
Anak-anak hakikatnya takut dengan setan. Namun, jika setan itu divisualisasikan menjadi gambar, video, karikatur, kartun, atau sejenisnya, mereka sebenarnya senang, bahkan ketagihan. Ya, beberapa waktu lalu, anak saya takut ketika mendengar suara Kuntilanak dan serigala meraung. Namun ketika melihat Youtube, dia malah suka dan memutar bekali-kali video pocong sedang telepon. Ini aneh. Jika mendengar suara takut, tapi melihat video pocong sedang telepon malah tertawa terpingkal-pingkal.
Seharusnya, usia SD/MI menjadi perhatian khusus dalam pembelajaran sastra anak. Khususnya, cerita rakyat yang berbau mistisisme dengan memasukkan unsur kearifan lokal. Sebut saja Kuntilanak, Sundel Bolong, Pocong, Wewe Gombel, Genderuwo, dan sejenisnya yang dikemas dalam sebuah cerita. Kita tentu ingat, banyak sekali cerita rakyat yang memang klenik, mistis, medeni, tapi sarat akan nilai-nilai dan karakter yang baik bagi anak.
Di sini, saya berpendapat pentingnya memasukkan folklore yang berisi setan-setan lokal tersebut. Mereka jauh lebih penting mengenal Kuntilanak, Sundel Bolong, Pocong, dan kawan-kawan daripada mengenal vampir maupun mumi. Sebab, vampir merupakan konstruksi mitologi masyarakat Epora Barat dan Eropa Timur sejak abad 18, dan mumi menjadi identitas Mesir kuno. Lalu, di mana identitas folklore kita ketika anak-anak tidak kenal lagi dengan Kuntilanak, Sundel Bolong? Justru, dunia perfilman kita mengenalkan setan-setan modern, seperti Suster Ngesot dan lainnya. Maka, folklore ini urgen dihadirkan di dalam ruang kelas, yang di dalamnya termasuk nama-nama setan tersebut.
Urgensi Folklore di Dalam Kelas
Konsep umumnya, folklore merupakan cerita rakyat yang berkembang dari mulut ke mulut dalam suatu masyarakat, biasanya berakar dari tradisi dan kebudayaan tertentu. Indonesia adalah negara yang kaya dengan budaya dan tradisi, sehingga memiliki banyak cerita-cerita rakyat yang dikenal sebagai folklore. Folklore beragam, namun yang berkembang di Indonesia, saya menyimpulkan terdapat sejumlah varian.
Pertama, cerita rakyat. Di sini, cerita rakyat merupakan cerita-cerita yang diwariskan dari generasi ke generasi, berisikan nilai-nilai moral, serta mengandung pelajaran hidup. Salah satu contoh cerita rakyat Indonesia adalah Si Kancil yang mengajarkan tentang kecerdikan dalam menghadapi situasi sulitm atau Bawang Merah Bawang Putih, Ontang Anting, dan lainnya.
Kedua, mitos dan legenda alam. Mitos dan legenda alam merupakan cerita-cerita yang menjelaskan asal-usul alam, gunung, sungai, dan fenomena alam lainnya. Misalnya, cerita tentang Danau Toba di Sumatera Utara, yang dipercaya sebagai bekas kaldera gunung berapi raksasa. Lalu juga ada Timun Mas, Jaka Tarub, Rawa Pening, dan lainnya.
Ketiga, legenda rakyat. Dalam konteks ini, legenda rakyat Indonesia mengisahkan tentang tokoh-tokoh heroik atau legendaris yang diyakini pernah ada dan memiliki peran penting dalam sejarah atau mitologi. Contohnya, Legenda Sangkuriang dari Jawa Barat, yang menceritakan tentang asal-usul Gunung Tangkuban Perahu dan Ciwidey, atau Legenda Roro Jonggrang dari Jawa Tengah yang berkaitan dengan asal-usul Candi Prambanan.
Keempat, cerita wayang. Kalau ini memang banyak. Cerita wayang merupakan cerita yang digunakan dalam pertunjukan wayang, baik itu wayang kulit atau wayang orang. Salah satu contohnya adalah Mahabharata dan Ramayana. Kedua epik ini sangat populer dalam budaya wayang di Indonesia. Kelima, pewayangan. Dalam konteks ini, pewayangan berbeda dengan cerita wayang di atas. Maksud pewayangan merupakan cerita-cerita yang berkaitan dengan pertunjukan wayang. Di Indonesia, terdapat berbagai jenis pewayangan, seperti wayang kulit Jawa, wayang golek Sunda, dan wayang kulit dari Bali.
Keenam, cerita anak, yaitu menjadi bagian penting dari folklore Indonesia. Cerita anak merupakan sebuah cerita yang mengilustrasikan dunia anak, mereka mengandung pelajaran dan nilai-nilai positif bagi anak-anak. Ada yang menyebut cerita anak ini sama dengan dongeng anak. Namun cerita anak sebenarnya lebih menegaskan pada dunia anak, seperti Tikus dan Kucing, Kancil dan Buaya, dan lainnya.
Ketujuh, hikayat yaitu sebuah epik tradisional yang memuat kisah petualangan pahlawan, perang, atau kisah kepahlawanan yang panjang dan kompleks. Contohnya adalah Hikayat Hang Tuah dari Melayu, menceritakan tentang keberanian dan kesetiaan empat sahabat. Selain itu juga banyak hikayat yang diajarkan seperti Hikata Indraputra, Hikayat Banjar, Hikayat Abu Nawas, Hikat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah, dan lainnya.
