
Selama ini, anak-anak sudah banyak yang awam bahkan tidak mengenal bahasa halus, kesantunan berbahasa, bahkan bahasa ibunya kacau. Berbeda dengan zaman saya kecil yang mau tidak mau hanya berbahasa Jawa. Berbahasa Indonesia ketika sudah menginjakkan kaki di bangku sekolah dasar. Realitasnya, zaman saya kecil tidak bisa diterapkan atau dihadirkan di era kini. Anak-anak saya misalnya, lebih fasih berbahasa Indonesia dibandingkan berbahasa Jawa. Saat mendengar bahasa Jawa yang halus, anak saya sering tanya, ini apa, Pa? Maksudnya apa? dan seterusnya.
Saya kira, anak-anak seusia anak saya di jenjang SD tidak hanya tidak tahu bahasa halus. Namun sudah banyak yang berbahasa kasar. Tidak bisa disalahkan begitu saja. Sebab, mereka dari bangun tidur sampai tidur lagi tidak bisa lepas dari media sosial yang bebas tanpa kontrol. Mereka meniru, menerapkan, dan membiasakan bahasa-bahasa gaul, slang, bahasa kasar dari media sosial.
Bahasa Kasar Anak
Fenomena bahasa kasar pada anak adalah kecenderungan anak untuk menggunakan kata-kata atau ungkapan yang kasar, vulgar, atau tidak pantas dalam komunikasi sehari-hari. Fenomena ini bisa menjadi masalah karena bahasa kasar dapat merusak hubungan sosial, mengganggu pendidikan, dan mencerminkan kurangnya pengendalian diri. Terdapat sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi anak menggunakan bahasa kasar. Pertama, meniru atau imitasi. Anak-anak cenderung meniru perilaku yang mereka lihat, termasuk penggunaan bahasa. Jika mereka melihat atau mendengar orang lain menggunakan bahasa kasar, mereka mungkin akan menirunya tanpa menyadari konsekuensinya.
Kedua, faktor lingkungan. Anak mungkin terpapar pada lingkungan yang menggunakan bahasa kasar, baik di rumah, di sekolah, atau di lingkungan sekitarnya. Jika mereka terbiasa mendengar kata-kata kasar dari orang dewasa atau teman sebaya, mereka mungkin mengadopsi bahasa tersebut. Ketiga, emosi dan frustrasi. Anak-anak yang kesulitan mengungkapkan emosi atau merasa frustrasi dapat cenderung menggunakan bahasa kasar sebagai bentuk penyaluran emosi mereka. Keempat, perhatian dan respons. Anak-anak sering mencari perhatian dan respons dari orang dewasa di sekitar mereka. Jika mereka melihat bahwa menggunakan bahasa kasar menyebabkan reaksi yang kuat atau perhatian yang lebih besar, mereka mungkin akan terus melakukannya sebagai cara untuk memperoleh perhatian.
Bagaimana Solusinya?
Bagi orang tua dan pengasuh untuk mengatasi fenomena bahasa kasar pada anak dengan cara-cara bernas. Pertama, batasi penggunaan gawai / gadget, durasi, intensitas menonton video utamanya di Youtube. Kedua, batasi paparan. Hindari atau batasi paparan anak pada konten media atau lingkungan yang menggunakan bahasa kasar. Pilihlah program televisi, film, dan game yang sesuai dengan usia anak dan mengandung nilai-nilai yang baik. Ketiga, berikan perhatian positif. Berikan perhatian dan respons positif ketika anak menggunakan bahasa yang sopan. Pujilah mereka ketika mereka menggunakan kata-kata yang pantas dalam berkomunikasi.
Keempat, aturan dan konsekuensi. Tetapkan aturan yang jelas tentang penggunaan bahasa dan terapkan konsekuensi yang sesuai jika anak melanggar aturan tersebut. Misalnya, batasan waktu bermain game jika mereka menggunakan bahasa kasar saat bermain. Kelima, pendidikan tentang emosi. Bantu anak mengembangkan keterampilan pengelolaan emosi yang sehat. Ajarkan mereka cara mengidentifikasi dan mengungkapkan emosi mereka dengan kata-kata yang pantas, sehingga mereka tidak perlu menggunakan bahasa kasar untuk mengungkapkan frustrasi atau amarah.
Keenam, berikan contoh yang baik. Penting bagi orang dewasa di sekitar anak untuk memberikan contoh penggunaan bahasa yang sopan dan pantas. Hindari penggunaan bahasa kasar dalam interaksi sehari-hari. Ketujuh, komunikasi terbuka. Bicaralah dengan anak tentang penggunaan bahasa yang pantas dan bagaimana penggunaan bahasa kasar dapat mempengaruhi orang lain. Ajarkan mereka alternatif kata-kata yang lebih sopan dan cara mengungkapkan emosi yang sehat.
Ingatlah bahwa setiap anak memiliki perkembangan yang berbeda, dan pendekatan yang tepat dapat bervariasi. Jika anak terus menggunakan bahasa kasar meskipun telah ada upaya untuk mengatasi masalah ini, penting untuk berkonsultasi dengan profesional seperti psikolog atau konselor untuk mendapatkan bantuan lebih lanjut.
