Oleh : Helda Wati (Pendidik di Batola)
Perihal pondok pesantren Al Zaytun di Indramayu masih sangat hangat untuk dibicarakan. Sejak terekspos media pada bulan April lalu terhadap penyelenggaraan ibadah sholat hari raya idul fitri, mulai terkuaklah berbagai kontroversi mengenainya. Dilansir dari kompas.com setidaknya ada 4 kontroversi tentang pondok pesantren tersebut, yaitu shaf sholat bercampur antara laki-laki dan perempuan, perempuan boleh menjadi khatib sholat jum’at, adanya dugaan tindak pidana dari pimpinan pondok pesantren, serta terafiliasi NII.
Maka wajar, kaum muslimin Indonesia yang syuur islami masih kental menjadi resah. Demo pun terjadi dimana-mana, pendapat-pendapat ahli mengenai kesesatan Al Zaytun juga keluar dari lisan para ustadz serta kelompok organisasi keislaman seperti Persis, PWNU Jabar, MUI Jabar, juga MUI Pusat yang merekomendasikan agar pemerintah segera menindak Al Zaytun. Forum Ulama Umat Islam (FUUI) juga meminta pemerintah untuk tidak menunggu lama lagi agar menindak Al Zaytun.
Sudah beberapa bulan berlalu, persoalan Al Zaytun ini tidak kunjung selesai. Tuntutan umat untuk pembubaran pondok pesantren ini belum terealisasi lagi. Ada dugaan bahwa negara kita abai terhadap penjagaan akidah umat.
Dengan memperhatikan fakta-fakta tersebut, kita melihat kesulitan yang dialami negara dalam penyelesaian persoalan ini. Negara terkesan tidak berdaya dan lemah, tidak bisa membela umat. Hal ini wajar karena kita mengetahui negara Indonesia bukan negara yang berasaskan Islam. Negara Indonesia adalah negara sekuler, negara yang tidak menggunakan agama dalam pengaturan urusan bernegara. Negara ini bebas dari aturan agama dan membuat aturan sendiri berdasarkan hak asasi manusia yang harus dipenuhi.
Dalam negara sekularis, kebebasan merupakan hal mutlak. Agama tidak dibenarkan dalam mengaturnya. Jadilah negara ini menganut kebebasan beragama, kebebasan berperilaku, kebebsan berpendapat serta kebebasan kepemilikan. Dalam hal kebebasan beragama, toleransi diartikan dengan salah. Atas nama toleransi sinkritisme menjadi biasa. Mencampuradukkan agama merupakan hal yang lumrah. Menyampaikan khutbah di gereja, ikut merayakan hari raya agama lain adalah contoh perbuatan sinkritisme. Pada zaman sekarang, penyimpangan merupakan perbedaan yang harus ditoleransi Dalam persoalan Al Zaytun ini, kaum muslimin diminta untuk menerima perbedaan dan tidak memaksakan. Bila iya maka kaum muslim tersebut terindikasi intoleran yang seakan-akan merupakan dosa besar pada zaman ini.
Padahal sudah jelas, ketika seseorang mengaku Muslim namun menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan akidah Islam serta melaksanakan ibadah yang menyalahi syariat Islam merupakan aliran sesat dan harus dibubarkan. Berat memang dalam penyelesaian kasus ini, negara tersandera pemikiran sekularisme. Selama negara masih saja menganutnya, maka akan bermunculan kesesatan-kesesatan dalam beragama. Tidak hanya menimpa agama Islam, bahkan bisa juga menimpa agama lainnya
Dengan demikian, sudah selayaknya secara pribadi kita menyadari dan memahami hal ini. Kemudian kita berupaka supaya pemahaman ini menjadi pemahaman bersama. Disinilah pentingnya pendidikan bagi umat serta muhasabah kepada penguasa. Umat harus menyadari bahwa persoalan ini hanya akan selesai kalau kita mencampakkan sistem sekularis dan mengambil Islam kaffah (Keseluruhan) dalam pengaturan urusan kehidupan, baik individu, masyarakat juga negara.