Oleh : Hayatun Izati Annisa, S.Pd (Aktivis Muslimah)
Ibu merupakan orang yang terdekat bagi anak-anaknya, Dia sosok yang senantiasa diharapkan kehadirannya. Peran seorang Ibu sangatlah penting dalam keluarga yaitu mengayomi dan mendidik anak-anaknya. Akan tetapi, sangat menyedihkan, peran ini mulai tergerus oleh sistem yang mengatur saat ini, sehingga tidak sedikit kita temui ada ibu yang begitu tega menganiaya, menelantarkan bahkan membunuh anak kandungnya sendiri.
Dilansir tribunjabar.id,5/10/2023, seorang ibu di Subang, tega menghabisi nyawa anaknya sendiri lalu dibuang di Indramayu. Jasad korban, M Rauf (13), ditemukan dalam kondisi yang mengenaskan. Rauf ditemukan meninggal dunia dengan tangan terikat ke belakang dan kepala yang penuh luka. Korban ditemukan di Blok Sukatani, Desa Bugis, Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu, Rabu (4/10/2023).
Kasus pembunuhan anak yang dilakukan oleh ibu kandung di Subang tersebut, mendapat sorotan dari sejumlah pihak, salah satunya oleh psikolog.
Psikolog dari Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Cimahi Miryam Sigarlaki memaparkan, dari beberapa informasi yang diterimanya, terdapat sejumlah persoalan yang diduga menjadi pemicu tindakan kejahatan tersebut. Dia memaparkan beberapa kemungkinan dari kejadian tersebut. Pertama anak tersebut adalah korban perceraian orang tuanya, salah satu yang bisa menyebabkan ibunya seperti ini bisa saja salah satunya dampak dari perceraian. Kemungkinan kedua ialah masalah pelaku. Apakah ada gangguan tertentu yang harus diperiksa terlebih dahulu untuk memastikan kebenarannya. Kemungkinan ketiga, terkait dengan adanya konflik dalam keluarga dan masalah hubungan antara ibu dan anak, dan dukungan keluarga besar, sehingga dapat mempengaruhi kestabilan emosional yang dapat memperburuk situasi (jppn.com, 6/10/2023).
Kasus pembunuhan ibu dan anak di atas seperti fenomena gunung es, karena masih banyak lagi kasus-kasus yang serupa pun sering terjadi di negeri ini. Sungguh sangat miris!
Hal tersebut seharusnya membuat kita bertanya mengapa kasus seperti ini terus terjadi, kemana perginya fitrah dan nurani seorang ibu? Padahal, kita mengetahui bahwa seorang ibu merupakan sosok yang memiliki hati yang sangat lembut, penyayang terlebih kepada buah hatinya sendiri. Namun, mengapa saat ini begitu banyak ibu yang tega berbuat keji bahkan sadis yang menghantarkan menjadi penyebab kematian sang buah hati. Sungguh memilukan.
Semua terjadi pasti bukan tidak ada sebab melainkan pasti ada pemicunya. Akan tetapi,tindakan semacam itu tidak bisa dibenarkan begitu saja. Akar penyebabnya tentulah suatu problematika kehidupan yang sangat dahsyat, sehingga mampu meruntuhkan kekuatan naluri alamiah ibu. Tidak dapat kita pungkiri bahwa sistem aturan kehidupan yang diterapkan saat ini yang notabenenya adalah kapitalisme-sekularisme,
Beragam analisa mengungkapkan terkait faktor penyebabnya. Mulai dari faktor kesulitan ekonomi yang diderita oleh sebagian besar masyarakat. Kemiskinan sistemik karena diberlakukannya sistem kapitalisme telah berhasil menjadikan rakyat melarat hingga sekarat. Negara pun dalam hal ini telah abai dengan permasalahan yang menimpa rakyat. Dengan dalih liberalisasi dan memandirikan masyarakat dari sisi ekonomi
Sosok para suami di masa kapitalis kini demikian kesulitan dalam mewujudkan perannya sebagai pencari nafkah. Maka sang ibu pun akhirnya wajib turut serta memikirkan beban ekonomi keluarga. Tak sedikit dari para ibu yang ikut bekerja dengan pendapatan yang tidak seberapa. Dan sistem kapitalisme yang telah menyebabkan beban ekonomi masyarakat semakin berat. Hal ini salah satu penyebab keharmonisan dalam rumah tangga retak, bahkan tidak sedikit hingga berujung perceraian. Maka wajar dan tidak aneh jika kemudian mengakibatkan stres, sehingga depresi menimpa banyak keluarga muslim di negeri ini. Inilah yang disinyalir salah satu penyebab dari tercerabutnya naluri kasih sayang seorang ibu.
