
Dewasa ini publik Indonesia dihebohkan dengan kasus kontroversial sekaligus penyimpangan agama yang dilakukan oleh Pesantren Al-Zaytun, terkhusus Panji Gumilang sebagai nahkodanya. Bagaimana tidak bertentangan? Begitu banyak pernyataan-pernyataannya yang trending di berbagai platform media sosial yang bertolakbelakang dengan ajaran Islam secara universal, seperti mengucap salam ala Islam diganti salam Havenu yang identik dilantunkan kaum Yahudi, adzan yang terbilang aneh, sholat berjamaah berjarak, pernyataan sebagai komunis, memperbolehkan perempuan berkhutbah/menjadi imam, tidak perlu bermazhab, bahkan bisa menebus zina dengan uang.
Pernyataan demikian tentu menuai kontroversi, baik ditinjau dari perspektif ajaran agama maupun kenegaraan. Sebab, secara syariat praktik ibadah yang diterapkan sangat jauh berbeda dengan ahlussunnah wal jamaah. Lalu secara kenegaraan pernyataan sebagai komunis oleh Panji Gumilang merupakan kontroversi besar, mengingat Indonesia memiliki sejarah kelam dengan paham komunis yang menyebabkan banjir darah yang mencapai puncaknya pada 1965. Lalu yang kembali muncul ke permukaan adalah keterkaitan Al-Zaytun dan NII begitu kental.
Apakah pernyataan-pernyataan tersebut membuat Al-Zaytun naik daun? Tentu tidak, justru terperosok ke dalam kubangan permasalahan. Sebab kontroversial yang sudah membanjiri jagad media telah memantik berbagai kalangan untuk merespon hal tersebut. Mulai dari tokoh agama, institusi pemerintah, akademisi, hinga masyarakat sipil pun dibuat tertegun, atas kontroversi-kontroversi yang tak kunjung mendapat tindakan tegas.
Kiai, Pesantren, dan NII
Hal yang identik melekat pada Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam adalah adanya sosok patron (Kiai/Guru/Ustadz). Posisi patron client (Kiai) merupakan orang yang memiliki otoritas besar dalam suatu Pesantren. Umumnya, peran pimpinan Pesantren menjadi teladan serta panutan bagi para santrinya, baik dalam bertindak, berperilaku maupun berpikir. Dalam membentuk karakter santri tidak jauh dari sang guru atas pengaruh interaksi / indoktrinasi.
Kepemimpinan Pesantren yang diterapkan satu pipa (apa kata pimpinan) di Al-Zaytun merupakan ciri khas yang tidak bisa dipungkiri. Sebagai sosok yang dinilai sebagai tokoh agama, apakah panji gumilang pantas disebut sebagai patron? Tentu demikian juga menimbulkan pro-kontra. Bagi pengikut setianya mungkin “iya”, sedangkan bagi mereka yang menentangnya bisa dipastikan “tidak”.
Bisa ditilik pada UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, bahwa makna dari Kiai didefinisikan sebagai seorang pendidik dengan kemampuanya dalam memahami ilmu agama Islam yang memiliki peran sebagi teladan, figur dan/atau pengasuh Pesantren. Lalu, apakah pernytaan-pernyataan kontroversial Panji sebagai patron yang mengisi tiap ruang media sosial bisa dikatakan sebagai tokoh teladan? Atau justru sesat? Biar masyarakat sendiri yang menilainya.
Perlu dipahami bersama bahwa tujuan didirikannya Pesantren dalam Undang-Undang di atas diantaranya: a). Membentuk individu yang unggul di berbagai bidang yang memahami dan mengamalkan nilai ajaran agamanya dan atau menjadi ahli agama yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, berilmu, mandiri, tolong-menolong, seimbang dan moderat. b). membentuk pemahaman agama dan keberagamaan yang moderat dan cinta tanah air serta membentuk perilaku yang mendorong terciptanya kerukunan hidup beragama.
