
Peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 8 Februari 2024, pada mulanya adalah safari rohani yang ditawarkan oleh Tuhan demi melihat kegundahan jiwa Nabi Muhammad SAW atas kepergian orang-orang yang beliau cintai, mulai dari wafatnya Khadijah, istri beliau, sampai kepada paman tercinta yang mengasuhnya sedari kecil, Abu Thalib. Walau demikian, peristiwa ini tercatat sebagai suatu peristiwa yang tidak hanya memiliki nilai solutif semata atas problem pribadi yang dialami oleh Nabi, melainkan dari peristiwa inilah Nabi secara langsung dipertemukan dengan Tuhan untuk kemudian menerima perintah shalat secara langsung. Tidak hanya itu, peristiwa Isra’ sendiri menjadi pintu utama bagi dibukanya dimensi keagamaan dalam Islam yang sekaligus menegaskan agama ini sebagai agama yang bersifat monoteistik.
Dalam studi Al-quran dijelaskan bahwa ayat di atas adalah penegasan Allah SWT yang bersifat membenarkan atas peristiwa Isra’ dan Mi’raj-nya Nabi Muhammad SAW setelah muncul beberapa keraguan bahkan pendustaan yang dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy terhadap diri Nabi (asbab an-nuzul). Sehingga, peristiwa tersebut secara tidak langsung mengisyaratkan arti pentingnya suatu kejadian yang memiliki sekian banyak arti untuk ditafsirkan.
Persoalan Sosial
Sepanjang sejarah manusia masalah sosial hampir dikatakan setara dengan perbincangan di seputar masalah agama. Kenyataan demikian merupakan akibat logis dari keharusan agama agar dalam peranannya memiliki perhatian penuh terhadap persoalan sosial. Akan tetapi, memrioritaskan kerja agama tanpa melibatkan kesungguhan untuk meningkatkan kualitas kepribadian akan meangakibatkan posisi agama berada pada taraf yang tidak berimbang. Dengan kata lain, penguatan spiritualitas dalam agama adalah hal yang tidak bisa diabaikan keberadaannya.
Dalam Islam, pembicaraan mengenai aspek spiritualitas sering kali dianalogikan dengan perbincangan mengenai pola relasi antara seseorang dengan Tuhannya. Dalam hal ini suasana perjumpaan antara makhluk dengan Khaliq-nya adalah hal yang paling urgen dan paling banyak diharapkan. Bahkan tidak jarang di antara mereka merasa enggan untuk dipisahkan manakala perjumpaan antara dirinya dengan Tuhannya sudah terjalin walau harus mengorbankan nyawa sekalipun. Demikian yang dilakukan oleh kaum sufi.
Bagaimana dengan konteks Muhammad? Beliau yang sudah mengalami perjumpaan dengan Tuhan kenapa harus bersedia kembali lagi ke bumi? Sir Muhammad Iqbal, filosof sekaligus penyair dari Pakistan pernah berkata, “Seandainya aku Muhammad yang di-Isra’ Mi’raj-kan itu, maka demi Allah aku tidak akan mau dikembalikan lagi ke bumi.”
Tugas Kemanusiaan
Dalam pandangan penulis, kembalinya Muhammad ke bumi adalah karena ada tugas kemanusiaan yang lebih penting dari sekadar kepentingan pribadi. Beliau tidak akan merasa tenang sendiri secara spiritual sementara spiritualitas umatnya amatlah mengawatirkan. Karena itu, misi kemanusiaan untuk mengupayakan peningkatan spiritualitas sosial yang limbung adalah salah satu misi dari perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad. Lebih dari sekadar safari rohani, perjalanan pulangnya Nabi dalam peristiwa ini juga menjadi semacam catatan bahwa problematika sosial dalam segala lini kehidupan adalah hal terpenting untuk diperhatikan.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim, dewasa ini dihadapkan pada banyak persoalan yang meminta perhatian lebih dari berbagai kalangan. Terlebih, pada masyarakat Muslim. Kenyataan yang dihadapi ini menjadi semacam sarana untuk menerapkan berbagai pandangan agama yang isolutif dan transformatif bagi sekian persoalan tersebut sebagaimana perhatian yang pernah diberikan oleh Nabi Muhammad pasca peristiwa Isra’ Mi’raj.
Kecenderungan yang selama ini dipahami oleh peradaban modern adalah kenyataan pemahaman yang didasarkan pada satu sudut pandang yang memfokuskan diri pada aspek material semata. Dimensi spiritual yang selama pertumbuhannya terus mengiringi perkembangan manusia sama sekali menjadi terlupakan. Konsekuensi logis dari itu semua adalah suasana keterasingan yang terus menerus menjejali sepak terjang manusia. Dalam keadaan seseorang tidak lagi memiliki akar spiritualitas yang kuat, segala sesuatu akan dihadapi dengan perhitungan untung rugi. Di tengah situasi seperti ini akan terasa sulit menemukan sosok-sosok penganut agama yang begitu santun terhadap sesama maupun alam lingkungan sekitarnya. Akibat selanjutnya adalah budaya materialistik menjadi kehilangan makna transendentalnya.
Refleksi Teologis
Momentum Isra’ Mi’raj dengan demikian merupakan refleksi teologis untuk kembali memanusiakan manusia (humanisasi) dengan cara mengembalikan kesadarannya pada aspek kefitrahannya yang sekaligus memuat nilai-nilai ke-Tuhanan atau spiritualitas. Walaupun demikian penyadaran akan aktualisasi spiritualitas memerlukan pemahaman sekaligus penguasaan terhadap berbagai sarana material agar dalam perjalanannya manusia tidak lantas bersikap ekstrem terhadap dimensi bendawi yang memang tidak bisa dipisahkan dari dirinya sendiri. Untuk alasan demikian nilai keber-Islaman seseorang harus didasarkan pada pemahaman bahwa Islam selalu mengajarkan keimanan seseorang diukur dari kerelaannya untuk memberikan yang terbaik bagi Tuhan, diri dan sesama serta lingkungan sekitarnya.
Sama seperti halnya Nabi Muhammad, peristiwa Isra’ beliau merupakan cerminan dari martabat tertinggi yang pernah diberikan Tuhan kepada hamba-Nya. Dan, untuk sampai pada taraf demikian tidak cukup hanya membekali diri dengan bekal material semata. Lebih dari itu, membangun kualitas kepribadian secara dinamis berdasarkan penghayatan mendalam adalah salah satu prasyarat menciptakan peradaban kemanusiaan yang lebih humanis-religius.
Dalam dinamika global, arus modernisasi yang menciptakan kemajuan demi kemajuan dalam hal kebendaan justru banyak melahirkan rasa keterasingan bagi banyak orang. Di tengah kegamangan manusia atas pencarian hakikat dirinya, agama menjadi sedemikian penting untuk ditengok kembali. Namun komitmen untuk kembali ke pangkuan agama haruslah disertai keinginan untuk tidak lagi melakukan kesalahan dengan semata mengandalkan aspek formalitasnya belaka.
Refleksi Isra’ Mi’raj kali ini haruslah kembali ditafsirkan sebagai medium pencerahan dalam keberagamaan kita agar nuansa keimanan dapat menjadi penyebab bagi Mi’raj-nya nilai-nilai kemanusiaan kepada martabatnya sebagai hamba yang sekaligus khalifah-Nya.