Sabtu, Juli 12, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Ketidakwajiban Indonesia Dalam Menampung Para Pencari Suaka

by Mata Banua
27 November 2023
in Opini
0
D:\2023\November 2023\28 November 2023\8\8\didi kurnia sandi.jpg
Didi Kurnia Sandi, S.IP Alumni Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Andalas

 

Pada hari selasa, tanggal 14 November 2023, masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Aceh dan sekitarnya dihebohkan dengan berlabuhnya sebuah kapal yang berisi 194 pengungsi Rohingya di wilayah Aceh. Para pencari suaka tersebut berlabuh dengan kondisi yang kurang baik setelah mengarungi lautan dengan akomodasi yang minim. Kedatangan pengungsi Rohingya kali ini ditolak oleh masyarakat Aceh, sebab para pengungsi Rohingya yang telah datang ke Aceh sebelumnya memberikan kesan yang buruk bagi masyarakat Aceh.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\11 Juli 2025\8\8\master opini.jpg

Menuju Negeri Bersih dan Berdaya

10 Juli 2025
D:\2025\Juli 2025\11 Juli 2025\8\8\Nur Alfa Rahmah.jpg

Indonesia Darurat Perundungan Anak: Mencari Solusi Sistemik

10 Juli 2025
Load More

Pada akhirnya, kapal yang yang berlabuh pada tanggal 14 November lalu tersebut diminta untuk meneruskan perjalanan mereka. Tentu saja dibekali dengan bantuan akomodasi yang diberikan oleh masyarakat setempat. Namun sayangnya, tindakan berempati masyarakat Aceh tersebut tidak dibalas dengan baik oleh mereka. Mereka membuang bantuan akomodasi tersebut ke laut sebagai bentuk kekecewaan mereka terhadap masyarakat Aceh yang tidak mengizinkan mereka menetap dalam waktu yang lama di Aceh. Tentu saja hal ini membuat masyarakat tidak senang dengan tindakan tersebut dan menjadi sebuah polemik di tengah-tengah masyarakat, pasal nya ada pihak yang menerima mereka dan ada juga yang menolak.

Pada kasus ini, penulis berpendapat bahwa penolakan masyarakat tersebut bukanlah tindakan yang salah. Hal ini mengingat bahwa Indonesia tidak memiliki kewajiban menerima para pencari suaka karena Indonesia tidak terikat pada Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Kedua perjanjian tersebut mewajibkan pemerintah suatu negara yang telah meratifikasinya untuk menerima semua pengungsi yang hendak mencari suaka di negara mereka. Indonesia masih berstatus negara yang belum meratifikasi kedua perjanjian Internasional tersebut.

Kemudian, hal ini juga didukung oleh tanggapan dari Kementerian Luar Negeri mengenai penolakan masyarakat Aceh terhadap pengungsi Rohingya baru baru ini. Dilansir dari detiknews.com (21/11), melalui Juru bicaranya, Kemenlu menyatakan bahwa “Indonesia bukan pihak (yang meratifikasi) pada konvensi pengungsi 1951. Karena Indonesia tidak memiliki kewajiban dan kapasitas untuk menampung pengungsi, apa lagi memberikan solusi permanen bagi para pengungsi tersebut”. Dari kedua hal tersebut, terlihat jelas bahwa Indonesia tidak memiliki kewajiban sedikitpun untuk menampung para pengungsi Rohingya secara permanen di seluruh wilayah NKRI.

Berdasarkan beberapa sumber yang penulis baca, terdapat dua pertimbangan utama mengapa Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Pertama, pertimbangan ekonomi. Indonesia berstatus negara berkembang yang perekonomiannya tidak sebesar negara maju dimana angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia relatif masih belum tuntas diselesaikan oleh pemerintah. Pemerintah dituntut untuk “menolong” rakyat sendiri terlebih dahulu sebelum “menolong” para pencari suaka.

