Rabu, Juli 2, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Sejarah THR, Rezeki Tambahan Buruh dan PNS Tiap Jelang Lebaran

by Mata Banua
18 Maret 2024
in Ramadhan
0

 

Artikel Lainnya

Bukber dengan Pangdam VI

Bukber dengan Pangdam VI

13 Maret 2025
Hasnur Mulai Safari Ramadhan

Hasnur Mulai Safari Ramadhan

12 Maret 2025
Load More

SEBENARNYA dunia kerja Indonesia tidak mengenal adanya THR atau upah tambahan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Namun, pada 1952, Perdana Menteri Indonesia ke-6 Soe­kiman Wirjosandjojo menggagas program pemberian persekot untuk pegawai negeri sipil (PNS), yang saat itu masih dinamakan pamong praja.

Soekiman berasal dari Partai Masyumi, yang merupakan partai politik Islam terbesar di Indo­nesia selama era Demokrasi Liberal. Meski Kabinet So­e­kiman ini berumur pendek, yakni hanya satu tahun (1951-1952), ia mewariskan beberapa beberapa program kesejahteraan bagi PNS, termasuk persekot lebaran ini.

Tujuannya, agar para PNS mendukung kebijakan dan program-program pemerintah. Awalnya, konsep THR untuk PNS ini berbentuk persekot atau pinjaman di muka. Nantinya, para PNS tersebut harus men­gem­balikannya dalam bentuk pemotongan gaji.

Kebijakan pemberian pers­­e­kot lebaran ini terus dilakukan pasca-Kabinet Soekiman. Bah­kan, pada masa Perdana Menteri ke-8 Indonesia Ali Sastroa­midjojo, kebijakan persekot lebaran diperkuat melalui Per­a­tu­ran Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raya kepada Pegawai Negeri.

Saat itu, besaran uang yang diterima pun bervariasi, yakni Rp 125 hingga Rp 200 per orang, dan dicairkan setiap akhir bulan Ramadan atau menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Namun, sesuai sasarannya, pemberian persekot ini hanya berlaku bagi PNS, bukan pekerja swasta. Oleh karena itu, dalam perjalannya kebijakan ini mendapat banyak kritik, terutama dari kaum buruh.

Pasalnya, pemberian THR hanya kepada PNS dinilai sebagai kebijakan yang tidak adil. Pemberian yang dibatasi pada PNS ini menimbulkan protes, terutama dari kaum buruh.

Mengutip www.spkep-spsi.­org, tuntutan agar penerima persekot lebaran diperluas tidak hanya di kalangan PNS semakin meningkat. Bahkan, pada 13 Februari 1952 para buruh melakukan mogok kerja, sebagai protes dan menntut agar peme­rintah memperluas subjek pem­berian persekot lebaran ini.

Sepanjang periode 1951-1952, tercatat terjadi 88 pemo­gokan buruh dan kebanyakan pemogokan itu terjadi di masa-masa menjelang Hari Raya Idul Fitri. Awalnya, peme­rintah saat itu tidak menga­bul­­kan tuntutan para pekerja/buruh.

Namun, selama dua tahun salah satu organisasi buruh terbesar saat itu, Sentral Orga­nisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) gencar menyerukan kritik dan tuntutan, agar pem­berian persekot lebaran diperluas. Perjuangan kaum pekerja/buruh ini akhirnya membuahkan hasil dan memun­culkan istilah “Hadiah Lebaran”.

Pada 1954, Menteri Perbu­ruhan Indonesia S.M. Abidin mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 3676/54 mengenai Ha­diah Lebaran. Dalam SE ini, dikatakan setiap perusahaan memberikan “Hadiah Lebaran” untuk buruh sebesar seper­duabelas dari upah, sekurang-kurangnya Rp 50 dan sebesar-besarnya Rp 300.

Akan tetapi, karena hanya berupa imbauan, surat edaran ini belum memberi jaminan “Ha­diah Lebaran” bagi pekerja/buruh. Oleh karena itu, para buruh, yang dipimpin SOBSI terus menyuarakan tuntutan kepada pemerintah. Tuntutan para buruh terkait “Hadiah Lebaran” sebagai hal yang wajib baru didengar pemerintah pada era Demokrasi Terpimpin, saat Menteri Perburuhan dijabat oleh Ahem Erningpraja.

Ahem Erningpraja menge­luarkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1/1961, yang isinya menyebutkan bahwa “Hadiah Lebaran” wajib diba­yar­kan dan menjadi hak buruh dengan masa kerja sekurang-kurangnya tiga bulan. Aturan ini masih terus diadopsi hingga era pemerintahan Orde Baru. Baru pada 1994 istilah THR diper­ke­nal­kan, disertai aturan mengenai skema pemberiannya. ant/mb06

 

ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA