Rabu, Juli 2, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

PPN Naik 12%, Rakyat Makin Menderita

by Mata Banua
20 Maret 2024
in Opini
0

Oleh : Al Muslimah Prihatin (Ibu Rumah Tangga)

Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 % akan diberlakukan pada tahun 2025. Kebijakan ini dipastikan berlaku tahun depan dan tidak ada penundaan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Airlangga menyatakan bahwa kenaikan ini diberlakukan karena mayoritas masyarakat Indonesia telah menjatuhkan pilihannya kepada (program) keberlanjutan. Ini artinya kebijakan pada masa pemerintahan sebelumnya terus dilanjutkan oleh pemerintahan terpilih selanjutnya. Gejolak kenaikan pajak inipun akan terus membayangi. Sebagaimana yang tertuang dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), bahwa tariff PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan yang paling tinggi 15%.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\2 Juli 2025\8\8\master opini.jpg

Transformasi Polri dan Filosofi Kaizen

1 Juli 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Polri dan Nilai Ekonomi Keamanan

1 Juli 2025
Load More

Penyesuaian tarif pajak yang berlaku pada tahun 2022 menjadi 11% saja sudah memberatkan bagi kehidupan rakyat banyak. Masalahnya, jumlah barang atau jasa yang dikenai PPN sangatlah banyak, diantaranya aset kripto, layanan fintech, termasuk transaksi pinjol, beli mobil bekas, penyaluran LPG nonsubsidi, akomodasi perjalanan keagamaan, seperti perjalanan haji dan umrah, atau wisata ke destinasi lain, tarif paket internet, layanan perbankan, harga barang di pasar modern dan layanan TV kabel dan internet. Konsumen akhir atau pembeli menjadi pihak yang menanggung beban pajak (PPN) dalam transaksi sehari-hari karena pajak pertambahan nilai (PPN) ini adalah pungutan yang dikenakan dalam setiap proses produksi maupun distribusi. Konsumen bisa melihatnya pada lembaran struk belanja, di sana tertulis PPN atau VAT (value added tax, Bahasa Inggris). (Online Pajak, 29-8-2023).

Kenaikan ini jelas akan berimbas pada kenaikan harga barang, yaitu barang yang biasa dikonsumsi masyarakat yang tersedia di layanan pasar-pasar modern, layanan kuota dan paket internet yang pada saat ini menjadi kebutuhan vital rakyat. Apalagi berbagai macam layanan publik saat ini lekat dengan akses digital.

Kenaikan pajak ini adalah satu keniscayaan dalam negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme dimana pendapatan utama negara adalah dari Pajak. Saat ini 80% pendapatan negara ini adalah dari sektor pajak. Bertambahnya kebutuhan dan jumlah utang dan ribanya yang terus membengkak hingga 8000 trilyun rupiah, mendorong negara mendongkrak pendapatan utamanya yaitu dari sektor pajak. Alhasil, kenaikan tarif pajak adalah kebijakan yang niscaya terjadi, siapa pun pemimpinnya. Setiap negara yang memakai sistem ini pasti memungut pajak dari rakyat. Bahkan, rakyat akan dikejar pajak hingga pemasukan negara bertambah. Hal ini juga berlaku bagi Indonesia yang notabene menerapkan sistem kapitalisme.

Pajak sebagai sumber utama pendapatan negara adalah kebijakan yang tidak tepat jika ditinjau dari sudut pandang politik Islam. Sejatinya negara memiliki berbagai sumber yang dapat dijadikan sebagai sumber penghasilan, di antaranya adalah pengelolaan SDA untuk kepentingan umat, yang juga dapat menjadi salah satu sumber pemasukan harta negara. Sistem ekonomi Islam memiliki berbagai sumber pendapatan negara, yang akan cukup untuk mewujudkan kehidupan yang Sejahtera untuk rakyatnya. Karena keberhasilan system ini dijamin oleh Sang pembuatnya, yaitu pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan.

Pendapatan negara penganut sistem ekonomi kapitalisme selain dari sektor luar pajak dan utang sebagai sumber penerimaan, adalah pemasukan dari retribusi (pungutan/semacam pajak yang berlaku di tingkat daerah), keuntungan BUMN, pencetakan uang kertas, dan hadiah (hibah). Secara substansi, pajak dalam sistem kapitalisme diterapkan pada perorangan, badan usaha, dan lembaga-lembaga masyarakat, tanah dan bangunan, barang produksi, perdagangan dan jasa sehingga masyarakat dibebankan pajak secara berganda, semisal pajak penghasilan, pertambahan nilai, pajak bumi bangunan. Kebijakan menaikkan pajak akan membebani rakyat, tetapi menutupi defisit anggaran negara. Menurunkan tarif pajak akan mengurang beban rakyat, tetapi negara mengalami defisit keuangan. Oleh karena itu, langkah logis yang diambil oleh negara pengemban kapitalisme adalah dengan berutang. Negara juga melakukan pengurangan dan penghapusan subsidi, pengurangan anggaran untuk rakyat, serta privatisasi BUMN dalam rangka liberalisasi ekonomi.

