
Ada pemandangan yang berbeda selama beberapa bulan terakhir ini di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Kota Banjarbaru, Banjarmasin, dan beberapa kabupaten sekitarnya hampir tidak pernah lagi melihat indahnya langit biru. Sinar matahari dan udara pagi yang segar dan menyehatkan sementara ini hanya menjadi angan-angan. Sebab, sejak sekitar bulan Juli hingga awal Oktober 2023, kabut asap selalu menyelimuti daerah-daerah tersebut sejak pagi hingga malam hari.
Kabut asap dari pembakaran/kebakaran lahan/hutan semakin tebal dan pekat. Relawan dan petugas pemadam kebakaran dari berbagai penjuru pun terus berupaya membantu memadamkan titik-titik api. Namun apalah daya, jumlah relawan dan petugas pemadam sangat terbatas, sementara jumlah dan area titik api yang harus dipadamkan banyak dan tersebar cukup luas. Belum lagi soal letak titik api yang seringkali terjadi di area yang sulit diakses dari jalur darat, ditambah lagi sulitnya mencari sumber air di area sekitar. Walaupun ada dukungan helikopter water bombing dari udara, namun tentu tidak mampu mencover semua area, mengingat kebakaran lahan/hutan dan kabut asap terus muncul di berbagai titik.
Tingginya kasus kebakaran maupun kebakaran lahan/hutan memang menjadi salah satu resiko yang patut diwaspadai sejak terjadinya fenomena El Nino beberapa bulan yang lalu. El Nino sendiri yakni peristiwa di mana suhu air laut yang ada di Samudra Pasifik memanas di atas rata-rata suhu normal. Hal tersebut membuat suhu permukaan air laut di sekitar Indonesia menurun yang berakibat pada berkurangnya pembentukan awan yang membuat curah hujan menurun.
Berdasarkan halaman Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Minggu (1/10/2023), pukul 08.00 WITA, Provinsi Kalimantan Selatan tercatat menduduki peringkat ketiga polusi udara paling buruk nomor tiga di Indonesia, dengan indeks kualitas udara (IKU) sebesar 202, di bawah Provinsi Sumatera Selatan (347) dan Provinsi Kalimatan Tengah (306), yang menduduki peringkat satu dan dua. Kondisi tersebut lebih parah dibandingkan DKI Jakarta yang menempati peringkat 4 dengan IKU sebesar 176.
Berdasarkan Permen LHK No. 14 Tahun 2020 tentang Indeks Standar Pencemar Udara, angka ISPU Provinsi Kalimantan Selatan (202) berada pada rentang 201-300, dengan kategori sangat tidak sehat, yang artinya Tingkat kualitas udara yang dapat meningkatkan resiko kesehatan pada sejumlah segmen populasi yang terpapar. Dimana untuk kelompok sensitif disarankan untuk menghindari semua aktivitas di luar. Perbanyak aktivitas di dalam ruangan atau lakukan penjadwalan ulang pada waktu dengan kualitas udara yang baik. Serta setiap orang diharapkan dapat menghindari aktivitas fisik yang terlalu lama di luar ruangan, pertimbangkan untuk melakukan aktivitas di dalam ruangan.
Dampak nyatanya, berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, hingga pertengahan September 2023, kasus Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) di Provinsi Kalimantan Selatan mencapai 189.111 Kasus, jauh naik dibanding tiga bulan sebelumnya. Walaupun masih belum ada catatan yang menunjukkan angka kematian akibat ISPA, namun tingginya kasus tersebut tentu tidak dapat disepelekan.
Selain berdampak pada kesehatan, kabut asap juga mengakibatkan terganggunya transportasi darat, laut, bahkan udara. Sejumlah pengendara yang melintasi beberapa ruas jalan utama maupun jalan penghubung antar kabupaten kerap kali harus ekstra waspada akibat minimnya jarak pandang akibat pekatnya kabut asap, terutama pada jam-jam tertentu pada malam dan pagi hari. Demikian juga yang terjadi pada transportasi sungai, mengingat di Kalimantan Selatan juga banyak penduduk yang menggunakan transportasi sungai, kabut asap mengakibatkan warga yang menggunakan klotok atau kapal sebagai alat transportasi, juga kerap mengeluhkan hal yang sama.
Dampak yang lebih parah terjadi pada transportasi udara. Entah sudah berapa penerbangan yang terpaksa mengalami pembatalan atau penundaan jadwal penerbangan karena minimnya jarak pandang akibat kabut asap. Hal tersebut tentu tidak hanya berdampak pada aspek transportasi dan distribusi barang, tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi, baik bagi penyelenggara jasa maupun pengguna layanan.
Di sisi lain, berdasarkan catatan Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) Kota Banjarmasin, hingga bulan Agustus 2023, setidaknya sudah terjadi lebih dari 120 kali musibah kebakaran di Kota Banjarmasin. Angka kasus kebakaran juga semakin meningkat sejak juni 10 kasus, juli 25 kasus, hingga 31 kasus di Bulan Agustus 2023.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Sehingga dalam hal ini, fenomena kekeringan dan kebakaran lahan/hutan dapat dikategorikan sebagai bencana.
Fenomena el nino, kekeringan, kebakaran lahan/hutan dan kabut asap tentu bukan hal yang tiba-tiba terjadi. Pun juga bukan hal yang baru pertama kali kita hadapi. Artinya, kita sudah pernah mempunyai pengalaman dalam menghadapi fenomena ini, yang seharusnya kita bisa belajar dari kejadian fenomena el nino yang pernah kita hadapi sebelumnya.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan bahwa mitigasi sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab dan wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah, yang dilaksanakan secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.
Salah satu tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana antara lain adalah pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan, dan pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan belanja daerah yang memadai. Untuk itu seharusnya bisa dilakukan berbagai upaya mitigasi terhadap bencana kebakaran, kebakaran hutan/lahan dan kabut asap. Beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain dengan melakukan pemantauan dan pemetaan potensi titik api.
Hal lain yang tak kalah penting adalah peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana. Sosialisasi dan edukasi sekali lagi menjalankan peran penting, guna meminimalisir resiko yang diakibatkan oleh bencana. Sosialisasi dan edukasi dapat terus digalakkan hingga level desa, dan sebisa mungkin dapat menyatu dengan pola hidup masyarakat. Meningkatkan sosialisasi terhadap larangan pembakaran lahan/hutan, termasuk larangan pembukaan lahan atau penyiapan lahan penanaman dengan cara membakar yang kiranya dapat masuk menjadi hukum adat desa setempat, sehingga dapat lebih ditaati oleh warga. Hal-hal tersebut harus dilakukan sebelum memasuki masa el nino. Setelah Upaya sosialisasi dilakukan, perlu naik ke tingkatan selanjutnya, yakni melakukan patroli berkala dan pengawasan yang lebih ketat serta penegakan hukum atas pelanggaran yang terjadi.
Selain itu juga diperlukan dukungan secara infrastruktur, pembuatan sumur bor, pembuatan parit pada tempat-tempat yang rawan menjadi titik api. Dukungan armada mobile yang dapat menunjang kemudahan akses menuju ke tempat-tempat yang terpelosok dan minim air juga perlu dipersiapkan sejak dini.
Upaya penanggulangan bencana memang tidak mudah, namun lebih sulit lagi jika kita terus menerus terjebak dalam bencana yang semakin memburuk akibat kita tidak melakukan mitigasi bencana. Diperlukan komitmen yang tinggi dari semua pihak, khususnya Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan apparat penegak hukum sebagai representasi pemerintah terhadap penegakan hukum bagi pembakar lahan/hutan, agar penanggulangan bencana menjadi semakin efektif, dan menyelesaikan akar permasalahan dan tidak terus berulang di setiap musim. Jangan sampai, ketidaksiapan dalam menghadapi bencana, membuat kita hanya sibuk mengatasi asap, tanpa ada upaya mematikan sumber api yang menyebabkan api dan asap semakin menjadi-jadi.