Mata Banua Online
Selasa, November 4, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
Mata Banua Online
No Result
View All Result

MK RI: Antara Putusan Konstitusional, Inkonstitusional dan Kondisional

by Mata Banua
31 Oktober 2023
in Opini
0
D:\2023\November 2023\1 November 2023\8\8\ahmad mukhalis.jpg
Ahmad Mukhallish Aqidi Hasmar, S.H. (Mahasiswa Program Magister Hukum Universitas Mulawarman Samarinda)

 

Dalam perkembangan konsep negara hukum, ada satu hal yang tidak akan terlewatkan saat membicarakan konsep negara hukum itu sendiri yakni jaminan atas kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.

Berita Lainnya

D:\2025\November 2025\4 November 2025\8\Opini Selasa\Wirda Widayani.jpg

Memikir Ulang Gaya Hidup Pejabat Masa Kini

3 November 2025
D:\2025\November 2025\4 November 2025\8\Opini Selasa\foto opini 1.jpg

Potret CKG di Ujung Negeri

3 November 2025

Membicarakan konsep negara hukum Indonesia, kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak atau kita sebut dengan “merdeka” telah menjadi organ vital dalam konstitusi republik ini. Sebagai informasi kepada pembaca, kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) beserta badan peradilan di bawahnya dalam peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Bukan hanya sampai disitu, kekuasaan kehakiman Indonesia pun dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Mahkamah Konstitusi pun menjadi wadah yang amat diminati untuk menunjukkan partisipasi masyarakat Indonesia dalam mengawasi wakil rakyatnya agar tidak membuat undang-undang dengan sewenang-wenang tanpa memperhatikan jaminan atas terlindungi dan terpenuhinya hak konstitusional warga negara, tingginya angka partisipasi masyarakat tersebut bisa dilihat dari rekapitulasi perkara pengujian Undang-Undang yang telah dilakukan di MK sejumlah 1763 perkara dengan 1716 putusan dengan peningkatan tiap tahunnya. Data ini diperoleh Penulis melalui laman resmi MK pada saat tulisan ini dibuat.

MK dan Putusan yang Kontroversial

MK melahirkan putusan yang begitu menarik perhatian berbagai kalangan. Beragam asumsi pun dilontarkan untuk merespon putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres tersebut.

Penulis coba menyederhanakan kenapa putusan MK ini begitu kontroversial.

Pertama, Mahkamah Konstitusi yang notabene menjadi wadah untuk menakar konstitusionalitas suatu Undang-Undang kita yang semestinya hanya menyebutkan konstitusional atau inkonstitusional kini menciptakn putusan “kondisional”.

Kedua, Putusan MK membuat norma baru dalam persyaratan capres/cawapres padahal ini masuk dalam ranah open legal policy atau diserahkan kepada DPR untuk merumuskan norma tersebut. Padahal dalam permohonan pemohon tidak menyebutkan klausa tersebut.

Dari kedua poin diatas, apabila kita perhatikan dengan kehadiran suatu putusan yang tidak lagi menyoalkan konstitusional atau inkonstitusional melainkan putusan yang “kondisional” dengan keadaan politik yang kian hangat menjelang transisi RI 1 dan RI 2 di tahun depan nanti. Putusan yang kontroversial itu pun semakin menjadi-jadi sebab tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan, hal ini disebabkan sifat putusan MK itu final dan mengikat meskipun seandainya nanti hakim konstitusi terbukti melanggar kode etik oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

Isi putusan yang memberi ruang untuk menjadi capres/cawapres di Indonesia tidak mutlak harus berusia minimal 40 tahun seperti pilpres sebelumnya melainkan menambah persyaratan lain yang apabila belum berusia 40 tahun namun pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah maka diperbolehkan untuk menjadi salah satu kandidat capres/cawapres.

Secara kebetulan, apa yang ramai dibincangkan bahwa akan ada kandidat cawapres namun belum berusia 40 tahun akan digadang-gadang ikut kontestasi pilpres nanti. Dan ternyata benar adanya, tak lama setelah MK mengeluarkan putusannya tanpa jeda yang begitu lama terdengarlah deklarasi cawapres yang belum berusia 40 tahun namun sedang menjadi kepala daerah.

Hukum kini menjadi ajudan, tak lagi menjadi panglima

Ada adagium yang menyebutkan Politiae Legius Non Leges Politii Adoptandae yang artinya politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya. Adagium ini seakan bertolak belakang dengan hukum di negara kita. Nuansa kepentingan politik begitu kental dalam putusan MK nomor 90 ini, coba kita perhatikan dari pemohonnya yang hanya bermodalkan sebagai pengagum Walikota Solo. Apabila kita pikirkan kerugian konstitusional apa yang akan ia derita seandainya permohonan itu ditolak oleh Hakim Konstitusi.

Permohonan pengujian Undang-Undang terhadap persyaratan capres/cawapres bukan kali pertama diajukan dan ajuan-ajuan sebelumnya Hakim Konstitusi begitu ketat dan tegas untuk memeriksa legal standing pemohon hingga akhirnya menolak namun tidak untuk pemohon kali ini.

Penulis melihat bahwa proses sidang dan putusan MK ini adalah kacamata yang kita gunakan untuk melihat MK sebagai penjaga konstitusi namun isinya dipenuhi oleh dahaga politik kekuasaan dan nepotisme hingga Sang Penjaga Konstitusi pun menyuguhkan secangkir air untuk menghilangkan dahaga politik kekuasaan yang mengerang kehausan.

Indonesia sebagai negara hukum tentu harus memastikan perlindungan warga negara terhadap kesewenangan para penguasa. Namun kini kesewangan para penguasa bisa terbungkus dengan begitu rapi dalam balutan prosedur hukum yang tersedia. Sebab etika kini telah dikesampingkan bahkan disimpan dengan rapi dalam bilik lemari di ujung sana.

Perkara MK nomor 93/PUU-XXI/2023 pun diputuskan dengan atas nama Tuhan dan keadilan. Menjadi sebuah ironi, saat pelanggaran etika acap dianggap hal biasa sepanjang tidak melanggar hukum padahal pelanggaran etik memiliki dampak yang luar biasa terhadap martabat dan marwah suatu institusi hingga hilangnya kepercayaan publik.

Tertinggal satu pertanyaan, bagaimana bisa kita membayangkan Mahkamah Konstitusi menjadi pengadil dalam memutuskan perkara sengketa Pemilu 2024 nanti sedangkan Mahkamah Konstitusi kini telah bersalin rupa menjadi Mahkamah Famili?

Mahasiswa Program Magister Hukum Universitas Mulawarman Samarinda,

 

 

Tags: Mahkamah AgungMahkamah KonstitusiMK RI
Mata Banua Online

© 2025 PT. Cahaya Media Utama

  • S0P Perlindungan Wartawan
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper