Oleh: Nanang Qosim, S.Pd.I.,M.Pd (Dosen Agama Islam Poltekkes Kemenkes Semarang, Pengurus Pergunu Kota Semarang)
Tahun Politik kini sedang berlangsung dan pemilihan umum sudah di depan mata. Rakyat akan memilih wakil rakyat baik pusat maupun daerah. Dari pesta demokrasi tersebut rakyat tak terlalu muluk berharap setelah melaksanakan hak pilihnya. Harapannya, hanya satu (terutama) bagaimana pemilu mampu mengangkat derajat kehidupan rakyat, aman, tenteram, dan sejahtera.
Rakyat harus memilih dan menentukan pilihan, meskipun para calon wakil rakyat itu cenderung banyak yang tak dikenalnya. Rakyat hanya tahu dari permukaan, mulai berlatar belakang pengusaha, artis, model, pengacara, guru hingga yang berlabel tokoh agama dan tokoh organisasi masyarakat.
Kalau yang didengungkan mereka dengan keharusan rakyat memilih katanya demi perubahan dan menciptakan iklim demokrasi yang baik dan menata masa depan yang sukses, bisakah itu terjamin? Seharusnya mereka bisa menjamin itu, bukan untuk membuktikan janjinya, melainkan juga mengingat biaya operasional pemilu kali ini yang cukup besar, yaitu lebih dari Rp 37,4 triliun. Sebagaimana yang pernah dikemukakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara atau RAPBN 2024.
Adalah fakta yang sulit dibantah, banyaknya politisi dan wakil rakyat yang terlibat tindak korupsi, meskipun mungkin tidak sebanyak, hanya segelintir oknum di negeri ini. Di pihak lain, prestasi dalam memperjuangkan aspirasi dan harapan rakyat, tampaknya masih jauh dari harapan.
Golongan putih (golput) setiap pemilu baik pusat maupun daerah yang cenderung semakin tren, tampaknya menjadi alternatif rakyat untuk menunjukkan sikap skeptis rakyat kepada partai politik atau kepada calon pemimpin yang saat ini sedang gencar mencari dukungan. Bagaimana mungkin, pemilu merupakan pesta demokrasi sebagai wujud kedaulatan rakyat, tapi (kepentingan) rakyat itu sendiri terabaikan?
Jika itu yang terjadi, nasib rakyat semakin ambigu (tidak menentu, red) di tengah harapan perubahan yang ditawarkan para politisi dengan bumbu-bumbu politik hedonisme. Keambiguan rakyat akan mencapai klimaksnya ketika keinginan perubahan taraf kehidupan semakin tak jelas. Ketika rakyat menentukan pilihannya, ada bayangan kelam banyaknya hasil pilihan mereka pada pemilu tahun sebelumnya yang ternyata mengkhianati amanat rakyat. Karena hanya menghasilkan para wakil rakyat yang cenderung lupa daratan. Setelah terpilih para wakil rakyat atau pemimpin tersebut cenderung terlena dengan kekuasaan dan kue politik yang ditargetkannya.
Ketika rakyat memilih atau tidak memilih, kehidupan rakyat tetap dalam keadaan miskin, biaya sekolah mahal dan kebutuhan pokok sehari-hari semakin tak terjangkau. Posisi rakyat dalam pemilu kali ini maju kena mundur kena, memilih dibohongi, dikibuli, dan dipermainkan oleh hasil pilihannya sendiri. Sedangkan tidak memilih bisa dikatakan tidak ada harapan baru dan bagaimana mengubah nasib ke depan.
Sungguh rakyat dalam keadaan dilematis. Media massa baik cetak maupun elektronik yang bisa menjadi referensi untuk menilai dan memilah dalam memilih calon wakil rakyat atau pemimpin, ternyata sebagian subjektif dan cenderung jadi corong parpol tertentu.
Keadaan ambiguitas rakyat saat ini disebabkan demokrasi hadir tanpa ada garansi. Tidak ada jaminan bahwa dengan memilih 100%, kehidupan rakyat akan lebih baik. Tidak ada garansi bahwa demokrasi vox vovulity (suara rakyat) adalah vox dai (suara Tuhan). Hal ini disebabkan para penikmat dan pemeran sentral demokrasi negeri ini apakah partai politik, politikus, bahkan pemerintah, tidak berani memberikan jaminan pada rakyat. Kualitas moral, etika, dan tanggung jawab para pemain demokrasi baik secara kolektif dan individual, belum sepenuhnya berbicara kepada rakyat.
Sedikit iri dengan negara-negara lain yang sama memilih demokrasi dalam negaranya. Banyak kita saksikan pejabat-pejabat publik mulai dari perdana menteri, wakil rakyat serta aparatur negara lainnya yang terindikasi, dicurigai melanggar hukum, langsung mengundurkan diri. Meskipun belum divonis hakim atas dugaan penyimpangan hukumnya, mereka punya tanggung jawab moral, merasa gagal, dan tidak mampu untuk memperjuangkan amanat rakyat.
Berbeda dengan di negeri ini yang selalu berlindung di balik asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent), begitu percaya diri tampil di masyarakat (dengan jabatan dan kekuasaannya), sekalipun akhirnya divonis bersalah. Bahkan tak jarang yang berani melakukan rekayasa data dalam rangka pencitraan agar terkesan berhasil dan sukses.
Tampaknya, rakyat semakin disadarkan oleh pengalaman, ternyata demokrasi tidak menjamin apa-apa untuk mereka. Padahal, janji-janji selangit saat kampanye dari mulai kepala daerah hingga kepala negara, begitupun calon wakil rakyat dan para politisi, masih terngiang-ngiang dalam benak rakyat. Justru rakyat semakin “ambigu” karena semua partai mengaku baik, nasionalis dan berjuang untuk rakyat.
Rakyat sesungguhnya tidak terlalu urusan dengan sistem demokrasi apa yang dibangun dalam suatu pesta demokrasi. Yang terpenting bagi mereka, negara bisa menjamin harga sembako murah, kehidupan yang aman dan nyaman serta adanya keterjangkauan kebutuhan dasar lainnya seperti kebutuhan akan kesehatan dan pendidikan.