Kedua, pertimbangan keamanan. Hadirnya masyarakat asing di Indonesia dikhawatirkan akan menimbulkan gesekan sosial dengan masyarakat lokal. Dilansir dari detiknews.com, tak sedikit masyarakat Aceh yang menyatakan bahwa sikap dan tindakan pengungsi Rohingya terkesan tidak menghormati adat dan norma-norma yang ada di Aceh. Pada beberapa kasus mereka malah kabur setelah ditolong sehingga mereka meninggalkan kesan “tidak tahu diri” dimata masyarakat Aceh. Hal ini tentu saja akan menimbulkan gesekan sosial yang memiliki potensi menjadi konflik, sehingga bisa menjadi masalah keamanan bagi Indonesia.

Lantas mengapa selama ini Indonesia terlihat tetap membantu mereka meskipun tidak memiliki kewajiban untuk membantu? Tentu saja sebagai negara yang menjunjung tinggi kemanusiaan, Indonesia membantu para pengungsi atas dasar kemanusiaan. Namun, kebaikan Indonesia tersebut disalah artikan oleh para pengungsi. Indonesia seharusnya hanya menjadi negara transit saja bagi para pencari suaka yang hendak pergi ke negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, seperti Australia dan New Zealand.

Para pengungsi Rohingya lebih memilih untuk menetap secara permanen di Indonesia ketimbang Australia yang seharusnya wajib menerima mereka. Hal ini dikarenakan Australia sering menjalankan kebijakan “Push Back”, yakni mendorong kembali kapal-kapal imigran secara paksa dari perairan Australia. Dilansir dari The Guardian (guardian.com), Australia sejak tahun 2013 hingga 2021 tercatat sudah melakukan “Push Back” kepada kurang lebih sebanyak 800 orang di 38 kapal imigran. Namun, angka tersebut bisa lebih banyak karena ada beberapa kasus “Push Back” terjadi diluar pantauan PBB. Secara tidak langsung Australia terlihat jelas beberapa kali telah melanggar Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967.

Penulis juga berpendapat bahwa dengan menampung pengungsi Rohingya di Indonesia tidak akan pernah menyelesaikan akar masalah yang terjadi kepada mereka. Akar permasalahan dari kasus ini terletak pada konflik Rakhine state yang belum bisa dihentikan hingga saat ini. Dengan menyelesaikan akar permasalahan di Myanmar, kasus pencari suaka seperti ini tentu saja dapat dikurangi secara signifikan. Namun, menyelesaikan akar permasalahan tersebut tidak semudah membalikan telapak tangan, mengingat negara anggota ASEAN memiliki prinsip non-intervensi dimana negara-negara ASEAN tidak boleh ikut campur terhadap urusan domestik negara anggota ASEAN Lainnya.

Pada kasus ini tentu saja menjadi dilema bagi Indonesia, terutama bagi masyarakat Aceh yang berhubungan langsung dengan mereka. Disatu sisi kita sebagai manusia terketuk rasa kemanusiaannya melihat orang lain dalam kesusahan. Namun, disisi lain banyak hal dan pertimbangan yang membuat kita tidak bisa membantu mereka secara terus menerus. Sebagai manusia kita tetap membantu pengungsi Rohingya semampu yang kita bisa, seperti memberikan tempat transit dan bantuan akomodasi untuk mereka yang seharusnya pergi mengungsi ke Australia. Penulis sangat tidak setuju jika ada pihak yang memberikan wilayah NKRI kepada mereka untuk tinggal permanen di Indonesia, karena hal tersebut bukan kewajiban kita. Terlepas dari polemik ini, penulis tetap mendoakan yang terbaik bagi para pencari suaka di seluruh dunia, khususnya para pengungsi Rohingya. Semoga akar permasalahannya bisa diselesaikan dengan baik. Aamiin.

 

 

Tags: Didi Kurnia SandiPencari SuakaS.IP Alumni Departemen Ilmu Hubungan Internasional
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA