Kamis, Juli 3, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Gagal Nyaleg, Terancam Depresi

by Mata Banua
13 Maret 2024
in Opini
0

Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I (Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja)

Kekalahan sejumlah caleg pada Pileg berdampak pada tekanan pada Timses. Di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat dua timses mengalami tekanan hebat hingga harus mengambil kembali amplop yang sebelumnya dibagikan kepada warga pada Sabtu sore. Sementara itu oknum tim sukses salah satu caleg di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat melempar rumah tim sukses caleg lawan karena diduga melakukan kecurangan. Dua orang timses caleg di Kabupaten Cirebon yang datang di pelataran Padepokan Al Busthomi pada Sabtu sore.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\4 Juli 2025\8\master opini.jpg

Keserentakan Pemilu dan Restorasi Politik Lokal

3 Juli 2025
D:\2025\Juli 2025\4 Juli 2025\8\foto opini 1.jpg

Rencana strategis Sistem Kapitalisme-Harga Beras Meroket, Stok Melimpah?

3 Juli 2025
Load More

Timses salah satu caleg ini Depresi usai calonnya yang digadang-gadang meraih suara tinggi justru keok dan anjlok. Bahkan dua kali pemilihan ini ia gagal mengantarkan calonnya duduk di kursi legislatif tingkat kabupaten. Mursyid mengaku telah berupaya maksimal memenangkan calegnya dengan melakukan sosialisasi hingga membagikan sembako dan juga uang. Namun rupanya Dewi Fortuna tak berpihak pada dukungan yang memenangkan calon anggota dewannya.

Ia pun putus asa karena tekanan kepercayaan yang kembali gagal dilakukan di tahun politik ini. Serupa dengan Mursyid Ibrahim juga mengalami hal serupa. Ia bahkan mengambil kembali amplop serangan fajar yang sebelumnya telah dibagikan kepada warga di daerah pemilihan 7 Kabupaten Cirebon. Ia kesal tukaran uang untuk memenangkan calon justru tak berbanding lurus dengan raihan suara dapilnya. Pimpinan Padepokan Al Busthomi sudah beberapa kali didatangi timses yang mengalami stres karena tekanan kekalahan calegnya.

Ia pun berusaha untuk menasihati dan juga meminta untuk lebih mendekatkan diri kepada sang Pencipta. di samping itu ia pun mencoba beberapa cara diantaranya terapi mandi malam hari menjelang subuh hingga mengajak sholat dan juga mengaji. sejauh ini sejumlah tim sukses yang datang belum termasuk dalam kategori depresi berat atau tinggi. Namun demikian pihaknya tetap melakukan terapi agar pemikiran yang kalut dari timses tersebut bisa kembali tenang dan juga menerima keadaan.

Fenomena depresi yang terjadi pada orang-orang yang gagal nyaleg disebabkan pandangan mereka yang keliru terhadap jabatan. Mereka memandang jabatan ala kapitalisme, yaitu tiket emas untuk memperoleh keuntungan materi. Demi memperoleh jabatan, banyak orang harus bersaing ketat dalam kontestasi. Demi memperoleh suara rakyat sebagai tiket menuju gedung dewan, para caleg rela merogoh kocek dalam-dalam. Ada di antara mereka yang menjual tanah, rumah, mobil, perhiasan, dll., bahkan ada yang sampai berutang karena sudah kehabisan modal.

Uang tersebut mereka gunakan untuk membiayai timses, mencetak alat peraga kampanye, dan yang paling banyak dananya adalah untuk membeli suara rakyat dengan memberikan “amplop serangan fajar” menjelang pencoblosan, juga pemberian bantuan fisik seperti pembangunan jalan, dan lainnya. Ketika semua hal tersebut sudah mereka lakukan demi mendapatkan jabatan dan ternyata gagal, dunia seolah hancur, jadilah mereka mengalami depresi. Inilah gambaran orang-orang yang gila jabatan di dalam sistem kapitalisme.

Ketika gagal memperoleh jabatan, mereka bisa menjadi benar-benar gila. Fenomena caleg yang habis-habisan kehilangan harta demi mencalonkan diri juga menunjukkan bahwa pemilu di dalam sistem demokrasi merupakan proses pemilihan yang berbiaya tinggi. Segala sesuatu dalam pemilu butuh biaya besar, tidak ada yang gratis, terutama adalah dukungan suara rakyat. Rakyat paham bahwa di dalam demokrasi kapitalisme, para pejabat akan mendadak kaya karena jabatannya.

