Sabtu, Agustus 16, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Realitas Politik di “Negeri Konoha”

by Mata Banua
25 Oktober 2023
in Opini
0
D:\2023\Oktober 2023\26 Oktober 2023\8\8\Najamuddin Khairur Rijal.jpg
Najamuddin Khairur Rijal (Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang)

 

Dalam politik, tidak ada kawan yang abadi dan tak ada musuh yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Adagium itu sudah teramat sering kita dengar dan realitas politik kita hari ini semakin membuktikan itu.

Artikel Lainnya

Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Antara Generasi Milenial Dengan Bonus Demografi Di Umur Indonesia 80 Tahun

14 Agustus 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Benarkah Angka Kemiskinan Kita Menurun ?

14 Agustus 2025
Load More

Betapa tidak, hari-hari terakhir ini kita disuguhkan pada realitas politik yang mungkin tidak pernah terbayang. Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Sepuluh dan lima tahun lalu, Prabowo dan Jokowi adalah lawan politik. Polaritasnya sangat terasa. Masyarakat terbelah, antara cebong (pendukung Jokowi) dan kampret (pendukung Prabowo). Benturannya sangat keras di akar rumput. Tapi siapa sangka, selepas Pemilu 2019, Prabowo yang kalah justru bergabung menjadi menteri di kabinet lawan politiknya, menyusul kemudian Sandiaga Uno yang pernah menjadi calon wakil presiden pendamping Prabowo.

Tiket Gibran untuk melenggang ke bursa cawapres diberikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK memberi “karpet kuning” pada Gibran untuk diusulkan sebagai cawapres oleh Partai Golkar. Meski belum berusia 40 tahun, tetapi pernah/sedang menjabat kepala daerah yang dipilih lewat pemilu, begitu putusan MK baru-baru ini. Ketua MK Anwar Usman adalah paman Gibran, adik ipar Jokowi. Publik menilai adanya konflik kepentingan dalam putusan ini hingga ramai-ramai menggugat ke komisi etik MK dan melaporkan dugaan kolusi dan nepotisme.

Lebih jauh, Jokowi dan Gibran adalah kader PDI-Perjuangan, partai penguasa selama satu dekade. Keberhasilan Gibran menjadi Walikota Solo tidak lepas dari kematangan strategi PDIP dan Jokowi effect. Namun dalam perjalanannya, keduanya disebut telah berkhianat. Secara tak terduga, Gibran diusulkan sebagai cawapres oleh Partai Golkar, di tengah keputusan PDIP menunjuk Gibran sebagai juru kampanye pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang diusung koalisi PDIP.

Meski Jokowi mengaku tidak ikut cawe-cawe dalam urusan capres-cawapres, tetapi sinyal-sinyal yang dikirimkan menunjukkan Jokowi cenderung ke arah Prabowo apalagi menggandeng putranya, ketimbang kandidat yang diusung partai yang telah membesarkan namanya dan mengantarkannya ke kursi presiden. PDIP meradang, relawan pendukung Jokowi kecewa. Bagaimana mungkin anak kemarin sore yang baru dua tahun jadi walikota dapat tiket gratis untuk menjadi cawapres. Bagi publik, tentulah Jokowi ada main di balik panggung.

Sementara itu, Sandiaga Uno, yang kader Partai Gerindra memilih keluar dan bergabung dengan PPP yang mengusung Ganjar-Mahfud lewat PDIP. Padahal lima tahun silam, PDIP yang mengusung Jokowi adalah lawan politik Sandiaga. Sandiaga juga disebut berkhianat oleh Gerindra yang telah membesarkan karier politiknya hingga sempat menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta dan cawapres 2019 silam.

Lebih menarik lagi membicarakan langkah politik mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Partai Demokrat. Setelah keluar dari koalisi pendukung Anies Baswedan yang dinilai berkhianat karena memilih Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar sebagai cawapres, Demokrat merapat ke Prabowo. Artinya, SBY dan Partai Demokrat menjadi partai pengusung pasangan Prabowo-Gibran. SBY dan Demokrat akan mendukung dan mengampanyekan Gibran, anak Jokowi, yang selama sepuluh tahun menjadi musuh politiknya. Sepuluh tahun Demokrat sebagai partai oposisi kini akan mendukung anak dari presiden yang selama sepuluh tahun dikritisinya. Hal ini setelah Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), anak SBY, belum laku untuk dijual sebagai kandidat cawapres.

Sementara itu, Anies Baswedan yang selama ini digambarkan sebagai antitesis Jokowi, memilih berpasangan dengan Muhaimin, Ketua Umum PKB, di mana PKB adalah bagian dari koalisi partai penguasa. Lebih menarik lagi jika melihat bahwa Anies diperjuangkan oleh PKS, partai Islam yang memiliki latar belakang Ikhwanul Muslimin (IM). Ada pandangan bahwa IM hampir tidak pernah cocok dengan Nahdlatul Ulama (NU). Sementara PKB memiliki basis massa NU, yang bersama PKS mengusung pasangan Anies-Muhaimin. Anies pun tak lepas dari label pengkhianat. Dirinya disebut mengkhianati guru politiknya, Prabowo. Prabowo-lah yang sukses mengantarkan Anies menjadi Gubernur DKI Jakarta 2017 silam, setelah menang melawan AHY, anak SBY.

Menarik pula ketika menjelaskan Partai Nasdem, partai koalisi pemerintah, yang sedari awal telah mendeklarasikan Anies sebagai calon presiden. Padahal Anies banyak digambarkan mengambil posisi berseberangan atau kontra dengan pemerintah. Akibatnya, hubungan Nasdem, Jokowi dan pemerintah disebut-sebut sedang retak atau bahkan mungkin memang sudah pecah. Publik lalu menghubung-hubungkan dengan ditetapkannya dua menteri dari Nasdem sebagai tersangka korupsi dalam waktu keduanya yang tidak begitu lama.

Jika diurai lebih jauh, ada banyak hal menarik untuk menggambarkan bagaimana balada politik di “negeri Konoha”. Sebagaimana diketahui, istilah Konoha marak digunakan netizen di media sosial untuk menggambarkan Indonesia. Konoha sendiri adalah desa fiksi di serial anime Naruto Shippuden yang disebut mirip dengan Indonesia. Di negeri ini, banyak hal yang tak terduga, banyak peristiwa politik yang membuat publik melongo sembari bingung bagaimana mungkin itu terjadi.

Itulah politik. Kawan bisa menjadi lawan, sebaliknya lawan sangat mungkin menjadi kawan. Antara siapa kawan dan siapa lawan menjadi abu-abu dan tidak jelas, sebab di tengah-tengahnya ada kepentingan. Atas nama kepentingan, yang lawan bisa jadi kawan, begitu juga sebaliknya. Implikasinya kemudian adalah hal ini menunjukkan kedewasaan politik kita belum matang. Politik kita masih lebih pada pertarungan kepentingan kelompok dalam perebutan kekuasaan, bukan sepenuhnya pada memperjuangkan kepentingan yang lebih besar, yakni rakyat, bangsa dan negara.

Lalu kita bisa apa? Satunya-satunya cara adalah masyarakat harus melek politik. Ikut mengawal dan menjadi elemen kritis terhadap berbagai realitas politik yang terjadi. Jangan menjadi masyarakat yang apatis dan antipati pada politik. Dibutuhkan kesadaran bersama untuk bergandengan tangan menjadi sebuah kekuatan yang terus memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara. Siapa pun yang terpilih kelak, semoga kepentingan publik diletakkan pada derajat yang paling tinggi.

 

 

Tags: Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah MalangNajamuddin Khairur RijalNegeri Konoha
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA