Zahra Kamila (HST)
Akhir-akhir ini hubungan Islam dan politik kembali ramai dibicarakan, terutama menjelang Pemilu. Mereka menyebut hal itu sebagai politisasi agama yang berbahaya.
Sudah sejak lama upaya memisahkan Islam dengan politik dilakukan secara sistematis dan gencar. Berbagai argumentasi disampaikan. Agama itu suci, sementara politik itu kotor. Kalau politik dikaitkan dengan agama, itu akan mengotori agama. Demikian kata mereka. Ada juga yang mengatakan, Islam bukanlah agama politik, tetapi agama ibadah dan akhlak.
Menggunakan agama sebagai dasar politik dan pengaturan politik bukanlah politisasi agama. Itulah yang memang diperintahkan oleh Islam. Yang layak disebut politisasi agama adalah saat agama digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek memenangkan Pemilu, lalu setelah menang Pemilu agama kemudian ditinggalkan. Inilah yang selama ini terjadi. Para elite politik cenderung mendadak islami menjelang Pemilu. Mulai dari pakai kopiah ( yang dianggap sebagai simbol pakaian islami), shalat jumat keliling, kunjungan ke pesantren dan majelis taklim, dan lain-lain. Namun, setelah menang Pemilu, semua simbol tersebut ditinggalkan. Mereka bahkan tetap menolak Islam sebagai dasar pengaturan politik dengan berbagai dalih.
Politisasi agama adalah buah dari sistem demokrasi liberal yang busuk. Demikianlah yang terjadi saat politik tidak diatur berdasarkan syariat Islam yang mulia, tetapi berdasarkan ideologi kapitalisme, yang menjadikan manfaat sebagai asas terpenting. Politik hanya ditujukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi demi mempertahankan kekuasaan politik. Dalam politik seperti ini, sikap pragmatis dan menghalalkan segala cara termasuk politisasi agama menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari politik.
Dalam Islam politik bukanlah sesuatu yang kotor. Politik Islam tidak identik dengan rebutan kedudukan dan kekuasaan. Dalam Islam arti politik yaitu mengurusi urusan umat, perbaikan, pelurusan, menunjuki pada kebenaran dan membimbing pada kebaikan.
Karena itu, dalam Islam, politik amatlah mulia sehingga Islam dan politik tak bisa dipisahkan. Alasannya: Islam adalah agama yang syaamil( menyeluruh) yang mengatur berbagai aspek kehidupan. Syariah Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah ritual, moralitas ( akhlak), ataupun persoalan -persoalan individual. Syariah Islam juga mengatur mu’aamalah seperti politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan sebagainya. Islam pun mengatur masalah uquubah ( sanksi hukum) maupun bayyinah ( pembuktian) dalam pengadilan Islam.
Alhasil , penting menyatukan Islam dan politik ini. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Al-Iqtishaad fi Al-I’tiiqaad, menyatakan,” Agama dan kekuasaan adalah dua saudara Kembar… Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak punya pondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga niscaya akan hilang.”
Sayang , politik Islam yang mulia telah diubah oleh paham sekularisme sedemikian rupa sehingga politik tersebut berwajah penuh kedustaan, penipuan, penyesatan dan pembodohan baik oleh penguasa maupun politisinya. Akibatnya , muncul anggapan bahwa politik itu kotor dan agama suci sehingga agama harus dipisahkan dari politik atau sebaliknya. Padahal tanpa agama perpolitikan merupakan hutan belantara.
Dalam carut marut politik seperti saat ini, keshalehan individual elit politik tentu tidak cukup dijadikan dasar pilihan politik . Tidak cukup pula untuk menyelesaikan masalah bangsa dan negara ini. Sebab, masalah bangsa dan negara berakar pada sistemnya, yakni sistem kapitalis sekular yang rusak. Inilah yang menjadi pangkal kerusakan dan kehancuran negeri ini. Karena itu kita membutuhkan bukan sekedar pemimpin yang shaleh, namun juga ideologi dan sistem yang shahih. Itulah sistem syariah Islam kaffah.