Negara yang memiliki utang hingga ribuan triliun seperti Indonesia sulit untuk tidak berutang. Negeri ini kaya dengan sumber daya alam, tetapi tersia-siakan karena diobral untuk kesejahteraan negara asing dan aseng pemberi utang, dalam lingkaran kapitalisasi sesuai kepentingan pemilik modal. Saat negara kehilangan pendapatan, pajak pun diberlakukan meski harus menambah beban rakyat.

Dalam sistem Islam, sumber penerimaan negara yang masuk ke baitulmal (kas negara) diperoleh dari fai (anfal, ganimah, khumus), jizyah, kharaj, ‘usyur, (5) harta milik umum yang dilindungi negara, harta milik negara yang berupa tanah, bangunan, sarana-sara umum, dan pendapatannya, usyur, harta hasil kecurangan penguasa dan pegawai negara, harta dari hasil pekerjaan yang tidak dibolehkah syariah, dan harta hasil denda, seperlima(khumus) dari harta terpendam (Rikaz) dan barang tambang, harta orang yang murtad, zakat dan pajak insidental yang dipungut hanya dari orang kaya.

Pajak yang diberlakukan dalam baitulmal sangat berbeda dengan sistem pajak hari ini, baik ditinjau dari aspek subjek pajak, objek pajak, maupun tata cara pemungutannya. Kalaupun ada kesamaan penggunaaan istilah pajak, ini karena sama-sama dipungut dari negara semata.

Pajak dalam sistem Islam dikenal dengan istilah dharibah. Ia adalah jalan terakhir yang diambil apabila baitulmal benar-benar kosong dan sudah tidak mampu memenuhi kewajibannya. Dalam kondisi ini, pajak diberlakukan atas kaum muslim saja. Pengenaan pajak dilakukan dari sisa nafkah (setelah dikurangi kebutuhan hidup), dari harta orang-orang kaya, yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya yang makruf.

Pajak dipungut berdasarkan kebutuhan baitulmal dalam memenuhi kewajibannya. Pajak tidak boleh dipungut melebihi kebutuhan sebagaimana mestinya. Apabila kebutuhan baitulmal sudah terpenuhi dan sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, pungutan pajak harus dihentikan.

Dalam Islam, pajak diterapkan atas individu (jizyah dan pajak atas kaum muslim), tanah kharaj, dan cukai atas barang impor dari negara yang mengenakan cukai terhadap pedagang kaum muslim. Alhasil, tidak memberikan beban ekonomi yang berat bagi masyarakat.

Artinya, pajak dalam Islam hanya diterapkan secara temporal, bukan menjadi agenda rutin sebagaimana yang kita rasakan hari ini. Dalam sistem ekonomi Islam, masih ada dua sumber penerimaan negara, yaitu bagian kepemilikan umum dan sedekah. Syekh An-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan umum itu adalah sebagai berikut.

Pertama, fasilitas/sarana umum yang jika tidak ada pada suatu negeri/komunitas akan menyebabkan banyak orang bersengketa untuk mencarinya, seperti air, padang rumput, dan jalan-jalan umum.

Kedua, barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas (sangat besar), seperti tambang minyak dan gas bumi, emas dan logam mulia lainnya, timah, besi, uranium, batu bara, dan lain-lainnya.

Ketiga, sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki individu, seperti laut, sungai, dan danau.

Sumber penerimaan dari kepemilikan umum inilah yang berpotensi besar memberikan pendapatan terbesar bagi negara. Negara mengelola kepemilikan ini secara mandiri. Menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pemasukan negara hanya akan memperburuk kondisi ekonomi negara. Berpotensi pula terhadap peningkatan angka kemiskinan.

Sudah saatnya negeri ini berbenah secara sistemis. Dengan penerapan sistem Islam secara kafah, kebijakan negara akan mengacu pada hukum-hukum syariat sehingga negara tidak akan bingung mencari sumber pendapatan negara. Negara juga tidak akan mudah menjerat rakyat dengan pajak. Wallahualam.

 

Tags: Airlangga HartartoAl Muslimah Prihatinibu rumah tanggaMenteri Koordinator Bidang Perekonomian
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA