
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah (selanjutnya disebut Ripparda) merupakan fondasi penting bagi pengembangan dan pengelolaan sumber daya pariwisata daerah. Dalam konteks Provinsi Kalimantan Selatan, hal ini diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 11 Tahun 2013 (selanjutnya disebut Perda 11/2013) tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahun 2013-2028.
Perda 11/2013 Bab I Pasal 1 antara lain menyebutkan bahwa Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah yang selanjutnya disebut Ripparda adalah dokumen perencanaan pembangunan kepariwisataan Daerah untuk periode 15 (lima belas) tahun terhitung sejak tahun 2013 sampai dengan tahun 2028. Pasal 2 Ayat (3) menyebutkan bahwa muatan Ripparda terdiri atas (a) visi; (b) misi; (c) tujuan; (d) sasaran; dan (e) arah kebijakan, strategi, dan indikasi program pembangunan (destinasi, pemasaran, industri, kelembagaan).
Visi pembangunan kepariwisataan Kalimantan Selatan tahun 2013-2028 adalah terwujudnya Kalimantan Selatan sebagai destinasi pariwisata bertaraf internasional berbasis alam, budaya, dan ekonomi kreatif yang berdaya saing, berkelanjutan, dan bertanggung jawab untuk mendorong pembangunan daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat (Pasal 2 Ayat 4). Dari visi ini kita bisa melihat bahwa yang menjadi perhatian utama Pemprov Kalimantan Selatan adalah pariwisata berbasis alam, budaya, dan ekonomi kreatif. Kekayaan alam dan budaya yang merupakan bagian dari potensi kepariwisataan muncul di awal Perda 11/2013 di bagian “menimbang”, sementara ekonomi kreatif tampaknya luput untuk dipertimbangkan.
Jika kita baca Pasal 1 Perda 11/2013 di bagian ketentuan umum, definisi pariwisata berbasis alam, budaya, dan ekonomi kreatif dijelaskan. Di bagian tersebut tertulis bahwa pariwisata berbasis alam adalah berbagai macam kegiatan wisata yang terintegrasi dengan lingkungan baik di darat dan di laut. Pariwisata berbasis budaya adalah berbagai macam kegiatan wisata yang didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah yang berupa hasil olah cipta, rasa dan karsa manusia sebagai makhluk budaya, baik yang bersifat berwujud maupun tidak berwujud. Sementara pariwisata berbasis ekonomi kreatif adalah berbagai macam kegiatan wisata yang terintegrasi dengan kegiatan ekonomi yang tercipta dari pemanfaatan pengetahuan dan informasi.
Dari ketiga basis pembangunan kepariwisataan tersebut, pariwisata berbasis ekonomi kreatif tampaknya memiliki tantangan tersendiri untuk dikembangkan. Masih dalam ketentuan umum, ada dua istilah yang juga disertakan (yang kemungkinan) untuk lebih menjelaskan tentang pariwisata berbasis ekonomi kreatif. Pertama, ekonomi kreatif yang didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang tercipta dari pemanfaatan pengetahuan dan informasi yang berupa periklanan, arsitektur, pasar seni dan barang antik, kerajinan, desain, fashion (mode), film, video, fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, radio dan televisi, dan riset dan pengembangan. Kedua, pengembangan ekonomi kreatif yang didefinisikan sebagai pengembangan kegiatan ekonomi berdasarkan pada kreativitas, keterampilan, dan bakat individu untuk menciptakan daya kreasi dan daya cipta individu yang bernilai ekonomis dan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat.
Terlepas dari pariwisata berbasis ekonomi kreatif yang mungkin punya tantangan tersendiri untuk dikembangkan di Kalimantan Selatan, pariwisata berbasis alam, budaya, dan ekonomi kreatif setidaknya sudah tercermin dalam pasal-pasal perda ini. Berikut untuk menyebut beberapa di antaranya.
Pariwisata berbasis alam antara lain muncul di bagian misi (Pasal 2 Ayat 5 huruf a dan huruf e), sasaran (Pasal 2 Ayat 7 huruf a, b, c, d), arah pembangunan kepariwisataan daerah (Pasal 6 huruf d), serta arah kebijakan dan strategi (Pasal 13, Pasal 14, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24). Pariwisata berbasis budaya antara lain muncul di bagian misi (Pasal 2 Ayat 5 huruf a, huruf e, huruf j), tujuan (Pasal 2 Ayat 6 huruf i), sasaran (Pasal 2 Ayat 7 huruf a, b, c, d), arah pembangunan kepariwisataan daerah (Pasal 6 huruf a dan huruf b), serta arah kebijakan dan strategi (Pasal 10 Ayat 3 huruf g, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25). Pariwisata berbasis ekonomi kreatif antara lain disinggung di bagian misi (Pasal 2 Ayat 5 huruf a, huruf i, huruf j, huruf k), tujuan (Pasal 2 Ayat 6 huruf f, huruf g, huruf h), sasaran (Pasal 2 Ayat 7 huruf a, b, c, d), arah pembangunan kepariwisataan daerah (Pasal 6 huruf e), serta arah kebijakan dan strategi (Pasal 13, Pasal 14, Pasal 22, Pasal 24).
Visi pembangunan kepariwisataan yang berbasis pariwisata alam, budaya, dan ekonomi kreatif yang kemudian tercermin antara lain dalam pasal-pasal yang tersebut di atas terlihat masih terlalu umum. Tentu akan lebih baik sekiranya visi tersebut bisa lebih dipertajam, misal pembangunan kepariwisataan sampai tahun 2028 untuk pariwisata alam lebih spesifik ke hutan kemudian periode selanjutnya spesifik ke sungai, dan seterusnya. Demikian juga untuk pariwisata budaya, bisa fokus ke salah satu unsur budaya lokal (dengan fokus religi, kesenian, atau yang lain).
Kepariwisataan Lokal Vs Nasional
Pembangunan kepariwisataan diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. UU ini adalah salah satu yang masuk Program Legislasi Nasional 2020-2024 yang saat ini sedang dibahas di Komisi X DPR RI untuk diubah, yaitu RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Saat artikel ini ditulis, UU yang masuk di urutan 162 dalam Prolegnas ini posisinya dalam tahap penyusunan (https://www.dpr.go.id).
Aturan tentang pembangunan kepariwisataan di bawah UU 10/2009 adalah PP Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (Ripparnas). PP 50/2011 ini merupakan amanat dari UU 10/2009 yang menyebutkan bahwa pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional, rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi, dan rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota (Pasal 8 Ayat 1 UU 10/2009). Setali tiga uang dengan UU 10/2009, masa berlaku PP 50/2011 juga akan diubah.
Banyak daerah yang Ripparda (Ripparprov, Ripparkab, Ripparkot) habis masa berlakunya tahun 2025. Ini adalah sebuah konsekuensi logis karena Ripparda disusun (semestinya) berdasarkan Ripparnas yang untuk periode ini akan habis masa berlakunya tahun 2025. Meskipun demikian, Ripparda yang belum habis masa berlaku tentu boleh saja dievaluasi untuk menyesuaikan dengan arah pembangunan kepariwisataan nasional yang baru.
Jika menilik Ketentuan Penutup Perda 11/2013, di Pasal 38 disebutkan bahwa perda ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan (27 November 2013). Berarti usia perda ini sudah 10 tahun. Berdasarkan Permenpar 10/2016 tentang Pedoman Penyusunan Ripparprov dan Ripparkab/Ripparkot, evaluasi terhadap implementasi rencana dan perubahan-perubahan yang terjadi, baik perubahan pada kebijakan pembangunan nasional maupun daerah (provinsi atau kabupaten/kota) dan dinamika internal daerah yang mempengaruhi pengembangan kepariwisataan dapat dilakukan setiap 5 (lima) tahun. Mengingat adanya perubahan pada kebijakan pembangunan nasional (Ripparnas) dan UU 10/2009 serta usia perda yang sudah lebih dari 5 tahun, tidak ada salahnya untuk melakukan evaluasi terhadap Perda 11/2013 untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi sekaligus menetapkan fokus misi pembangunan kepariwisataan. Tentu hal bisa dilakukan setelah UU Kepariwisataan dan Ripparnas diberlakukan.***