
Oleh : Mahrita Nazaria, S.Pd (Aktivis Dakwah & Praktisi Pendidikan)
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah mengatakan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus magang sudah terjadi sejak 15 tahun lalu. Hal itu Anis sampaikan merespons kejahatan TPPO yang terjadi di perguruan tinggi Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh.
Anis menjelaskan, modus ini menyasar anak-anak tingkat Sekolah Menegah Kejuruan (SMK) dan mahasiswa yang memiliki program magang. Di tingkat perguruan tinggi juga demikian, Anis menyebut mahasiswa yang memiliki program magang bisa menjadi korban TPPO di Asia Timur seperti Jepang dan Korea. Karena modus yang sudah lama itu, Komnas HAM mendesak agar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) bisa bertanggungjawab.
Kementerian yang dipimpin Nadiem Makariem ini disebut sebagai salah satu satgas pencegahan TPPO.
“Tapi yang terjadi selama ini adalah peran tanggungjawab Kemendikbudristek sebagai bagian dari satgas TPPO enggak jalan,” ucap Anis. (nasional.kompas.com)
Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto mengatakan, kasus dugaan TPPO mahasiswa magang di Sumatera Barat (Sumbar) “bukanlah yang pertama terjadi” di Indonesia.
“Kasus-kasus dengan modus dan pola seperti ini sudah banyak terjadi, tidak hanya yang di Sumbar, tapi juga dulu pernah terjadi di Malang, Yogyakarta, dan wilayah lain,” kata Hariyanto.
Menurut Hariyanto, dugaan praktik TPPO dalam pemagangan muncul salah satunya disebabkan oleh besarnya permintaan masyarakat untuk bekerja di luar negeri, dengan iming-iming gaji yang besar. Di tambah lagi, katanya, banyak pelajar yang telah lulus mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan di dalam negeri. Selain itu, Hariyanto dari SBMI juga mempertanyakan mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) sebagai sektor terdepan dalam proses penempatan magang ke luar negeri, seperti Jepang. (bbc.com)
Perdagangan orang merupakan kejahatan serius. Kedutaan Besar Amerika Serikat pada 2021 melaporkan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara asal utama perdagangan orang. Indonesia juga menjadi negara tujuan dan negara transit dalam jalur perdagangan orang internasional.
Terbaru, pada 10-2-2023, Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri menangkap lima tersangka sindikat kasus TPPO jaringan internasional. Praktik TPPO oleh jaringan ini sudah terjadi sejak 2019 dan diperkirakan meraup keuntungan hingga puluhan miliar rupiah. (CNN Indonesia)
Dari fakta TPPO diatas, tampak bahwa negara gagal melindungi generasi. Mereka ditipu dengan iming-iming gaji besar dan kesejahteraan, tetapi ujungnya ternyata mereka diperdagangkan.
Penerapan sistem ekonomi kapitalisme di negeri ini telah menyebabkan penguasaan sumber daya alam hanya dimiliki oleh segelintir pengusaha kapitalis. Akibatnya, terjadi kemiskinan struktural. Alih-alih berusaha menyejahterakan, penguasa justru membebani rakyat dengan aneka pungutan. Penerapan sistem kapitalisme juga yang membuat gurita oligarki korporasi asing maupun aseng leluasa mengisap kekayaan alam negeri sehingga rakyatnya sendiri laksana ayam yang mati di lumbung padi. Rakyat harus berjuang demi sesuap nasi, menjadi korban dari berbagai sindikasi.
Pemerintah memang telah melakukan beberapa kebijakan untuk menyelesaikan TPPO. Namun, nyatanya, tindak pidana perdagangan orang tidak kunjung bisa terselesaikan, bahkan Indonesia menjadi negara asal utama perdagangan orang. Artinya, banyak warga Indonesia yang menjadi korban sindikat perdagangan orang internasional. Sungguh miris.
Kemudian, peristiwa ini pun jelas meresahkan, di samping tentu saja menampar dunia pendidikan kita, magang jelas berbeda dengan bekerja. Magang seharusnya menjadi jalan pembelajaran secara langsung bagi peserta didik di lapangan sebagai bekal memasuki dunia kerja. Hal yang sama pun patut kita waspadai untuk program serupa, yakni PKL (praktik kerja lapangan) yang tidak lain adalah program wajib siswa SMK agar dapat naik kelas.
Namun, dengan adanya kasus di politeknik tadi, jelas bahwa program magang ternyata bisa disalahgunakan oleh kerakusan oknum. Tidak pelak, saat peserta didik magang, mereka dianggap bisa dipekerjakan tanpa gaji karena dianggap sebatas magang. Sebaliknya, hal ini justru membuktikan adanya peluang eksploitasi terhadap peserta didik demi keuntungan oknum itu sendiri. Di samping itu, kasus ini pun bisa jadi merupakan fenomena gunung es untuk di Indonesia sendiri.
Asal tahu saja, berdasarkan kutipan di laman resmi Kemendikbudristek, program magang atau yang secara resmi disebut Magang Bersertifikat, sejatinya merupakan bagian dari program Kampus Merdeka yang bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar dan mengembangkan diri melalui aktivitas di luar perkuliahan. Dalam program Magang Bersertifikat, mahasiswa akan mendapatkan pengalaman kerja di dunia industri/profesi nyata selama 1—2 semester. Dengan pembelajaran langsung di tempat kerja mitra dagang, mahasiswa akan mendapatkan hard skills maupun soft skills yang akan menyiapkan mereka agar nantinya lebih mantap untuk memasuki dunia kerja dan kariernya.
Selain mencoreng dunia pendidikan secara umum dengan jargon besarnya “kerja” dan “kerja”, bagaimanapun sistem pendidikan sekuler-kapitalis akan selalu berpeluang ditunggangi oleh motif-motif kapitalistik. Andai peserta didik tidak magang pun, saat memasuki dunia kerja di masa selanjutnya mereka juga tidak akan jauh dari status sebagai buruh pintar. Sebab dalam kapitalisme, rakyat hanya menjadi pasar dan aset ekonomi.
Hal ini berkebalikan dengan sebagian mereka yang lahir dari keluarga kaya atau keturunan pemilik modal yang sering kali menganggap pendidikan tidak terlalu penting. Bagi mereka, lebih penting untuk pintar mencari uang. Jadi, tetap saja, magang versi kapitalis justru bisa dibajak oleh narasi ekonomi khas kapitalisme itu sendiri, yakni meraih profit sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya. Akibatnya, spirit sistem pendidikan justru hilang karena motivasi besar untuk menjadi insan terdidik selama mengenyam pendidikan hanyalah demi bisa bekerja mencari uang setelah lulus sekolah/kuliah.
Sangat berbeda dengan profil peserta didik yang menjadi output sistem pendidikan Islam. Dalam sistem pendidikan Islam, target besarnya adalah mencetak generasi berkepribadian Islam (syakhsiyah islamiah), bukan menjadi pekerja. Ilmu pengetahuan dan tsaqafah Islam yang diperoleh selama masa pendidikan dijadikan sebagai bekal untuk memberi solusi bagi problematik kehidupan, bukan sekadar meraih gelar. Oleh karena itu, jelas sistem pendidikan Islam sajalah sistem pendidikan terbaik yang dengannya juga mampu menghasilkan output terbaik.
Selain ilmu pengetahuan dan tsaqafah Islam, peserta didik dalam sistem pendidikan Islam juga memperoleh pemahaman mengenai hakikat bekerja menurut Islam yang disertai seluruh keahlian maupun pelatihan yang diperlukan untuk memasuki dunia kerja. Bekerja adalah salah satu jalan mencari nafkah. Hukum asal bekerja bagi laki-laki adalah wajib, sedangkan bagi perempuan adalah mubah (boleh). Islam pun mengatur tentang kontrak kerja (ijarah) sehingga majikan dan pekerja terhindar dari akad zalim yang justru bisa mengeksploitasi pekerja.
Di samping itu, Islam telah menggariskan jalur lain perolehan harta selain bekerja, misalnya dengan zakat, kepemilikan harta waris, serta pemberian harta oleh negara. Islam juga menetapkan beragam mekanisme hukum syariat untuk mengelola harta sehingga kaum muslim tidak terjebak akad batil seperti riba, judi, dan penipuan.
Pendidikan adalah bagian dari urusan publik yang penyelenggaraannya menjadi tanggung jawab penguasa. Begitu juga perihal sektor tenaga kerja, sangat memerlukan andil penguasa untuk mengaturnya.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Pun pemberantasan TPPO butuh dukungan sistem. Dukungan tersebut hanya ada dalam sistem Islam. Sistem politik Islam memposisikan penguasa sebagai raa’in (pengurus) dan mas’ul (penanggung jawab) sehingga tidak akan bersikap lepas tangan.
Imam Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam ash-Shultaniyah menyebutkan salah satu kewajiban pemimpin dalam Islam ialah memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap segenap rakyatnya agar mereka merasa aman dari berbagai macam gangguan dan ancaman, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Sistem Islam akan melarang pengiriman rakyatnya ke luar negeri sebagai tenaga kerja yang murah dan minim perlindungan. Khilafah akan membuka lapangan pekerjaan di dalam negeri secara massal sehingga setiap laki-laki yang mampu akan mendapatkan pekerjaan. Sedangkan kaum perempuan tidak wajib bekerja sehingga mereka kembali ke tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah. Anak-anak juga tidak perlu bekerja karena kebutuhan mereka sudah dipenuhi oleh orang tua atau walinya dan negara.
Selain itu, sistem Islam akan menerapkan sistem sanksi yang efektif sehingga pelaku kejahatan perdagangan orang akan jera dan tidak mengulangi perbuatannya. Sistem Islam tidak akan segan-segan menghukum warga negara asing yang menjadi pelaku TPPO. Dalam sistemnya pun Islam tidak akan takut dengan sindikat perdagangan orang internasional. Mereka akan diberantas dengan kekuatan militer. Demikianlah jaminan kesejahteraan dan perlindungan oleh Islam dengan kesempurnaan sistemnya akan memberantas perdagangan orang secara tuntas.