Oleh: Adzkia Tharra ( Aktivis Muslimah)
Bahan pangan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap individu yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari untuk memasak bahkan usaha dalam bidang kuliner. Namun Masyarakat hari ini harus menghadapi kenaikan harga komoditas berbagai bahan pokok seperti minyak goreng, cabai, gula,beras, ayam ras hingga tepung dan beras. Hingga saat ini harga cabai juga terus meroket per harinya.
Kenaikan harga ini tentu menjadi beban tersendiri bagi Masyarakat bukan hanya dari kalangan ibu rumah tangga, pedanggang makanan bahkan pedagang di pasar juga mengeluhkan harga bahan pangan yang terus naik. Bagi Masyarakat, naiknya harga bahan pangan tentu menyebabkan mereka akan sulit untuk memenuhi kebutuhan karena pengeluaran membengkak sedangkan pendapatan tidak memiliki tambahan.
Keluhan dari Masyarakat pun tak kunjung reda terkait kenaikan harga ini, salah satunya seperti yang dikutip dari liputan6.com (26/11/23) diungkap oleh Waluyo, seorang warga di kawasan Petukangan, Jakarta Selatan. Dia mengaku cukup terbebani dengan kenaikan harga pangan, utamanya yang sering dikonsumsi. ia mengaku, untuk keperluan belanja bulanan biasanya bisa terpenuhi dengan biaya Rp 1 juta. Namun, karena adanya kenaikan jadi perlu mengambil dari alokasi dana lainnya. Senada dengan Waluyo, seorang warga Bogor, Jenar mengalami keluhan yang serupa. Biaya belanja Rp 50 ribu yang dikantonginya untuk satu hari, kini hanya bisa membeli beberapa jenis bahan pangan. Dia pun meminta pemerintah untuk turun tangan guna mengendalikan harga di pasaran.
Jika kita perhatikan, problematika harga pangan ini sudah menjadi masalah berulang bahkan bukan hanya persoalan di tataran regulasi teknis saja melainkan berpangkal dari konsep pengaturan dalam sistem kapitalisme neoliberal.
Paradigma yang diterapkan ini menyebabkan negara berlepas tangan dari tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat termasuk bahan pangan. Peran pemerintah dalam sistem kapitalis hanya sebagai regulator dan fasilitator, bukan lagi penanggung jawab. Akibatnya pengadaan kebutuhan dasar rakyat diambil oleh pihak asing yang justru menjadi objek untuk mengejar keuntungan sepihak.
Parahnya sistem korporatokrasi dalam sistem kapitalisme menyebabkan terjadinya hegemoni. Pada sektor pertanian dan pangan ini, misalnya, muncullah perusahaan-perusahaan raksasa, bahkan menjadi perusahaan integrator yang menguasai seluruh rantai usaha pengadaan pangan, mulai dari sektor produksi, distribusi, hingga konsumsi.
Pada sektor produksi pertanian, setidaknya 10 korporasi raksasa menguasai produksi benih, pupuk, pestisida, dan saprotan lainnya. Sektor peternakan pun demikian, 80% pasar produk peternakan dikuasai hanya oleh tiga perusahaan integrator. Perusahaan-perusahaan integrator ini merupakan produsen DOC, pakan, pemilik peternakan, hingga menghasilkan produk hilir peternakan.
Hal ini tentu merugikan Masyarakat karena akhirnya menyebabkan banyak peternakan rakyat yang bangkrut karena tidak bisa bersaing. Sekejn Gabungan Asosiasi Pengusaha Peternak Ayam Nasional (GOPAN) menyebutkan bahwa dahulu terdata sekitar 2,5 juta peternak, tetapi saat ini hanya ada ratusan ribu.
Kapitalisasi dalam hal importasi pangan memunculkan segelintir korporasi yang akhirnya menimbulkan oligopoli. Praktik oligopoly memberikan celah besar untuk melakukan kartel. Contohnya impor kedelai mayoritas di kuasai oleh pihak swasta.
Negara juga absen dalam pengaturan rantai distribusi pangan sehingga para mafia pangan (yang notabene sebagiannya korporasi pangan) menjadi tumbuh subuh. Praktik spekulasi dan kartel pangan sukar dihilangkan karena korporasi lebih berkuasa daripada pemerintah di dalam sistem kapitalisme.
Penimbunan bahan pangan yang berakibat melambungnya harga pun sangat sulit ditertibkan. Melonjaknya harga telur saat ini tidak terlepas dari keberadaan korporasi integrator yang menguasai rantai penjualan produk-produk peternakan sehingga merusak harga pasar.
Dengan dominasi sektor pangan di tangan semua korporasi tersebut, bagaimana mungkin pemerintah mampu menstabilkan harga pangan ketika mayoritas pasokan pangan tidak berada dalam kendali negara?
Selama tata kelola pangan masih menggunakan konsep kapitalisme dengan absennya peran negara, stabilitas harga pangan mustahil terwujud. Apalagi paradigma yang digunakan pemerintah dalam mengatasi lonjakan harga sekadar menurunkan angka inflasi, bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Konsep kapitalisme sangat berbeda dengan Islam yang konsep pengaturannya sepenuhnya menggunakan syariat Islam. Secara prinsip, kunci kestabilan harga dan keterjangkauan oleh rakyat terletak pada berjalannya fungsi negara yang sahih, yaitu sebagai raain (penanggung jawab) dan junnah (pelindung rakyat).
Dalam Islam, pemerintah bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, termasuk pangan, baik kuantitas maupun kualitas. Artinya, sebagai pelindung rakyat, negara harus hadir menghilangkan dharar (bahaya) di hadapan rakyat, termasuk ancaman hegemoni ekonomi. Negara Islam (Khilafah) tidak akan membiarkan korporasi menguasai rantai penyediaan pangan rakyat untuk mencari keuntungan sepihak.
Kedua fungsi ini harus diemban oleh seluruh struktur negara hingga unit pelaksana teknis. Oleh karenanya, keberadaan badan pangan seperti Bulog pun harus menjalankan fungsi pelayanan, bukan menjadi unit bisnis. Kalaupun lembaga pangan ini melaksanakan fungsi stabilisator harga dengan operasi pasar, harus steril dari tujuan mencari profit.
Beberapa kebijakan yang akan diambil Khilafah untuk menjaga stabilitas harga adalah pertama, menjaga ketersediaan stok pangan supaya supply and demand stabil, di antaranya dengan menjamin produksi pertanian di dalam negeri berjalan maksimal, baik dengan intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian, ataupun dengan impor yang memenuhi syarat sesuai panduan syariat.
Kedua, menjaga rantai tata niaga, yaitu dengan mencegah dan menghilangkan distorsi pasar. Di antaranya melarang penimbunan, melarang riba, melarang praktik tengkulak, kartel, dsb. Disertai penegakan hukum yang tegas dan berefek jera sesuai aturan Islam.
Khilafah Islam juga memiliki struktur khusus untuk ini, yaitu Kadi Hisbah yang di antaranya bertugas mengawasi tata niaga di pasar dan menjaga agar bahan makanan yang beredar adalah makanan yang halal dan tayib.
Yang tidak kalah pentingnya adalah peran negara dalam mengedukasi masyarakat terkait ketakwaan dan syariat bermuamalah. Dengan pemahaman tentang konsep bermuamalah, masyarakat akan terhindar dari riba, konsumsi makanan haram, serta tidak panic buying yang bisa merugikan orang lain.
Umar ra. pernah melarang orang yang tidak memiliki ilmu untuk datang ke pasar dengan mengatakan, “Jangan berjual beli di pasar kami, kecuali orang yang berilmu. Apabila tidak, ia akan makan riba, baik disengaja atau tidak.” Wallahualam.