Kamis, Juli 3, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Seni Memaknai Etika Politik

by matabanua
31 Juli 2023
in Opini
0
D:\2023\Agustus 2023\1 Agustus 2023\8\8\Wira Dika.jpg
Wira Dika Orizha Piliang, S.IP.(Ketua Bidang Agitasi dan Propaganda GMNI Cabang Padang)

 

Etika terbentuk melalui proses filsafat moral. Dalam ilmu linguistik, kata “etika” berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang bermakna timbul dari kebiasaan. Maka dari itu, yang menjadi perspektif objeknya adalah tindakan, sikap, atau perilaku dari seseorang atau sekelompok orang dalam pelbagai situasi dan kondisi yang mengontrolnya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa etika merupakan bagian dari filsafat moral, yang kemudian meliputi norma, kaidah, dan ketetapan aturan yang mengikat di tengah lingkungan sosial dan masyarakat. Etika acapkali berkaitan erat dengan perilaku baik dan buruk manusia maupun sekelompok manusia.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\3 Juli 2025\8\master opini.jpg

Berantas Narkoba Selamatkan Masyarakat

2 Juli 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Kampus Bentuk Satgas Perlindungan Perempuan, Sudah Cukupkah?

2 Juli 2025
Load More

Dalam literatur sosiologi Perancis, kita mengenal Emile Durkheim sebagai bapak kerukunan sosial yang mendorong pendidikan moral lebih dipraktikan. Hal ini bertujuan agar kemudian manusia-manusia modern memahami perasaan dan harkat manusia lain. Konsep pembangunan moral dimaksudkan Emile guna membangun peradaban manusia yang humanis, nasionalis, dan patriotik. Dalam kehidupan berpolitik, membangun moralitas merupakan sesuatu yang mutlak guna mencapai tujuan bersama, sebagaimana tujuan akhir dari politik itu sendiri. Politik dan nilai-nilai etika yang bersifat normatif merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Konsep manusia sebagai makhluk politik menunjukkan bahwa pemikiran politik yang berkaitan dengan proses dan hasil dari kegiatan politik dalam suatu pemerintahan berdasarkan kepada esensi manusia. Hal ini berarti manusialah yang semestinya menjadi kriteria dari suatu dinamika sosial dan politik yang terjadi. Walaupun dalam politik orang bisa saja meremehkan fakta bahwa pada dasarnya manusia itu ambivalen, maka kekuasaan dimanapun dan kapanpun tidak hanya digunakan dengan baik tetapi juga sering disalahgunakan. Oleh sebab itu, sejak dulu manusia mengupayakan untuk menentang penyalahgunaan kekuasaan, terutama yang dilakukan oleh mereka para pemegang kekuasaan poltik.

Tahun Politik di Indonesia

Menuju tahun politik pada 2024, kedepannya Bangsa Indonesia akan dihadapkan pada manuver-manuver khas politisi yang lumrah terjadi. Lobi-lobi dari kelompok elit seakan menjadi pertunjukkan yang dengan bangga dipertontonkan oleh kelompok kepentingan menjelang tahun politik. Pemberitaan politik dalam media massa dan media sosial juga menjadi perbincangan hangat oleh publik. Menariknya, upaya-upaya dari kelompok kepentingan dalam meraup simpati publik menjelang pesta demokrasi seringkali diikuti oleh perilaku immoral dari pejabat publik pasca tahun politik usai.

Perbuatan immoral pejabat publik disebabkan ketamakan dari individu atau kelompok kepentingan yang haus dengan kekuasaan, atau loyal terhadap keluarga dan kroni-kroninya. Political cost yang besar jelas membebani elit politik untuk dapat menarik investor politik dalam proses pencalonannya. Akan tetapi, jenis immoralitas yang paling mengejutkan dalam jabatan publik seringkali ditampilkan dalam wajah yang lebih luhur. Bahwa tindakan immoralitas tersebut dilakukan untuk melayani kebaikan kepada masyarakat, sesuatu yang terkesan omong kosong, namun sah dalam dinamika politik yang terjadi.

