SEBENARNYA dunia kerja Indonesia tidak mengenal adanya THR atau upah tambahan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Namun, pada 1952, Perdana Menteri Indonesia ke-6 Soekiman Wirjosandjojo menggagas program pemberian persekot untuk pegawai negeri sipil (PNS), yang saat itu masih dinamakan pamong praja.
Soekiman berasal dari Partai Masyumi, yang merupakan partai politik Islam terbesar di Indonesia selama era Demokrasi Liberal. Meski Kabinet Soekiman ini berumur pendek, yakni hanya satu tahun (1951-1952), ia mewariskan beberapa beberapa program kesejahteraan bagi PNS, termasuk persekot lebaran ini.
Tujuannya, agar para PNS mendukung kebijakan dan program-program pemerintah. Awalnya, konsep THR untuk PNS ini berbentuk persekot atau pinjaman di muka. Nantinya, para PNS tersebut harus mengembalikannya dalam bentuk pemotongan gaji.
Kebijakan pemberian persekot lebaran ini terus dilakukan pasca-Kabinet Soekiman. Bahkan, pada masa Perdana Menteri ke-8 Indonesia Ali Sastroamidjojo, kebijakan persekot lebaran diperkuat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raya kepada Pegawai Negeri.
Saat itu, besaran uang yang diterima pun bervariasi, yakni Rp 125 hingga Rp 200 per orang, dan dicairkan setiap akhir bulan Ramadan atau menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Namun, sesuai sasarannya, pemberian persekot ini hanya berlaku bagi PNS, bukan pekerja swasta. Oleh karena itu, dalam perjalannya kebijakan ini mendapat banyak kritik, terutama dari kaum buruh.
Pasalnya, pemberian THR hanya kepada PNS dinilai sebagai kebijakan yang tidak adil. Pemberian yang dibatasi pada PNS ini menimbulkan protes, terutama dari kaum buruh.
Mengutip www.spkep-spsi.org, tuntutan agar penerima persekot lebaran diperluas tidak hanya di kalangan PNS semakin meningkat. Bahkan, pada 13 Februari 1952 para buruh melakukan mogok kerja, sebagai protes dan menntut agar pemerintah memperluas subjek pemberian persekot lebaran ini.
Sepanjang periode 1951-1952, tercatat terjadi 88 pemogokan buruh dan kebanyakan pemogokan itu terjadi di masa-masa menjelang Hari Raya Idul Fitri. Awalnya, pemerintah saat itu tidak mengabulkan tuntutan para pekerja/buruh.
Namun, selama dua tahun salah satu organisasi buruh terbesar saat itu, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) gencar menyerukan kritik dan tuntutan, agar pemberian persekot lebaran diperluas. Perjuangan kaum pekerja/buruh ini akhirnya membuahkan hasil dan memunculkan istilah “Hadiah Lebaran”.
Pada 1954, Menteri Perburuhan Indonesia S.M. Abidin mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 3676/54 mengenai Hadiah Lebaran. Dalam SE ini, dikatakan setiap perusahaan memberikan “Hadiah Lebaran” untuk buruh sebesar seperduabelas dari upah, sekurang-kurangnya Rp 50 dan sebesar-besarnya Rp 300.
Akan tetapi, karena hanya berupa imbauan, surat edaran ini belum memberi jaminan “Hadiah Lebaran” bagi pekerja/buruh. Oleh karena itu, para buruh, yang dipimpin SOBSI terus menyuarakan tuntutan kepada pemerintah. Tuntutan para buruh terkait “Hadiah Lebaran” sebagai hal yang wajib baru didengar pemerintah pada era Demokrasi Terpimpin, saat Menteri Perburuhan dijabat oleh Ahem Erningpraja.
Ahem Erningpraja mengeluarkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1/1961, yang isinya menyebutkan bahwa “Hadiah Lebaran” wajib dibayarkan dan menjadi hak buruh dengan masa kerja sekurang-kurangnya tiga bulan. Aturan ini masih terus diadopsi hingga era pemerintahan Orde Baru. Baru pada 1994 istilah THR diperkenalkan, disertai aturan mengenai skema pemberiannya. ant/mb06