Haryati (Aktivis Muslimah)
Rencana relokasi sebagian warga Pulau Rempang yang dijadwalkan pada Kamis, 28 September 2023 lalu urung dilaksanakan. Ratusan aparat kepolisian yang sebelumnya dipanggil untuk mengamankan pengosongan kampung-kampung di Rempang, Kepulauan Riau, disebut sudah dipulangkan. Namun hal itu belum membatalkan rencana pemindahan masyarakat dari kampung-kampung tua.
Kasus Rempang ini bukan satu-satunya kasus yang terjadi di negeri ini berkaitan dengan sengketa tanah atau agraria. Sebut saja kasus Wadas yang terjadi pada tahun 2022 lalu. Kasus lain yaitu yang menimpa warga Wates, Majalengka Jawa Barat atas tanah mereka yang diklaim sepihak oleh TNI AU lebih dari 70 tahun.
Ironi Kedaulatan Rakyat
Banyaknya kasus sengketa lahan pemukiman penduduk yang selalu berujung kerugian warga ini, merupakan bukti lemahnya konsep kedaulatan rakyat yang diadopsi di negeri ini. Rakyat yang menjadi pemilik tanah yang mereka tinggal di atasnya selama puluhan tahun, tidak mempunyai kuasa untuk mempertahankannya. Sementara pihak yang berdaulat adalah mereka yang memiliki kekuasaan.
Kasus Rempang ini diawali dengan bentrok yang terjadi antara warga Pulau Rempang dengan aparat gabungan TNI-Polri, Ditpam Badan Pengusahaan (BP) Batam dan Satpol PP. Warga tidak setuju dengan rencana Proyek Strategis Nasional (PSN). Sekitar 10.000 warga Pulau-Rempang Galang yang tersebar di 16 Kampung Melayu Tua, terancam tergusur dan terusir dari ruang hidup yang mereka huni turun temurun sejak tahun 1834.
Dalam demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat. Artinya yang berdaulat atau yang berkuasa adalah rakyat. Namun pada prakteknya, dalam kasus Rempang ini, rakyat malah menjadi pihak yang dirugikan. Sedangkan pihak yang diuntungkan adalah korporat yang menuai cuan atas proyek besar yang berlindung di balik proyek pemerintah yaitu Proyek Strategis Nasional. Inilah ironi kedaulatan rakyat yang telah mencoreng pengusungnya.
Pandangan Islam tentang Kedaulatan
Islam memandang bahwa kedaulatan di tangan syara, artinya hak proragatif membuat hukum hanyalah milik Allah Swt. Sementara yang melaksanakan syariat adalah umat melalui pengangkatan kepala negara sebagai wakil umat, dikatakan bahwa kekuasaan berada di tangan umat.
Kepala negara berhak menetapkan/mengadopsi hukum syariat dalam mewujudkan kemaslahatan umat dan negara. Umat wajib melaksanakan ketaatan atas ketetapan ini selama kepala negara menerapkan Al-Qur’an dan Sunah, serta sebaliknya, tidak ada ketaatan terhadap manusia dalam kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dalam kondisi ada perselisihan di antara rakyat, yakni perbedaan pandangan yang mengarah pada perpecahan, keputusan kepala negara berlaku untuk menghilangkan perselisihan dan umat wajib menerima keputusan secara lahir dan batin. Pahala tersedia luas bagi siapa saja yang tunduk terhadap kedaulatan syariat. Inilah perbedaan pokok antara sistem demokrasi dengan sistem pemerintahan dalam Islam.
Selain itu dalam sistem pemerintahan Islam, negara adalah pihak yang bertanggungjawab atas urusan rakyat termasuk menjaga hak-hak rakyat. Sabda Rasulullah Saw:
“Imam itu pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR Al-Bukhari dan Ahmad)
Khatimah
Demikianlah, kasus Rempang telah menjadi bukti nyata pengabaian penguasa terhadap hak-hak rakyat. Saatnya kita menguji, apakah demokrasi merupakan sistem yang layak dipertahankan? Lalu sistem apa yang bisa menggantikannya? Jawabannya kita kembalikan kepada keimanan kita sebagai seorang muslim, bahwa mengambil hukum secara keseluruhan termasuk dalam sistem pemerintahan hanya kepada syariat Islam.
Wallahu a’lam