Pada hakikatnya, politik merupakan seni untuk berkuasa. Dalam negara demokrasi, legitimasi kekuasaan dapat ditempuh melalui beragam mekanisme, termasuk pemilihan umum. Untuk apa sebenarnya kekuasaan tersebut? Friedrich Nietzsche, seorang filsuf dari Jerman, mengemukakan bahwa manusia memiliki insting untuk berkuasa. Sehingga orang-orang yang mencari kekuasaan biasanya dapat melakukan segala sesuatu yang dikehendakinya, walaupun upaya tersebut dapat bermuara terhadap kegagalan mereka dalam mencapai tujuan. Tentu kegagalan merupakan suatu kewajaran dalam politik. Dimana, seluruh roda kekuatan politik saling bergerak untuk mencapai porsinya.

Terdapat adagium popular yang acapkali kita baca dan dengar. Bahwa setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Demikianlah kekuasaan, proses sirkulasi elit dapat terjadi dalam periodeisasi tertentu. Hal paling lumrah dalam praktik demokrasi, adalah proses pemilihan umum. Dalam tahap ini, kekuatan-kekuatan politik dalam suatu negara akan bergerak. Siapa yang terkuat, maka dialah yang akan mencapai kekuasaan. Tidak jarang tensi-tensi politik memanas, mematikan logika, dan menerobos etika berpolitik oleh kelompok kepentingan yang berkompetisi. Namun begitulah politik bekerja, praktik-praktik menjijikan tersebut sah dan halal dalam tujuan mencapai kekuasaan.

Sejatinya, demokrasi tidaklah dirancang demi efisiensi, tetapi terdapat aspek dukungan mayoritas publik terhadap proses politik yang terjadi. Aspek dukungan publik tersebut merupakan modal bagi kelompok kepentingan, sebab dalam negara demokrasi kepercayaan publik ini langsung ditentukan oleh rakyat yang sengaja memilihnya. Walaupun bersandar kepada hasil pemilihan umum, pertanggungjawaban aktor politik dapat dikontrol melalui aturan baku yang telah disepakati dalam bentuk undang-undang maupun peraturan lainnya. Sayangnya, demokrasi seringkali terbatas kepada hal-hal yang bersifat konstitusional dan prosedural, tanpa menekankan aspek moral dan nilai-nilai etika di dalamnya.

Proses politik tidak dapat dilihat hanya sebatas pada kemenangan dan kekuasaan. Di dalamnya juga terdapat kelompok yang kalah, suara minor dalam pemilihan umum yang seringkali kita abaikan setelah kompetisi usai. Tindakan immoralitas tidak selalu tentang pihak yang menang, dan menyalahgunakan kekuasaan. Kegaduhan sosial seringkali juga dimunculkan oleh kelompok kepentingan yang kalah dalam medan pertempuran, dan bermanuver dengan narasi-narasi negatif terhadap kelompok terpilih. Tindakan tersebut jelas dapat mempengaruhi stabilitas sosial, terutama stabilitas politik. Kecenderungan tidak menerima kekalahan, menyisakan celah kosong bagi stabilitas politik.

Sejalan dengan pandangan Prof. Syafii Maarif, “Negeri ini kebanyakan tokoh, namun kekurangan negarawan”. Tamparan keras untuk aktor-aktor politik yang bertarung memperebutkan tampuk kekuasaan, tapi mereka lupa bahwa segala daya dan upaya yang mereka lakukan dalam pertarungan yang bersifat politik, besar kemungkinan akan bermuara pada kekalahan dan kegagalan. Sepertinya benar adanya, bahwa negeri ini terlalu banyak pagi, kebanyakan gairah. Hingga lupa bahwa hidup kadang harus disertai dengan perenungan. Semangat untuk para aktor yang bertarung di Tahun 2024, siap menang, juga harus siap kalah, ingat itu!

 

 

Tags: Etika PolitikKetua Bidang Agitasi dan Propaganda GMNI Cabang PadangWira Dika Orizha Piliang
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA