
Partai politik di Indonesia akhir-akhir ini masih menjadi sorotan publik, termasuk sikap para ketua umum partai politik di Indonesia tak luput dari berbagai macam kritikan. Termasuk sikap para ketua umum dalam menentukan capres dan cawapres hanya sebatas eletoral bukan secara kualitatif calon. Ketua umum partai politik di Indonesia menjelang pemilu 2024 semakin memanas yang dibuktikan adanya bongkar pasang koalisi serta beberapa ketua umum masih proses menjajaki untuk berkoalisi kepada partai yang memenuhi ambang batas (presidential threshold) untuk mengusung capres dan wapres.
Ketua umum masih memegang peranan yang sentral atas semua keputusan partai politik, politik yang dinamis membuat partai berkoalisi bukan berdasarkan kesamaan ideologi atau visi misi, namun orientasinya lebih ke partai mana yang lebih menguntungkan. Para kader partai di salah satu partai politik bahkan tidak mempunyai suara untuk menentukan siapa capres dan cawapresnya yang akan diusung partainya sebelum ketua umum partai mendeklarasikannya.
Besarnya kekuatan ketua umum partai politik dalam menentukan segala kehendaknya, membuat para kader partai yang menduduki jabatan di pemerintahan maupun di kursi legislatif mengatakan dirinya sebagai petugas partai dan semua tindakannya harus atas persetujuan ketua umum partai politik. Partai politik sendiri di Indonesia bisa dikatakan jauh dari nilai-nilai demokrasi di internal partainya, lalu bagaimana pemerintahan mau demokratis jika internal partainya sendiri tidak bisa menghidupkan nilai-nilai demokrasi di internal partainya.
Jabatan ketua umum memang tidak diatur secara langsung di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, namun di atur oleh masing-masing AD/ART partai itu sendiri. AD/ART masing-masing partai politik berbeda-beda tergantung kesepakatan para anggota partainya dalam menentukan jabatan ketua umumnya. Ada beberapa alasan yang mendasari mengapa ketua umum partai politik enggan untuk mengganti ketua umumnya. Pertama, sebagai daya tarik masyarakat setiap partai menokohkan salah satu orang sebagai representasi partai dan idiologi yang dibawanya. Kedua, karena partai politik ibaratnya sebagai perusahaan keluarga, siapa yang memiliki modal yang besar dalam mendirikan partai politik maka dia bisa berkuasa sebagai ketua umum semaunya dan biasanya akan mewariskan jabatannya kepada anak atau kerabatnya. Dari kedua alasan tersebut maka yang terjadi adalah terbentuk dinasti politik ditubuh partai politik dan di pemerintahan.
Jika kita melihat struktur partai politik memang terbentuknya berawal dari hukum perdata yang dimana beberapa orang berkumpul untuk mendirikan partai dan membuat AD/ART sebagai pijakan yang kemudian didaftarkan ke Kemenkumham dan apabila disetujui maka sudah sah menjadi partai plitik. Jadi bisa dikatakan partai politik bukanlah lembaga pemerintahan sehingga negara membebaskan untuk masa jabatan ketua umum untuk diatur di masing-masing AD/ART nya, namun sebagai organisasi yang berada di negara hukum dan organisasi partai politik sebagai instrumen demokrasi tentunya pembatasan-pembatasan masa jabatan ketua umum bisa di batasi oleh undang-undang agar tidak ada hak konstitusional masyarakat yang dicederai untuk menjabat sebagai ketua umum partai politik.
Bayangkan jika tidak ada batasan ketua umum partai politik maka yang terjadi adalah abuse of power atau kekuasaan yang berlebih, sehingga sesorang yang menjabat seumur hidupnya akan bertindak sewenang-wenang dan menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadinya. Bahkan ketika mempunyai kekuasaan yang lebih akan membentuk dinasti politik di internal partai poltik itu sendiri.
Dimanapun tempatanya dinasti politik itu ada, namun sebenarnya bisa diminimalisir dengan cara membatasi jabatan ketua umum agar partai politik tidak menjadi alat untuk meraih kekuasaan secara tidak demokratis, jika seseorang mempunyai kewenangan yang kuat pasti akan membawa sanak saudaranya bahkan anak dan cucunya untuk menjadi pengurus partai politik tanpa melewati kaderisasi sebagaimana yang telah ditetapkan masing-masing partai politik.
Beberapa partai politik di Indonesia yang ketua umumnya menjabat terlama saat ini. Pertama, Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai ketua umum partai PDIP kurang lebih selama 29 tahun sejak tahun 1993 yang pada saat itu namanya masih partai PDI dan berubah menjadi PDIP pada tahun 1999. Kedua, Muhaimin Iskandar atau akrab dengan sapaan Cak Imin ini menjabat sebagai ketua umum partai PKB sejak tahun 2005, artinya Cak Imin memimpin PKB hingga saat ini kurang lebih selama 17 tahun. Ketiga, Surya Paloh yang menjabat sebagai ketua umum partai NasDem sejak tahun 2013 hingga saat ini kurang 10 tahun menjabat. Keempat, Prabowo Subianto yang menjabat sebagai ketua umum partai Gerindra yang terpilih sejak tahun 2014 hingga saat ini kurang lebih menjabat selama 9 tahun.
Semakin langgeng kekuasaan ketua umum partai tersebut nantinya akan membuat demokrasi internal partai politik tidak sehat, sebab bisa menutup kesempatan kader-kader partai terbaiknya untuk memimpin partainya. Sebab secara struktural ketua umum memiliki peranan penting untuk menentukan arah, fungsi partai dan peranan ketua partai, sehingga rentan untuk disalahgunakan. Maka jabatan ketua umum perlu dibatasi oleh pemerintah dengan cara merevisi Undang-Undang Partai Politik agar jabatan ketua umum dibatasi sesingkat mungkin, misalnya hanya bisa menjabat 5 tahun 2 periode baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut agar terciptanya demokrasi yang stabil ditubuh internal partai.
Hendrik Kurniawan (Peneliti Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (PUSKOLEGIS) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya
Partai politik di Indonesia akhir-akhir ini masih menjadi sorotan publik, termasuk sikap para ketua umum partai politik di Indonesia tak luput dari berbagai macam kritikan. Termasuk sikap para ketua umum dalam menentukan capres dan cawapres hanya sebatas eletoral bukan secara kualitatif calon. Ketua umum partai politik di Indonesia menjelang pemilu 2024 semakin memanas yang dibuktikan adanya bongkar pasang koalisi serta beberapa ketua umum masih proses menjajaki untuk berkoalisi kepada partai yang memenuhi ambang batas (presidential threshold) untuk mengusung capres dan wapres.
Ketua umum masih memegang peranan yang sentral atas semua keputusan partai politik, politik yang dinamis membuat partai berkoalisi bukan berdasarkan kesamaan ideologi atau visi misi, namun orientasinya lebih ke partai mana yang lebih menguntungkan. Para kader partai di salah satu partai politik bahkan tidak mempunyai suara untuk menentukan siapa capres dan cawapresnya yang akan diusung partainya sebelum ketua umum partai mendeklarasikannya.
Besarnya kekuatan ketua umum partai politik dalam menentukan segala kehendaknya, membuat para kader partai yang menduduki jabatan di pemerintahan maupun di kursi legislatif mengatakan dirinya sebagai petugas partai dan semua tindakannya harus atas persetujuan ketua umum partai politik. Partai politik sendiri di Indonesia bisa dikatakan jauh dari nilai-nilai demokrasi di internal partainya, lalu bagaimana pemerintahan mau demokratis jika internal partainya sendiri tidak bisa menghidupkan nilai-nilai demokrasi di internal partainya.
Jabatan ketua umum memang tidak diatur secara langsung di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, namun di atur oleh masing-masing AD/ART partai itu sendiri. AD/ART masing-masing partai politik berbeda-beda tergantung kesepakatan para anggota partainya dalam menentukan jabatan ketua umumnya. Ada beberapa alasan yang mendasari mengapa ketua umum partai politik enggan untuk mengganti ketua umumnya. Pertama, sebagai daya tarik masyarakat setiap partai menokohkan salah satu orang sebagai representasi partai dan idiologi yang dibawanya. Kedua, karena partai politik ibaratnya sebagai perusahaan keluarga, siapa yang memiliki modal yang besar dalam mendirikan partai politik maka dia bisa berkuasa sebagai ketua umum semaunya dan biasanya akan mewariskan jabatannya kepada anak atau kerabatnya. Dari kedua alasan tersebut maka yang terjadi adalah terbentuk dinasti politik ditubuh partai politik dan di pemerintahan.
Jika kita melihat struktur partai politik memang terbentuknya berawal dari hukum perdata yang dimana beberapa orang berkumpul untuk mendirikan partai dan membuat AD/ART sebagai pijakan yang kemudian didaftarkan ke Kemenkumham dan apabila disetujui maka sudah sah menjadi partai plitik. Jadi bisa dikatakan partai politik bukanlah lembaga pemerintahan sehingga negara membebaskan untuk masa jabatan ketua umum untuk diatur di masing-masing AD/ART nya, namun sebagai organisasi yang berada di negara hukum dan organisasi partai politik sebagai instrumen demokrasi tentunya pembatasan-pembatasan masa jabatan ketua umum bisa di batasi oleh undang-undang agar tidak ada hak konstitusional masyarakat yang dicederai untuk menjabat sebagai ketua umum partai politik.
Bayangkan jika tidak ada batasan ketua umum partai politik maka yang terjadi adalah abuse of power atau kekuasaan yang berlebih, sehingga sesorang yang menjabat seumur hidupnya akan bertindak sewenang-wenang dan menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadinya. Bahkan ketika mempunyai kekuasaan yang lebih akan membentuk dinasti politik di internal partai poltik itu sendiri.
Dimanapun tempatanya dinasti politik itu ada, namun sebenarnya bisa diminimalisir dengan cara membatasi jabatan ketua umum agar partai politik tidak menjadi alat untuk meraih kekuasaan secara tidak demokratis, jika seseorang mempunyai kewenangan yang kuat pasti akan membawa sanak saudaranya bahkan anak dan cucunya untuk menjadi pengurus partai politik tanpa melewati kaderisasi sebagaimana yang telah ditetapkan masing-masing partai politik.
Beberapa partai politik di Indonesia yang ketua umumnya menjabat terlama saat ini. Pertama, Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai ketua umum partai PDIP kurang lebih selama 29 tahun sejak tahun 1993 yang pada saat itu namanya masih partai PDI dan berubah menjadi PDIP pada tahun 1999. Kedua, Muhaimin Iskandar atau akrab dengan sapaan Cak Imin ini menjabat sebagai ketua umum partai PKB sejak tahun 2005, artinya Cak Imin memimpin PKB hingga saat ini kurang lebih selama 17 tahun. Ketiga, Surya Paloh yang menjabat sebagai ketua umum partai NasDem sejak tahun 2013 hingga saat ini kurang 10 tahun menjabat. Keempat, Prabowo Subianto yang menjabat sebagai ketua umum partai Gerindra yang terpilih sejak tahun 2014 hingga saat ini kurang lebih menjabat selama 9 tahun.
Semakin langgeng kekuasaan ketua umum partai tersebut nantinya akan membuat demokrasi internal partai politik tidak sehat, sebab bisa menutup kesempatan kader-kader partai terbaiknya untuk memimpin partainya. Sebab secara struktural ketua umum memiliki peranan penting untuk menentukan arah, fungsi partai dan peranan ketua partai, sehingga rentan untuk disalahgunakan. Maka jabatan ketua umum perlu dibatasi oleh pemerintah dengan cara merevisi Undang-Undang Partai Politik agar jabatan ketua umum dibatasi sesingkat mungkin, misalnya hanya bisa menjabat 5 tahun 2 periode baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut agar terciptanya demokrasi yang stabil ditubuh internal partai.
Hendrik Kurniawan ,
PUSKOLEGIS,
Partai politik ,