Kedelapan, cerita hantu dan misteri. Negara Indonesia juga memiliki banyak cerita-cerita hantu dan misteri yang menarik. Contohnya adalah Kuntilanak, Pontianak, atau Sundel Bolong, yang merupakan hantu-hantu yang sering muncul dalam mitos urban. Selain itu juga banyak sekali cerita-cerita hantu lokal seperti Genderuwo, Pocong, Begu Ganjang, Mariabanm Antu Banyu, Jerangkong, Glundung Plecek, Wewe Gombel, Kuyang, Dengis (Kelapa yang bisa berjalan sendiri), Banaspati, Hantu Longga/Dongga, Oreng Pete, Suanggi, Parakang, Babi Ngepet, Pesugihan, dan lainnya.
Sejumlah folklore di Indonesia di atas, mencerminkan keragaman budaya, adat istiadat, dan kepercayaan masyarakat yang berbeda-beda di seluruh kepulauan. Cerita-cerita ini menjadi sarana penting untuk melestarikan identitas budaya dan warisan leluhur, serta mengajarkan nilai-nilai kepada generasi yang lebih muda.
Pembelajaran Folklore di Kelas
Pembelajaran folklore adalah proses belajar mengenai cerita-cerita rakyat, legenda, mitos, dan tradisi lisan dari suatu kelompok masyarakat atau budaya tertentu. Folklore mengandung pengetahuan, nilai-nilai, norma, dan identitas budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui cerita-cerita lisan, tarian, lagu, dan praktik-tradisi lainnya. Pembelajaran folklore memiliki beberapa tujuan penting.
Pertama, pendidikan karakter. Melalui nilai-nilai yang terkandung di dalam folklore itu tentu bisa menjadi arusutama dalam penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Profil Pelajar Rahmatan Lil Alamin. Hal ini tentu harus ditangkap oleh semua pendidik di Indonesia.
Kedua, pelestarian dan pemertahanan warisan seni dan budaya. Pembelajaran folklore membantu mempertahankan dan melestarikan warisan budaya suatu masyarakat. Dengan mengajarkan cerita-cerita lisan dan tradisi-tradisi, generasi muda dapat menghargai dan menyadari pentingnya budaya mereka. Ketiga, pemahaman budaya. Memahami folklore membantu mengungkap aspek-aspek budaya suatu masyarakat. Cerita-cerita rakyat dapat mencerminkan sistem nilai, keyakinan, dan cara hidup orang-orang dalam suatu kelompok.
Keempat, peningkatan kreativitas. Folklore sering kali berisi unsur-unsur magis, mitos, dan fantasi yang dapat membangkitkan imajinasi dan kreativitas siswa. Siswa dapat diilhami untuk menciptakan karya seni, puisi, atau cerita mereka sendiri berdasarkan cerita-cerita rakyat yang mereka pelajari.
Kelima, pengembangan keterampilan berpikir kritis. Menganalisis cerita-cerita folklore juga dapat membantu mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan analitis. Mendekonstruksi makna cerita-cerita ini dan memahami konteks sosialnya dapat melatih pikiran kritis siswa.
Keenam, penguatan keterampilan berbahasa dan komunikasi. Folklore sering diwariskan secara lisan, yang dapat membantu meningkatkan keterampilan bahasa lisan siswa. Belajar mengenai kosakata dan struktur bahasa dalam konteks cerita-cerita folklore dapat memperkaya keterampilan komunikasi mereka. Ketujuh, mengasah keberanian peserta didik. Ketika mereka sudah tidak takut dengan hantu-hantu karena menjadi cerita dan tervisualisasikan di dalam kelas, mereka tentu akan berani di dunia nyata.
Untuk membelajarkan folklore dibutuhkan sejumlah metode pembelajaran yang tepat.
Pertama, pengumpulan cerita rakyat. Dalam hal ini, guru dapat mengajak siswa untuk mencari cerita rakyat dari berbagai sumber, seperti kakek-nenek, tetua desa, atau pustakawan. Mereka juga dapat menggunakan sumber buku, video, atau rekaman yang memuat cerita-cerita folklore.
Kedua, diskusi kelompok. Dalam konteks ini, diskusi kelompok dapat digunakan untuk membandingkan dan memahami persamaan serta perbedaan antara cerita-cerita rakyat dari berbagai budaya atau wilayah.
Ketiga, aktivitas kreatif. Siswa dapat membuat presentasi, drama, tarian, lukisan, atau karya seni lainnya berdasarkan cerita rakyat yang mereka pelajari. Aktivitas ini dapat memperkuat pemahaman dan keterampilan kreativitas mereka.
Keempat, kegiatan praktis. Siswa dapat diajak untuk mengikuti praktik-tradisi yang terkait dengan cerita-cerita rakyat, seperti merayakan hari-hari besar tertentu, atau mengenal tarian dan lagu-lagu tradisional.
Kelima, pembacaan dan analisis. Siswa dapat membaca atau mendengarkan cerita-cerita rakyat, lalu menganalisis karakter, tema, pesan moral, dan latar belakang budaya di balik cerita tersebut.
Pada intinya, pembelajaran folklore bukan sekadar mengajarkan cerita-cerita lisan dari masa lalu, tetapi juga membantu menghubungkan generasi muda dengan akar budaya mereka dan mengapresiasi keanekaragaman budaya di dunia ini. Jika tidak sekarang, lalu kapan lagi?