Ditambah dengan sekularisme yang dianut negeri ini telah berhasil melemahkan pondasi keimanan masyarakat. Agama hanya sebagai ibadah ritual semata, agama tidak dijadikan sebagai pengatur seluruh aspek kehidupan. Padahal ketika agama tidak dijadikan pegangan, justru akan mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan kehidupan.
Inilah wajah sekularisme, yang senantiasa hanya berpikir pragmatis dan mencari solusi praktis atas permasalahan yang ada. Tidak memiliki solusi komprehensif dan selalu bertindak responsif mengikuti nalurinya. Akhirnya sekularisme telah mampu mencabut naluri keibuan dan pemuliaan pada sosok seorang ibu bahkan sampai tega membunuh anak kandungnya sendiri. Sungguh sangat mengenaskan hidup dalam cengkraman sistem kapitalis-sekular.
Berbeda dengan sistem Islam. Sebagai agama yang paripurna, Islam memiliki pandangan yang komprehensif terkait kehidupan. Islam memandang wanita dengan mulia, memberikan sebuah kehormatan tertinggi yaitu fitrah menjadi seorang Ibu. Penjagaan Islam terhadap wanita berupa hukum pakaian, wali, mahram, waris, segala hukum yang berkaitan dengan fungsi ibu sebagai pengatur rumah tangga dan mendidik anak (ummu wa rabbatul bait), itulah yang membuat wanita berharga dan terhormat. Jika ia menjalankan semua itu dengan baik dengan rasa takut kepada Allah SWT, berharap pada ridha-Nya, karena kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia adalah wanita sukses, tidak hanya di dunia, melainkan sukses di akhirat. Maka, sebagai Seorang ibu wajib mendalami agama sebagai bekal mendidik anak-anaknya. Bersikap lemah lembut dan penyayang. Rasa kasih sayang seorang perempuan akan selalu tumbuh, bahkan bukan untuk anak sendiri, melainkan juga untuk anak-anak umat Islam.
Dalam hal ekonomi, pemimpin dalam Islam bertanggungjawab atas pemenuhan kebutuhan pokoknya. Kita mengetahui negeri ini memiliki SDA yang melimpah, hanya saja sistem perekonomian kapitalisme diterapkan saat ini menjadikan rakyatnya hidup menjadi miskin. Kekayaan alam yang dimiliki banyak dikuasai oleh pihak swasta, para pemilik modal, dan oligarki. Sehingga kewajiban negara untuk menjamin kebutuhan pokok masyarakat seperti, sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, keadilan dan keamanan tidak terlaksana. Dengan demikian tak akan dijumpai masyarakat miskin, stres atau depresi akibat himpitan ekonomi.
Sebab, pemimpin dalam Islam memiliki tanggung jawab berlandaskan keimanan dan ketakwaan hanya kepada Allah SWT. Islam telah mengajarkan agar manusia menjadi pemimpin yang baik, adil, jujur, amanah, dan bijaksana. Karena, kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Tidak hanya itu, Hal ini hanya dapat diwujudkan jika Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahualam.