Indonesia terus mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Kondisi ini tentu sangat ironis. Bagaimana mungkin besarnya utang tersebut sesungguhnya tidak relevan dengan kekayaan sumber daya alam Indonesia yang sangat melimpah jika ternyata di satu sisi utang membengkak dan angka kemiskinan makin meningkat?

Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan di negeri ini telah menganggap pembiayaan dengan pinjaman atau utang adalah satu keniscayaan, merupakan hal yang wajar sekalipun dengan sistem riba yang jelas-jelas diharamkan dalam aturan islam. Firman Allah Taala : “Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS al-Baqarah: 275).

Bertambahnya beban anggaran karena penggunaan asumsi indikator ekonomi makro seperti suku bunga, nilai tukar rupiah, harga minyak dunia, dan lain-lain akan menyebabkan rentannya perubahan atau gejolak. Sehingga memaksa pemerintah untuk mencari utang baru jika APBN sering defisit karena utang yang tidak produktif. Akhirnya utang luar negeri menjadi beban bagi masyarakat, bukan hanya negara.

Entah sampai kapan negeri ini bisa bebas tanpa utang? Padahal jumlah utang yang terus menerus dijadikan jalan untuk pendanaan pembangunan jangka panjang akan bisa membahayakan kedaulatan negara karena akan menjadi jalan mudah untuk selalu berada dibawah cengkeraman kuat penjajah dengan tertumbalkannya aset negara.

Kekuatan dan kelemahan ekonomi Indonesia dengan dalih bantuan konsultan teknis atau konsultan ekonomi akan menjadi sarana untuk memata-matai. Akhirnya, negara peminjam tetap miskin makin tidak berdaya. Ketergantungan dalam jeratan utang dijadikan sebagai senjata politik negara-negara kapitalis untuk memaksakan kebijakan disegala bidang.

Memang, Indonesia dipandang sebagai negara yang sangat menguntungkan bagi para investor dan sangat akomodatif. Oleh sebab itu, pemerintah terus berupaya memberi peluang seluas-luasnya kepada para pemberi pinjaman. Biasanya pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan di berbagai sektor dalam bentuk UU, peraturan, dan sebagainya agar bisa memenuhi kepentingan investor. Saat ini jelas sekali hal tersebut tidak menguntungkan bagi Indonesia. Berbagai program pembangunan di negeri ini lebih berorientasi bisnis karena berada dalam lingkaran oligarki di sekitar penguasa bukan menjalankan fungsi utama sebagai pelayanan publik.

Utang Indonesia yang makin besar adalah salah satu kriteria kegagalan pemerintah mengelola negara. Utang juga merupakan indikator bahwa resesi ekonomi akan menghantui. Sejatinya pula, utang adalah alat bunuh diri politik bagi negara yang bersangkutan karena menjadi jebakan yang bisa mengancam kedaulatan negara debitur. Hal ini sudah terbukti sejak sebelum Perang Dunia I, ketika negara-negara kapitalis Barat memberikan utang kepada negeri-negeri muslim, seperti Tunisia, Mesir, Suriah, Turki, dan Iran. Meski saat itu kepemimpinan Turki Utsmani masih tegak, namun sudah dalam kondisi terpuruk. Hasilnya, utang menjadi pintu masuk para kapitalis Barat untuk begitu mudahnya mengerat-ngerat wilayah negeri-negeri muslim.

Adanya kisah Zimbabwe dan Sri Lanka yang juga terjerat utang dari Cina dan nyatanya tidak membuat kedua negara tersebut terbantu secara ekonomi, melainkan makin terjerat erat dalam krisis karena tidak mampu lagi membayar utangnya kepadakreditur.

Karenanya Kita harus menyadari bahwa utang luar negeri adalah cara kapitalisasi yang sangat negeri bagi suatu negeri. Dengan utang itu, negara-negara kapitalis mudah menekan untuk melakukan intervensi dan hegimoni, bahkan menduduki wilayah negeri-negeri muslim.

Allah telah berfirman : “Sekali-kali Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum mukmin.” (QS An-Nisa: 141).

Islam sebagai sistem terbaik bagi umat terbaik, pastinya tidak akan mungkin memberikan aturan ekonomi yang menjerumuskan sebagaimana dalam sistem kapitalis. Islam sejatinya memiliki aturan ekonomi dan politik yang khas yang akan membuat sebuah negara menjadi berdaulat, mandiri dan adidaya ekonomi.

Islam membahas jaminan kesejahteraan dengan indikator terpenuhinya kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) setiap individu dalam jumlah yang cukup. Sementara politik Islam berbicara tentang bagaimana mengatur urusan rakyat dan keduanya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariat Islam.

Islam juga memiliki sejumlah sumber APBN yang masing-masing memiliki nominal yang cukup besar, sehingga APBN aman dan bisa meminimalkan terjadinya paktek utang ribawi. APBN tersebut justru sangat memungkinkan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan publik secara gratis seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, dan transportasi sebagai wujud pelayanan negara kepada rakyatnya. Demikianlah format negara mandiri secara politik dan ekonomi, tidak bergantung pada negara lain.

Berutangnya negara dalam sistem islam tidak perlu dilakukan, kecuali menjadi pilihan terakhir untuk perkara-perkara urgen dan jika ditangguhkan akan dikhawatirkan terjadi kerusakan dan kebinasaan. Untuk perkara yang bisa ditangguhkan, maka harus menunggu hingga negara memiliki dana.

Bukti penerapan sistem Islam oleh negara sudah pernah ada dan pernah eksis selama kurang lebih 1 tahun dimana negara mengatur utang yang dilakukan hanya untuk perkara-perkara urgen dan jika ditangguhkan akan dikhawatirkan terjadi kerusakan dan kebinasaan bagi masyarakat seperti pembangunan jembatan di daerah terisolir, perairan pertanian, layanan kesehatan dan sejenisnya. Sementara untuk hal-hal yang bisa ditunda maka harus menunggu hingga negara memiliki kelebihan dana. Aturan ini membuat negara tidak mudah melakukan dan menambah utang karena sesungguhnya utang adalah pilihan jalan terakhir jika memang kondisinya sudah darurat.

Dalam Islam, sistem pemasukan negara berbasis Baitul Mal dengan memiliki tiga pos pemasukan yaitu pertama pos kepemilikan negara yang bersumber pada pemasukan tetap seperti ghonimah, Anfal, Fa’i, khumus, dan kharaj. Namun ada juga pemasukan tidak tetap yang berasal dari doribah atau pajak yang hanya akan diberlakukan secara temporer/sementara dari kaum muslimin yang memiliki harta lebih setelah kebutuhannya terpenuhi yang pemungutannya hanya dilakukan ketika kas Baitul Mal memang benar-benar dalam keadaan kurang atau kosong sampai negara kembali mendapatkan anggaran cukup. Kedua pos kepemilikan umum yang bersumber dari hasil pengelolaan sumber daya alam tambang, hutan dan perairan. Kedua pos ini lah yang menjadi sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur publik. Ketiga pos zakat yang hanya khusus dikeluarkan untuk delapan asnaf yang berhak menerimanya.

Masing-masing pos sudah memiliki alur pengeluaran yang tidak boleh saling ditukar misalnya untuk membangun infrastruktur publik negara tidak boleh mengambil anggaran dari harta zakat. Mekanisme seperti ini membuat keuangan negara bisa surplus sebagaimana pada masa Khilafah Harun Arrasyid. Sesungguhnya, Islam memiliki mekanisme keuangan negara yang stabil dan kokoh bahkan dalam keadaan normal mekanisme tersebut mampu membuat keuangan negara menjadi surplus. Keuangan negara juga akan stabil dan mandiri menjadi negara adidaya yang disegani dunia. Wallahu’alam [NJ]

 

Tags: APBNNurma Junia
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA