
Demonstrasi mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang, menolak kampus dijadikang panggung politikus.(foto: foto/ist)
Fresh from the oven, kira-kira itulah ungkapan yang tepat untuk mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia baru mengeluarkan putusan untuk memperbolehkan berkampanye di lingkungan pendidikan. Putusan ini menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan. Ketua Mahkamah Konstitusi sendiri menyatakan kalau putusan MK akan selalu menimbulkan pro dan kontra sampai kiamat pun tidak akan ada sebuah putusan hakim yang memuaskan semua pihak.
Pemilu 2024 kian mendekat, hari demi hari rasa euforia untuk menyambut pesta rakyat lima tahunan pun kian menjadi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) yang jumlahnya mencapai 204.807.222 pemilih. Melansir dari media Republika, berdasarkan hasil rekapitulasi DPT, mayoritas pemilih Pemilu 2024 didominasi dari kelompok generasi Z dan milenial. Apabila dijumlahkan pemilih dari generasi Milenial dan generasi Z sebanyak 56.45% atau 113.622.550 pemilih dari jumlah DPT Pemilu 2024 nanti.
Aneh bin ajaib bagi Penulis saat melihat secara langsung reaksi para mahasiswa yang begitu dingin bahkan antipati padahal momentum seperti ini yang semestinya dilakukan dan dirayakan selama ini. Hanya saja trauma masa lalu berhasil memenjarakan dan menjauhkan aktivitas mahasiswa dari isu politik hingga budaya kritik kebijakan penguasa. Padahal Pemilu 2024 menjadi tahun dimana para pemilih didominasi oleh generasi muda bangsa ini, tapi sayang walaupun secara kuantitas mendominasi namun kesadaran amatlah rendah. Sungguh Ironi.
Catatan Hitam Dunia Pendidikan Tinggi Indonesia
Catatan panjang dunia pendidikan Indonesia kerap bingung untuk bersikap terhadap isu politik terlebih dibicarakan di lingkungan pendidikan hari ini. Fenomena seperti ini tidak lepas dari proyek NKK/BKK yang diterapkan pada masa Orde Baru. NKK atau Normalisasi Kehidupan Kampus serta BKK atau Badan Koordinasi Kemahasiswaan merupakan pilihan yang diambil dari rezim orde baru pada tahun 1977-1978. Program ini bertujuan agar para mahasiswa tidak ikut campur dalam urusan pemerintahan serta membatasi kebebasan berekspresi mahasiswa sebagaimana mestinya. Intinya adalah para mahasiswa diharamkan untuk mengkritik pemerintah dan larangan mengikuti kegiatan politik.
Sekedar menginformasikan kepada para Pembaca, pasca diberlakukan Program NKK/BKK tersebut membuat lingkungan pendidikan tinggi pun terisolir dari hiruk-pikuk politik dan pemerintahan di negeri sendiri. Terisolirnya lingkungan pendidikan dari isu politik dan isu pemerintahan mampu mengebiri kegiatan aktivitas politik mahasiswa.
Dalih Pemerintah Orba kala itu melakukan intervensi dalam kehidupan kampus adalah menjaga stabilitas politik dan pembangunan. Sehingga hasil kebijakan ini menempatkan mahasiswa jauh tinggi di puncak menara gading dibandingkan realita sosial yang ada. Setelah berjalan selama kurang lebih 2 dekade, tahun 1998 menjadi berakhirnya masa orba sekaligus tahun dihapuskannya proyek NKK/BKK yang mengizinkan kembali kegiatan politik mahasiswa.
Nasi Telah Menjadi Bubur
Begitulah kata pepatah apabila kita melihat mahasiswa yang telah bertransformasi menjadi tahanan penjara berpikir hari ini. Penulis menyebut keadaan mahasiswa kini hanya paham pada tatanan teori belaka, tak dapat dipungkiri kalau aktivitas akademik di lingkungan perguruan tinggi hanya berkutat pada study oriented belaka.
Ketika Mahkamah Konstitusi memberi lampu hijau untuk melakukan kampanye di lingkungan Pendidikan terkhusus pada perguruan tinggi, respons yang diberikan hanya reaksi dingin saja dan lebih cenderung pada ketakutan yang ditambah kekhawatiran kalau area perguruan tinggi menjadi lahan basah dalam peta politik pemilu 2024 kelak.
Penulis memperhatikan gejala-gejala seperti ini telah menjadi hal yang normal dan lumrah, karena seorang mahasiswa harus cepat selesai studi dan meraih IP (indeks prestasi) yang tinggi. Lebih lanjut lagi, aktivitas mahasiswa berupa demonstrasi disebut sebagai kegiatan yang tidak sesuai dengan iklim masyarakat ilmiah. Kegiatan kemahasiswaan itu hanya seputar pengembangan minat dan bakat, kerohanian, dan penalaran saja. Dan yang menjadi gong dari trauma normalisasi kehidupan kampus itu sempitnya makna Tri Darma Perguruan Tinggi yang sebatas pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Sehingga untuk menjadi mahasiswa yang aktif berorganisasi dan menjalankan ritual akademik seperti diskusi, debat, menghadiri majelis keilmuan dan sebagainya kini menjadi perbuatan yang dianggap tabu di kalangan mahasiswa itu sendiri.
Bangun dari Tidur Panjang
Melalui tulisan singkat ini, Penulis ingin mengajak dan membunyikan sirene untuk membangunkan para generasi muda Indonesia dari tidur panjang yang lama di-ninabobo-kan oleh penguasa untuk mengambil peran yang sudah menjadi porsi dari seorang mahasiswa itu sendiri. Sadarlah kalau kita yang akan menjadi 56% suara yang akan menentukan kemana Republik ini pada transisi kekuasaan nanti.
Gunakan tahun politik ini untuk menjadi ajang siapa yang paling pantas untuk menjadi RI satu dan RI dua serta para wakil rakyat yang sesuai dengan apa yang kita kehendaki. Sekali lagi peran generasi muda bukanlah hal yang baru, bahkan sebelum merdeka pun para generasi muda lah yang berani untuk mengambil langkah agar menyegerakan kemerdekaan itu sendiri.
Dengan demikian, Penulis ingin menutup tulisan ini dengan ungkapan Penyair dan filsuf Jerman Bertolt Brecht yang berucap kalau “Buta terburuk adalah buta politik. Orang yang buta politik tak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya bergantung keputusan politik. Dia membanggakan sikap anti politiknya, membusungkan dada dan berkoar, “Aku Benci Politik! Sungguh bodoh dia yang tak mengetahui bahwa karena dia tidak mau tahu politik, akibatnya pelacuran, anak terlantar, perampokan dan yang terburuk, korupsi dan perusahaan multinasional yang menguras kekayaan negeri.”