Dari sini, para orang tua, masyarakat, agamawan, dan pemerintah bisa menilai sendiri tentang sistem pendidikan Al-Zaytun dan pernyataan Panji sebagai pemimpin selama ini. Apakah ketika tidak bermazhab lantas menyalahkan mereka yang bermazhab? Atau bahkan mereka melegalkan aksinya dengan merasa paling benar? Hanya pihak Al-Zaytun yang tahu, dan kita sebagai masyarakat sipil bisa menilainya.
Jika dianalisis kembali dari UU didirikannya Pesantren dan kemudian menerima dana operasional sekolah (BOS), serta dibanun di wilayah NKRI, maka harus taat terhadap kurikulum pembelajaran nasional di bawah naungan Kementrian Agama. Namun, di Al-Zaytun dalih-dalih mengikuti peraturan, ketika mengulik Al-Zaytun di TV One season 1, menurut pengakuan salah satu narasumber menyatakan bahwa terdapat kurikulum tersendiri yangmana berbasis ajaran Negara Islam Indonesia (NII) yang dahulu dinahkodai Kartosuwirjo.
Dalam hal penyelenggaraan pendidikan madrasal dalam peraturan Menteri Agama No. 90 tahun 2013, terkhusus pada Bab V tentang kurikulum, Pasal 22, di dalamnya tercantum bahwasanya setiap madrasah diwajibkan menerapkan kurikulum yang diterapkan oleh pemerintah.
Hingga masa Panji Gumilang, apakah berdirinya Al-Zaytun sudah mencerminkan sebagai muslim moderat? apakah sudah mendidik santri-santrinya cinta tanah air? Atau justru sebaliknya? Nampaknya hal demikian belum tercapai sebagai lembaga pendidikan Islam. Penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi selama ini membuat masyarakat resah. Tidak hanya kalangan elit yang susah menentukan kebijakan, kalangan bawah sekalipun kurang memiliki power dalam menindak penyimpangan tersebut.
Siapa yang Harus Tegas?
Lalu, melihat realitas sosial yang demikian, siapa yang seharusnya bertindak tegas? Melihat pesantren sebagai institusi pendidikan yang dipercaya masyarakat muslim saat ini menjadi jelek jika dibiarkan larut kontroversial Al-Zaytun dibiarkan. Berbagai kalangan bisa saja menindak secara tegas. Terbukti secara nyata penyimpangan yang dilakukan bertolakbelakang dengan pemerintah dan ajaran agama Islam. Sebagaimana Islam pada intinya sebagai agama rahmah yang terkandung dalam nukilan ayat “wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil ‘alamin”. Demikian tidak lain adalah saling menghormati, menyayangi, berbelas kasih, cinta kedamaian dan bahkan salah satunya adalah taat terhadap pemerintah.
Pemerintah harusnya menindak secara tegas terhadap mereka yang menyimpang dari ajaran agama dan aturan-aturan pemerintah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun demikian, harus memiliki sikap tegas dan sigap dalam menyelesaikan permasalahan keagamaan yang mengarah pada tindakan konservatisme, bahkan ektremisme. Kementrian Agama pun demikian. Jika keduanya saling berjalan beriringan, maka tidak akan terjadi langkah praktis masyarakat sipil atau ormas Islam tertentu yang justru main hakim sendiri atau berpotensi menimbulkan pertikaian hingga pertumpahan darah.
Demikian jika dibiarkan akan menjadi problematik sosial yang berkelanjutan. Maka dari itu MUI, Kementrian Agama dan Pemerintah jika berjalan beriringan dalam menindak yang mengancam keselamatan, agama, masyarakat, dan berpotensi merusak negara, maka kasus-kasus seperti Al-Zaytun tidak berlarut-larut seperti yang saat ini. Sebaiknya bagi orang tua yang ingin memondokkan anaknya dianjurkan untuk memilih Pesantren yang berpaham ahlussunnah wal jamaah dan memiliki guru yang benar dan berpaham moderat, inklusif dan toleran.