Urgensi Eufemisme
Selain solusi di atas, sebenarnya yang paling penting adalah penguatan eufisme bahasa pada anak. Eufemisme bahasa merujuk pada penggunaan kata-kata atau ungkapan yang lebih lembut, halus, atau kurang menyinggung untuk menggantikan kata-kata yang lebih kasar, tidak sopan, atau terlalu jujur. Eufemisme digunakan untuk meredakan kekerasan atau ketidaknyamanan verbal dalam komunikasi sehari-hari atau dalam situasi yang sensitif.
Eufemisme dalam bahasa anak adalah penggunaan kata-kata atau ungkapan yang lebih lembut atau sopan untuk menggantikan kata-kata atau ungkapan yang mungkin dianggap kasar, tidak pantas, atau menyinggung. Penggunaan eufemisme dalam bahasa anak memiliki beberapa urgensi dan manfaat. Pertama, memperkenalkan konsep sosial, Eufemisme juga dapat membantu anak memahami konsep sosial yang lebih kompleks dengan cara yang lebih sederhana. Misalnya, mengatakan “tidak sopan” daripada “kasar” dapat membantu anak memahami etika sosial. Kedua, membangun keterampilan komunikasi. Penggunaan eufemisme dalam bahasa anak dapat membantu mereka memahami dan mengembangkan keterampilan komunikasi yang lebih baik. Ini melibatkan penggunaan kata-kata yang sesuai dalam berbagai konteks.
Ketiga, memfasilitasi pembicaraan yang nyaman. Dengan eufemisme, anak-anak mungkin merasa lebih nyaman untuk berbicara tentang topik yang mungkin dianggap tabu atau sensitif. Misalnya, berbicara tentang kematian dengan menggunakan eufemisme seperti “pergi ke alam abadi” dapat membuat anak merasa lebih nyaman untuk bertanya dan berbicara tentang konsep ini. Keempat, melindungi perasaan. Eufemisme membantu melindungi perasaan anak-anak. Ketika berbicara dengan anak-anak, kita sering ingin menghindari kata-kata yang bisa menyakiti atau membuat mereka merasa tidak nyaman. Dengan menggunakan eufemisme, kita dapat mengkomunikasikan pesan atau konsep dengan lebih lembut. Kelima, pembelajaran yang lebih positif. Menggunakan eufemisme dalam pengajaran dapat membuat pembelajaran lebih positif. Misalnya, menggantikan kata “gagal” dengan “belum berhasil” dapat membantu anak memandang kegagalan sebagai bagian dari proses pembelajaran yang normal.
Namun, penting untuk diingat bahwa penggunaan eufemisme dalam bahasa anak haruslah seimbang. Terlalu banyak eufemisme juga dapat menyebabkan anak tidak memahami bahasa yang lebih tepat untuk menggambarkan situasi tertentu. Oleh karena itu, penting untuk mengajarkan anak-anak tentang kata-kata yang lebih tepat ketika mereka sudah cukup matang untuk memahaminya. Pada praktiknya, eufemisme sering digunakan dalam berbagai konteks, termasuk pembicaraan tentang kematian, penyakit, seksualitas, kecacatan, dan topik-topik sensitif lainnya. Contoh eufemisme yang umum adalah “berpulang” untuk menggantikan kata “mati”, “terkena masalah” untuk menggantikan kata “tersandung”, atau “kurang beruntung” untuk menggantikan kata “cacat”.
Eufemisme juga dapat digunakan dalam tujuan retoris, seperti untuk merayu, menyamarkan, atau menyembunyikan arti yang sebenarnya dari suatu pernyataan. Sebagai contoh, dalam bidang politik, eufemisme sering digunakan untuk meredam atau mengubah persepsi tentang kebijakan atau tindakan yang kontroversial. Meskipun eufemisme dapat membantu menghindari kekasaran atau menyampaikan pesan dengan lebih sopan, mereka juga dapat menjadi sumber kebingungan atau kehilangan makna yang jelas dalam komunikasi. Oleh karena itu, penting bagi pendengar atau pembaca untuk memahami konteks dan tujuan penggunaan eufemisme dalam suatu situasi untuk menginterpretasikan pesan dengan benar.
Terdapat contoh eufemisme dalam bahasa anak. Misalnya, mau buang air kecil (BAK): mau pipis, mau buang air besar (BAB) : mau pup, tidur siang: waktunya bobo, makan siang : waktunya makan siang, tatuh: terjatuh, sakit perut: perut lagi nggak enak, makan camilan : makan cemilan enak-enak, minum susu : minum susu anu, mengompol : celana basah, tidur lelap : tidur nyenyak, dan lainnya. Pada intinya, eufemisme dalam bahasa anak dapat bervariasi bergantung pada budaya, keluarga, dan lingkungan anak tersebut. Beberapa istilah mungkin tidak umum atau berbeda di berbagai daerah. Lalu, apakah ada bentuk eufemisme yang lain?