Oleh karenanya, mereka menganggap wajar jika rakyat juga berhak mendapatkan uang atas suara yang diberikannya. Meski sebenarnya jumlah “amplop” yang diterima rakyat itu sangat kecil jika dibandingkan dengan kenaikan harta pejabat yang drastis. Demikianlah, kesalahan pandangan terhadap jabatan telah mengakar di tengah masyarakat. Hal ini terjadi karena prinsip sekularisme yang telah menancap kuat di tengah masyarakat. Prinsip Islam tentang jabatan pun ditinggalkan.

Islam memiliki prinsip bahwa jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.. Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)?” Lalu Rasulullah saw. memukulkan tangannya di bahuku dan bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim).

Tersebab jabatan adalah amanah, orang yang memegang jabatan sejatinya sedang memikul amanah berat yang harus ia pertanggungjawabkan kesesuaiannya dengan syariat Allah Taala. Jika ia berlaku adil, yakni menetapi syariat Allah Swt., ia akan beruntung. Jika berlaku zalim, kelak ia akan menyesal di akhirat. Itulah sebabnya ketakwaan menjadi syarat mutlak bagi para pejabat di dalam sistem Islam, yakni Khilafah. Hanya orang bertakwa yang boleh menjadi pemimpin dan pelaksana urusan umat. Sedangkan orang-orang zalim dan fasik tidak boleh menjadi pejabat.

Di dalam Khilafah, profil penguasanya adalah orang-orang yang takut pada Allah Swt. sehingga tidak akan mencari keuntungan pribadi di dalam jabatannya. Profil inilah yang tampak pada diri Rasulullah (saw.). Meski menjadi penguasa yang agung, kehidupan beliau sederhana. Sedangkan umumnya penguasa saat itu memiliki istana megah, pakaian mewah, dan harta berlimpah, tetap beliau tetap zuhud.

Profil penguasa yang tidak tamak terhadap jabatan ini juga diteruskan oleh khulafaurasyidin. Sudah masyhur di tengah kita tentang profil Umar bin Khaththab yang bajunya tambalan dan tidur di bawah pohon kurma, sampai-sampai membuat heran utusan dari negara lain yang hendak menemuinya. Begitu pula profil Umar bin Abdul Aziz yang menyerahkan hartanya, termasuk kalung istrinya, ke baitulmal. Sedangkan beliau hidup sederhana.

Profil penguasa yang demikian merupakan hasil bentukan sistem, yaitu Islam. Oleh karenanya, profil penguasa seperti Rasulullah saw., Umar bin Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz tidak akan kita temui dalam sistem demokrasi kapitalisme. Justru model pejabat yang ada hari ini adalah yang gila jabatan. Sistem Islam memiliki mekanisme pemilihan pemimpin yang khas sehingga menghasilkan pemimpin yang adil. Dari sisi syarat penguasa saja sudah tampak kekhasannya.

Syarat penguasa di dalam Islam adalah laki-laki, balig, berakal, muslim, merdeka, adil, dan mampu. Syarat adil ini maknanya adalah tidak fasik, artinya sang penguasa tersebut haruslah orang yang bertakwa. Dengan demikian, orang yang gila jabatan tidak akan memenuhi kriteria adil tersebut. Terkait pemilihan pemimpin, syarak telah menentukan bahwa rakyat memiliki wewenang untuk memilih pemimpin negara (khalifah) maupun perwakilan rakyat yang duduk di Majelis Umat (lembaga berisi wakil rakyat yang bertugas memberi nasihat pada penguasa, tidak memiliki fungsi legislasi).

Namun, mekanisme pemilu di dalam Islam bersifat sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi, dan penuh kejujuran. Tidak ada janji-janji politik yang penuh pencitraan dan kepalsuan sebagaimana hari ini. Oleh karenanya, tidak ada praktik politik uang di dalam pemilu di sistem Islam. Pemilihan berlangsung secara adil, sesuai syariat. Pemilihan yang adil ini didukung oleh para calon yang berkepribadian Islam. Mereka adalah orang-orang yang bertakwa sehingga memandang jabatan adalah amanah.

Sedangkan keterlibatan mereka di dalam pemilihan pemimpin adalah semata mengharap rida Allah semata. Yang terbayang setelah terpilih adalah beratnya amanah yang harus dipikul, bukan keuntungan materi.

 

 

Tags: DepresiNor Faizah RahmiNyalegPraktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA