Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I (Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Remaja)
Sering terjadinya tawuran pelajar tentu membuat kita miris. Jika dahulu remaja nakal identik dengan menjahili teman, sekarang mewujud dalam perundungan hingga memakan korban jiwa. Tawuran terjadi bermula dari hal sepele, seperti saling mengolok di media sosial, tidak terima ditegur sebaya, hingga adu mulut dan unjuk kekuatan. Dari konflik kecil, membesarlah menjadi ketegangan kelompok. Kini celaan bisa berubah menjadi pembunuhan. Jika dahulu remaja nakal memukul seorang teman, hari ini bisa bergeser menjadi tawuran dan pengeroyokan yang berujung kematian.
Terjadi tawuran dengan berbagai tingkat kekerasan, pembegalan, kekerasan seksual, bahkan membunuh korban sebaya merupakan wajah buram pendidikan di bawah asuhan sistem sekuler. Mirisnya, budaya tawuran ini seolah diwariskan dari generasi ke generasi. Ada “regenerasi” dari alumni ke siswa baru sehingga tawuran pelajar layaknya rantai yang sulit diputuskan. Tawuran antarpelajar sepertinya menjadi “budaya” baru bagi remaja di negeri ini.
Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kekerasan pelajar ada dua jenis, yaitu pengeroyokan dan tawuran. Pengeroyokan biasanya terjadi pemukulan dengan tangan kosong oleh sekelompok pelajar menyasar satu korban yang mana kedua belah pihak saling mengenal. Sementara itu, tawuran pelajar umumnya terjadi antara sekelompok anak sekolah menghadapi sekelompok anak sekolah lainnya dan mereka kerap membawa senjata tajam.
Ketika para pelajar itu berangkat dari rumah, berpamitan ke orang tuanya untuk sekolah, menuntut ilmu agar menjadi orang yang bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat. Namun, bukannya belajar dengan rajin dan menyimak penjelasan guru, mereka justru melakukan tawuran. Tingkah mereka sudah seperti gangster di film-film. Dengan senjata tajam, mereka saling serang. Korban pun berjatuhan, bahkan nyawa pun sampai hilang.
Ini hanya sekelumit fakta tawuran yang sudah cukup membuat kita resah dengan nasib generasi hari ini. Dunia remaja yang seharusnya menatap masa depan dengan penuh percaya diri dan optimisme tinggi justru di ambang kehancuran lantaran lebih dekat dengan aksi kekerasan, senjata tajam, hingga kematian.
Maraknya kriminalitas di kalangan pelajar tentu memprihatinkan. Terdapat banyak faktor yang membuat remaja menjadi pelaku tindak kejahatan. Penyebab faktor pemicu tawuran pelajar disebabkan dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari diri remaja berupa faktor-faktor psikologis sebagai manifestasi dari kondisi internal remaja dalam menanggapi nilai-nilai di sekitarnya. Faktor internal antara lain sebagai berikut:
Pertama, Krisis identitas. Masa remaja adalah masa pencarian identitas dan eksistensi diri. Remaja yang hanya tahu tujuan hidup untuk mencari kesenangan dan kebahagiaan materi akan terbentuk menjadi generasi hedonis dan permisif. Pada umumnya, remaja seperti kehilangan arah dan jati dirinya sebagai hamba Allah Taala. Sistem sekulerlah yang mengikis identitas tersebut. Remaja menjelma menjadi pribadi yang sekadar mengikuti tren dan budaya yang berkebalikan dengan ajaran Islam.
Kebanyakan remaja tidak begitu mengenal agamanya sendiri sehingga penafsirannya tentang kehidupan sekadar hanya untuk having fun, bergaya hidup hedonis liberal, dan cenderung menabrak halal-haram demi meraih kepuasan materi. Setiap remaja pasti ingin mengaktualisasi dirinya di tengah masyarakat agar keberadaannya diakui. Eksistensi diri seperti ini jika tidak diarahkan pada pemikiran yang benar jelas akan menghilangkan hakikat identitas dirinya sebagai generasi Islam dan hamba yang wajib taat dan terikat dengan aturan Islam.
Kedua, Kontrol diri yang lemah. Emosi labil adalah salah satu faktor mengapa banyak remaja terjebak dalam tindak kriminal. Ibarat “senggol bacok”, mereka cenderung sulit mengontrol emosi dan amarah jika sudah tersinggung atau terbawa perasaan. Pada akhirnya, emosi tidak terkontrol itu mewujud dalam kenakalan dan kekerasan. Pengaruh sistem sekuler sangat berdampak pada keimanan dan ketakwaan para remaja.
Akidah sekuler telah menghilangkan peran remaja sebagai pelaku perubahan. Mereka justru menjadi pelaku maksiat dan kriminal. Jiwa mereka tereduksi pemikiran sekuler liberal. Batinnya kering dan kosong dari keimanan dan nilai-nilai Islam. Jadilah mereka generasi yang mudah frustrasi, galau, bingung, emosi labil, cenderung meledak-ledak, merasa insecure, dan nirempati.
Saat masalah menghinggapi, solusi sumbu pendek dilakukan, seperti tawuran, pengeroyokan, bunuh diri, bahkan pembunuhan. Adapun faktor eksternal yang menyebabkan remaja terlibat tawuran ialah lingkungan sosial tempat mereka tumbuh dan berkembang, terdiri dari tiga aspek, yaitu:
Pertama, Keluarga. Kebanyakan anak yang tersangkut kasus kriminal biasanya dilatarbelakangi keluarga broken home. Kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak, serta perselisihan dengan anggota keluarga lain juga bisa memicu perilaku negatif pada anak. Keluarga adalah sekolah pertama bagi anak. Jika anak mendapat pola asuh dan pendidikan yang salah, tentu berpengaruh pada kepribadian mereka, yakni pola pikir dan sikap yang salah pula.
Pada masa inilah peran orang tua sangat mereka butuhkan untuk membimbing dan membina mereka menjadi berkepribadian mulia. Ini agar para remaja tidak mudah terbawa arus sekularisasi dan liberalisasi yang tengah gencar menyasar generasi.
Kedua, sekolah dan masyarakat. Kehidupan remaja tidak akan terpisah dari dua lingkungan sosial ini. Sekolah menjadi tempat mereka menuntut ilmu, masyarakat menjadi tempat mereka mengembangkan diri. Siklus pertemanan biasanya muncul dari sekolah dan masyarakat. Teman inilah yang memberi dampak lebih besar terhadap perilaku remaja. Kasus tawuran pelajar biasanya terjadi karena rivalitas antarsekolah, pengaruh gengsi, dan tekanan teman sebaya.
Ketiga, negara. Lingkungan baik bagi remaja tidak akan terwujud jika negara tidak mengambil peran sentralnya, yaitu sebagai penjaga dan pelindung generasi dari pengaruh budaya dan pemikiran asing yang merusak moral generasi. Peran penting yang dimaksud ialah negara wajib menciptakan suasana takwa pada setiap individu rakyat. Negara menerapkan kurikulum dan sistem pendidikan Islam secara menyeluruh.
Negara berkewajiban melindungi generasi dari paparan ideologi kapitalisme sekuler yang merusak kepribadian mereka. Negara juga wajib menyaring tontonan dan tayangan tidak mendidik yang mengajarkan budaya dan nilai liberal. Faktor negara berpengaruh pada penerapan kurikulum dan sistem pendidikan. Tugas negara adalah menciptakan suasana takwa pada setiap individu. Negara berkewajiban melindungi generasi dari paparan ideologi sekuler kapitalisme yang merusak kepribadian mereka.
Keempat, media dan tayangan kurang mendidik. Sudah jamak kita ketahui, generasi muda cenderung meniru dan melakoni setiap hal yang mereka tonton. Segala yang mereka dengar dan lihat akan menjadi tuntunan mereka bersikap. Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi, generasi kita dihadapkan pada kebebasan mengakses informasi, baik yang sifatnya positif maupun negatif. Nyatanya, jumlahnya lebih sedikit ketimbang tontonan yang merusak remaja kita.
Dari keempat faktor tersebut, semuanya dipengaruhi sistem kehidupan sekuler liberal. Agama tampak asing di kalangan remaja karena kehidupan saat ini memang sengaja dijauhkan dari aturan Islam. Para remaja justru lebih akrab dengan budaya liberal dan hedonis. Pola kurikulum pendidikan juga tidak menjadikan agama (Islam) sebagai landasan penyusunannya. Walhasil, generasi terdidik dengan nilai sekuler dan gaya hidup hedonis. Remaja terakumulasi oleh cara berpikir dan gaya hidup Barat yang jauh dari aturan Islam.
Oleh karenanya, untuk menghasilkan generasi unggul, cerdas, dan bertakwa, tidak cukup mengurai masalah cabang saja. Nilai sekuler ini pula yang membentuk lingkungan yang bebas bermaksiat, individualistis, dan minim empati terhadap sesama. Persoalan kriminalitas dan kenakalan remaja adalah buah penerapan kehidupan sekuler liberal. Penyelesaiannya haruslah sistemis dan komprehensif.
Solusi:
Dalam buku Menggagas Sistem Pendidikan Islam tertulis bahwa pendidikan Islam terlahir dari sebuah paradigma Islam berupa pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan dunia; sebelum dunia dan kehidupan setelahnya; serta kaitan antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dan sesudahnya. Paradigma pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari paradigma Islam.
Islam memiliki konsep jelas dan tegas dalam menyelesaikan masalah tawuran pelajar. Hal yang paling mendasar adalah menjadikan akidah Islam sebagai dasar negara sehingga seluruh aturan kehidupan tegak berdasarkan asas keimanan. Ini menjadikan setiap perilaku warga negara, termasuk pemuda, terikat dengan pemahaman Islam. Setiap individu akan paham bahwa Allah Taala menghisab setiap amal perbuatan manusia sehingga tidak ada yang bisa berbuat seenaknya.
Khilafah akan membentuk kepribadian warga negara melalui sistem pendidikan.
Pendidikan dalam Islam merupakan upaya sadar dan terstruktur, serta sistematis untuk menyukseskan misi penciptaan manusia sebagai abdullah dan khalifah Allah di muka bumi. Itulah tujuan pendidikan Islam. Asasnya adalah akidah Islam. Asas ini berpengaruh dalam penyusunan kurikulum pendidikan, sistem belajar mengajar, kualifikasi guru, pengembangan budaya, dan interaksi di antara semua komponen penyelenggara pendidikan. Pendidikan berbasis sistem Islam memadukan tiga peran sentral yang berpengaruh pada proses perkembangan generasi.
Pertama, keluarga. Dalam hal ini, orang tua adalah ujung tombak lahirnya bibit unggul generasi. Keluarga adalah sekolah pertama bagi anak-anak. Setiap keluarga yang menginginkan anak-anaknya cerdas dan bertakwa wajib menjadikan akidah Islam sebagai basis dalam mendidik dan membentuk kepribadian anak. Setiap anak harus dibekali keimanan dan kecintaan yang tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan bekal iman inilah akan terbentuk ketakwaan dalam diri mereka yang dapat mencegahnya dari berbuat maksiat.
Keluarga adalah tempat pendidikan pertama bagi remaja sejak usia dini hingga dewasa. Baik buruknya pendidikan akan berpengaruh pada kepribadian anak. Orang tua mestinya memberi bekal pemahaman Islam kepada anak agar ia terbiasa beramal dan berperilaku sesuai syariat Islam. Orang tua harus menanamkan akidah Islam sejak dini agar terbentuk dalam diri anak keimanan dan ketaatannya kepada Allah Taala.
Kedua, masyarakat. Dalam sistem Islam, perilaku masyarakat akan selalu kondusif. Jika masyarakatnya bertakwa, amar makruf nahi mungkar akan berjalan secara efektif. Dengan lingkungan masyarakat yang senantiasa mengajak pada ketaatan, suasana tersebut akan berdampak positif pada anak-anak. Tabiat dasar anak adalah meniru dan mencontoh yang mereka lihat di lingkungan masyarakat. Jika masyarakatnya baik, individu pun ikut baik.
Ketiga, negara. Tugas negara adalah menyelenggarakan pendidikan secara komprehensif. Negara wajib menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai, mulai dari kurikulum berbasis akidah Islam, sarana dan prasarana, pembiayaan pendidikan, tenaga pengajar profesional, hingga sistem gaji guru yang menyejahterakan. Negara juga melakukan kontrol sosial dengan melakukan pengawasan atas penyelenggaraan sistem Islam kafah. Negara menegakkan sanksi bagi para pelanggar syariat, seperti pelaku tawuran, pezina, atau pelaku maksiat lainnya.
Dalam lintas sejarah Islam, pendidikan Islam mengalami kejayaan dan kegemilangan yang diakui dunia internasional. Lembaga pendidikan tumbuh subur, majelis-majelis ilmu di selasar masjid yang membahas berbagai ilmu pengetahuan pun bertaburan. Insyaallah masa depan generasi negeri ini bisa dan hanya terwujud dengan Islam.
Untuk mewujudkan generasi takwa dan antitawuran, haruslah dilakukan secara komprehensif dengan menerapkan sistem kehidupan Islam secara kafah. Penerapan sistem pendidikan Islam harus terlaksana secara tersadar, terstruktur, dan tersistem dengan memadukan tiga peran pokok pembentukan kepribadian generasi, yaitu keluarga, masyarakat, dan negara. Tujuan pendidikan Islam adalah menyukseskan misi penciptaan manusia sebagai abdullah dan khalifah Allah di muka bumi.
Dengan Islam, identitas remaja tidak akan terombang-ambing dan mudah terbawa arus. Mereka mampu menjadi generasi umat terbaik yang mengisi waktunya untuk menuntut ilmu, belajar Islam, dan memberi kemaslahatan bagi umat dan negara. Pemuda bertakwa, penuntut ilmu, aktivis dakwah, dan pelopor kebangkitan peradaban Islam. Dalam asuhan sistem Islam, remaja mampu menjadi teladan bagi umat abad ini.