Haryati (Aktivis Muslimah)
Jelang tahun politik kembali pejabat di negeri ini yaitu Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengeluarkan pernyataan kontroversi. Beliau meminta kepada masyarakat agar tidak memilih pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan.
“Agama seharusnya dapat melindungi kepentingan seluruh umat, masyarakat. Umat Islam diajarkan agar menebarkan Islam sebagai rahmat untuk semesta alam. Bukan rahmatan lil islami, tok,” ujarnya.
Pernyataan Menyesatkan
Kalau kita cermati, pernyataan Menag tersebut sangat menyesatkan serta membahayakan kehidupan umat, karena agama dituduh sebagai alat politik. Agama yang dijadikan tertuduh dalam ini adalah Islam.
Pernyataan demikian menyiratkan pandangan bahwa agama Islam adalah sesuatu yang negatif, menjadi musuh bersama jika menyatu dengan politik dan pemerintahan. Pernyataan serupa juga sering dilontarkan oleh pejabat, tokoh masyarakat bahkan tokoh Islam yang menolak muatan agama, khususnya Islam. Seruan ‘tolak politisasi agama’ disampaikan kepada umat menjelang pilkada atau pemilu.
Gambaran negatif terhadap syariat Islam terutama yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan sebenarnya berasal dari pemikiran Barat yang menyesatkan. Tujuannya agar kaum muslimin takut dengan ajaran Islam atau yang dikenal dengan Islamofobia. Dan yang lebih menyedihkan, tuduhan itu justru datang dari kaum muslimin sendiri bahkan pejabat nomor wahid di Kemenag.
Politik Sekularisme
Seharusnya yang diperingatkan oleh Menag adalah menjauhkan politik dari prinsip sekularisme. Fakta membuktikan bahwa dalam sistem politik demokrasi sekularisme, jabatan dan kekuasaan sering dijadikan rebutan oleh parpol dan elit politik setiap Pemilu. Mereka menggunakan prinsip Machiavelli yaitu menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan.
Tidak jarang para politisi melakukan perbuatan islami jelang Pemilu demi meraih simpati dari masyarakat, misalnya bersorban, berkerudung, berkunjung ke para ulama atau habaib, berpose sedang shalat, buka puasa, dan sebagainya. Sedangkan dalam kesehariannya publik sudah mengetahui, kenyataannya tidak demikian. Tidakkah mereka yang pantas dikatakan mempolitisasi agama?
Bahkan yang lebih parah dalam politik demokrasi sekularisme adalah politik uang. Para politisi jor-joran mengeluarkan uang untuk bisa menduduki jabatan yang ingin diraihnya. Uang yang beredar dalam Pemilu bukan main-main jumlahnya. Menurut ekonom senior, Raden Pardede, belanja politisi sampai Pemilu mendatang mencapai Rp. 200 triliuan. Sebagian uang tersebut tentunya digunakan untuk politik uang.
Politik dalam Islam
Begitulah gambaran singkat politik sekularisme yang sangat membahayakan umat. Berkebalikan dengan politik dalam Islam. Politik tidak bisa dipisahkan dengan agama, karena agama harus menjadi landasan dalam menjalankan politik kenegaraan.
Islam, politik dan kekuasaan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Para ulama sudah membahas pentingnya agama dan kekuasaan bersatu. Imam Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmû’ al-Fatâwâ menyatakan, “Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya perkataan manusia akan rusak.”
Dalam Islam, menjadi penguasa merupakan tugas mulia, yaitu sebagai amal shalih untuk mengurusi seluruh urusan umat dengan menerapkan syariat Islam serta menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Allah Swt telah memerintahkan kepada para pemimpin untuk berhukum kepada syariat-Nya dan menunaikan amanah. Firman Allah Swt,
“Sungguh Allah menyuruh kalian memberikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia agar kalian berlaku adil.” (TQS An-Nisa’ [4]: 58).
Khatimah
Sudah seharusnya umat meluruskan pandangan soal politik dan kepemimpinan, bahwa pemimpin yang amanah bukan sekadar pemimpin yang saleh secara personal, tetapi juga menciptakan kesalehan secara menyeluruh. Ia tidak akan membiarkan satu aspek kehidupan bernegara pun yang tidak diatur oleh hukum-hukum Allah. Sebabnya, ia yakin tidak ada aturan yang terbaik melainkan yang datang dari risalah Islam.
Oleh karena itu, memilih pemimpin bukan sekadar memilih yang beragama Islam, tetapi memilih pemimpin muslim yang akan menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan sehingga tercipta rahmat bagi semesta alam. Tanpa menerapkan syariat Islam, sesaleh apa pun seorang pemimpin, tidak akan bisa mengundang rahmat Allah Swt.